Siapa Om Sebenarnya?

867 Words
Dengan wajah menghangat malu, aku buru-buru menarik tanganku dari saku celana Om Reyhan. Aku nyengir kecil saat bertemu tatap dengannya. Sumpah aku itu malu banget. "Maaf, Om, aku gak bermaksud kurang ajar," kataku. "Aku beneran lupa kalau aku pakai dres. Aku kira, aku pakai celana." Jelasku. Dia memutar bola mata dengan ekspresi ragu. Mungkin dipikirnya, aku mengada-ada. Padahal aku beneran gak sengaja, juga aku gak tahu ternyata ada dia di belakangku. "Serius aku gak ngada-ada, Om," kataku. "Bukannya semalam kamu menjajakan diri pada saya?" Dia bersidekap. Tatapannya menelisik penampilanku, memandang dari wajah lalu merayap ke bawah. "Ehemp, ehemp." Ana berdeham di ambang pintu tokonya. Dia keluar dari toko pakaiannya, dengan cepat memakai sandalnya. Sambil tersenyum, perempuan berperawakan bongsor itu berjalan kemari. "Om, tolong bayarin chicken aku, pleasee. Nanti aku ganti." Aku menatap Om Reyhan dengan pandangan mengibai. Aku gak ingin Ana tahu bahwa aku gak bawa uang sama sekali. Masa mau beli chicken juga mau pergi tapi gak bawa uang. Nanti bisa-bisa, Ana curiga padaku dan Mas Ferdi. Soalnya aku sudah ijin padanya bahwa aku gak bisa masuk kerja karena alasan yang gak bisa aku ceritakan padanya, eh tapi ternyata aku datang ke tokonya. Dan Mas Ferdi ada di toko. Ana bisa saja mencurigai hubungan kami. "Hay?" Sapa Ana setibanya di hadapan kami. Orang-orang yang tadi mengantri di belakang Om Reyhan akhirnya maju ke depan untuk membeli. "Kenalin, aku temen dekatnya Ayu. Ana," katanya sambil mengulurkan tangannya pada Om Reyhan. Om Reyhan memandangku, lalu tatapannya berganti ke wajah Ana. "Namanya bisa kebetulan sama," kata Om Reyhan sambil melirikku. "Sama? Yang benar aja. Aku Ana, dia Ayu. Hanya sama A-nya saja di depan. Udah lama kenal Ayu?" Ana berlama-lama menatap On Reyhan yang terlihat santai memakai kaus tanpa lengan, memperlihatkan lengannya yang kekar lagi berotot dengan bawahan jins di bawah lutut. Kaca mata hitam bertengger di kepalanya. Om Reyhan memandangku. "Lumayan," kataku cepat. Jangan sampai Om Reyhan menjawab bahwa aku dan dia baru bertemu tadi malam di klub. Gak ada seorang pun yang tahu tentang pekerjaan haramku selain Lila. Ana gak boleh tahu karena dia suka keceplosan. Nanti bisa-bisa, dia keceplosan bicara pada orang-orang yang jualan di pasar bahwa aku suka ke klub dan menjajakan diri, bisa kacau balau dan yang sudah pasti, aku bakal malu banget. Jangankan Ana, Mas Ferdi pun gak kuberitahu tentang pekerjaanku yang beresiko. Dengan aku punya uang banyak untuk mentransfer Ibu dan Bapak tiap bulannya, maka Ibu gak akan terus membujukku nikah dengan lelaki pilihannya. Aku ogah banget nikah dengan orang yang gak kusuka. Udah merdeka kok masih main jodoh-jodohan. "Ayo, Yang, buruan bayar, lalu kita makan. Aku udah lapar banget." Aku sengaja begini pada Om Reyhan agar Ana gak bertanya-tanya lagi. Karena Om Reyhan diam saja, aku pun menarik tangannya mendekat ke arah Abang penjual chicken. Walau tatapan Om Reyhan padaku terlihat gak senang, namun aku bersyukur dia akhirnya merogoh saku celananya mengeluarkan dompet, meraih selembar seratusan ribu lantas mengangsurkannya pada si Abang sambil minta dibungkuskan 2 sayap ayam dan satu d**a. "Aku pergi dulu ya, An? Bye." Kulambaikan tangan pada Ana begitu Om Reyhan selesai membayar. Aku pun mengikuti langkah Om Reyhan yang berjalan mendekati toko sembako di seberang toko pakaian Ana. Om Reyhan menoleh, dia memandangku dengan sebelah mata menyipit. "Kamu mengikuti saya?" tanyanya. Aku nyengir. "Nanti kalau temen aku udah masuk ke tokonya, aku pasti jauhin Om." "CK, CK. Kamu benar-benar sangat murahan. Jadilah perempuan yang memiliki harga diri. Dengan begitu, kamu tidak akan dipandang rendah." "Jangan mentang-mentang aku panggil Om dengan sebutan Yang, Om lantas boleh bicara semaunya padaku. Om itu gak tahu apa-apa. Dan aku heran pada Om. Om yang datang mencariku, tapi bisa-bisanya Om menghinaku. Seharusnya Om tahu tentangku." Dia menghentikan langkah, sedikit menelengkan kepala saat memandangku dengan tatap penuh ejekan. Bibirnya yang di atasnya ditumbuhi kumis tipis menyeringai merendahkan. "Saat kamu menawari saya untuk melakukan maksiat, saat itu juga saya kaget karena ternyata, kamu tidak seperti yang saya bayangkan." "Siapa Om sebenarnya?" Alih-alih menjawab, dia malah kembali melangkah, kini masuk ke warung sembako Pak Budi dan aku mengikutinya masuk ke dalam karena gak ingin Ana curiga jika aku pulang atau hanya berdiri di depan toko sembako. "Wah, wah, kamu kenal dengan Ayu ternyata, Rey," ucap Pak Budi sambil menumpuk kardus kosong ke atas. "Yang diminta paman," kata Om Reyhan sambil meletakkan chicken ke meja. Tanpa mengatakan apa pun, Om Reyhan keluar dari toko sembako. Aku dengan cepat mengikutinya. "Berjalan hingga diujung gang, nanti kita berpisah di sana, Om." Sorot mata Om Reyhan terlihat gak senang. Walau begitu, dia menuruti perintahku. Aku menoleh ke belakang, Ana sudah gak ada. Pasti dia sudah masuk ke dalam toko. Kini, aku berdiri di perempatan pasar Sawo. "Sebenarnya, Om siapa? Pasti seseorang menyuruh Om memata-mataiku. Iya, kan?" tanyaku ingin tahu. "Apa ... mamaku yang nyuruh Om memata-matai aku?" tanyaku lagi karena dia hanya bungkam. "Mana mungkin. Saya bahkan tidak tahu siapa mamamu." "Apa jangan-jangan ... Kak Rama yang nyuruh Om ngawasin aku?" Aku menatapnya menyelidik. "Sepertinya, kamu benar-benar ingin tahu. Jadi, saya akan beritahu. Setelah saya beri tahu, maka berhentilah bersikap seperti pe la cur di depan saya. Itu membuat saya risih." Ucapannya membuatku gondok, tapi aku memilih diam. Gak ada gunanya banget meladeninya. "Siapa yang nyuruh Om ngawasin aku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD