Prologue
"Aaaaarrgh!"
Wanita itu terduduk tegak, terbangun dari mimpi buruk yang berasal dari kenangan masa kecilnya. Napasnya memburu. Ia berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar liar dengan menarik napas dan mengembuskannya perlahan.
Setelah beberapa saat, akhirnya ia mulai tenang. Nalurinya mengatakan ada beberapa orang yang berbaik hati mengunjunginya malam ini. Kemudian ia mengambil sebilah katana yang selalu ia simpan di dekatya lalu bangkit dari tempat tidur.
Ia berjalan tanpa suara, menghampiri pintu balkon kamarnya. Dia dapat merasakan ada sekitar lima orang yang sepertinya bersiap menyeruak masuk ke dalam kamar. Bersyukur sekali ia dapat merasakan hawa keberadaan mereka sehingga tidak perlu repot-repot untuk memanggil penjaga.
"Kurasa aku harus mengganti para penjaga yang dikirimkan Zora. Mereka benar-benar tidak berguna." Gumamnya sambil mengeluarkan katana dari sarungnya.
Ia baru akan membuka pintu, ketika mendadak hawa keberadaan lima orang yang ada di balkon kamarnya menghilang begitu saja. Matanya mengerjap. Dia membuka pintu kaca balkon dan mendapati lima orang yang seharusnya mencicipi katana kesayangannya sudah tergeletak di lantai.
Seorang pria berpakaian abu-abu berdiri di antara kelima mayat yang ada di sekitarnya. Pria itu berdiri membelakanginya dan menatap ke arah bulan yang sedang purnama di langit.
"Kau mengganggu kesenanganku," ujarnya, membuat pria itu menoleh.
Pria itu terkekeh dan mendekatinya, "Apa mereka membangunkanmu, Lullaby?"
"Mereka tidak membuatku terbangun." Jawabnya datar.
"Mimpi buruk lagi?"
Ia mendelik pada pria yang kini kembali tertawa di hadapannya, "Kau terlalu tahu tentang diriku. Itu mengerikan." Ujarnya.
"Hei, sudah tentu aku mengetahui segala hal tentang dirimu," balas pria itu, "Lagipula kau dan aku sekarang terikat, bukan?"
"Dan hubungan itu sungguh merepotkan. Pergilah, aku ingin kembali tidur."
"Oh ..., Lullaby kesayanganku tidak menginginkanku. Sedih sekali rasanya."
Ia memutar bola matanya dan berbalik ketika rasa sakit yang amat sangat mendera. Wanita itu limbung, tetapi sebelum sempat menyentuh lantai, sebuah tangan sudah melingkari pinggangnya dan punggungnya bersandar pada sesuatu yang keras namun hangat.
"Virus itu mulai berulah lagi, bukan? Aku datang tepat waktu kalau begitu." Bisik pria itu dengan suara rendah di telinganya.
"Berhenti ... menggangguku!"
"Sayang sekali. Padahal aku sedang berusaha menjadi obat terbaikmu."
"Kau tidak—aargh!"
Kata-katanya tergantikan oleh desisan sakit ketika pria itu menancapkan taring di lehernya. Kedua tangannya mengepal erat. Rasa sakit dari virus sialan yang menggerogoti tubuhnya dan juga taring yang menancap di lehernya membuat tubuhnya melemas. Pria itu memeluk tubuhnya dari belakang, menahannya agar tidak terjatuh. Setelah beberapa saat, pria itu mengangkat wajahnya dan mengelap darah yang mengalir di sudut bibirnya.
"Lepaskan aku." Desisnya.
"Seharusnya kau mengatakan tolong," ujar pria itu, "Kau ini benar-benar pemalu."
Dia diam, kemudian menatap pria itu tepat di mata, "Kalau kau mencoba untuk menghisap darahku lagi, aku akan membunuh diriku sendiri."
"Kau tidak seharusnya mengatakan itu," pria itu mencium keningnya, "Biar bagaimana pun, seberapa jauh kau pergi, seberapa pintarnya kau bersembunyi, aku pasti akan menemukanmu, bahkan bila itu ke neraka sekalipun."
***
Dunia sudah berubah. Bagi orang-orang, kedamaian yang terjadi saat ini adalah pilihan yang tepat setelah perang usai. Namun, kedamaian tidak pernah bisa bertahan cukup lama.
Sebuah virus unik bernama Valtora Tragment menjangkiti manusia, membuat para penderita virus tersebut akan kelebihan pasokan darah dan jika tidak ditangani sesegera mungkin akan membuat mereka tewas dengan cara yang lebih mengerikan daripada harus terbunuh dengan luka tusuk ataupun tembak. Namun uniknya, siapapun manusia yang terkena virus ini akan berhenti menua. Sebuah anugerah sebenarnya, tetapi juga menjadi kutukan bagi manusia itu sendiri karena harus merasakan rasa sakit yang amat sangat ketika darah keluar dari mata, hidung, mulut, bahkan dari kuku jari mereka.
Virus itu menjangkiti banyak manusia, dan vampire adalah obatnya. Bangsa vampire mampu mengurangi tekanan darah saat virus itu kambuh pada manusia. Dengan kontrak hitam di atas putih, seorang manusia yang terkena virus VT akan mendapatkan seorang vampire yang akan menetralkan jumlah darah di dalam tubuhnya.
Dan itulah yang kini terjadi padaku.
Aku terkena virus merepotkan itu sehari setelah aku memutuskan kembali mengasingkan diri dari keramaian dan hiruk-pikuk kegiatan manusia. Jujur saja ..., aku membenci manusia.
Oh, jelas aku adalah manusia. Bila aku seorang vampire, bagaimana bisa aku terkena virus VT? Lagipula, alasanku membenci manusia lebih karena alasan pribadi. Aku tidak bisa memercayai mereka seutuhnya. Selain orang-orang terdekatku, aku tidak bisa mengendurkan kewaspadaanku pada manusia lain.
Katakanlah ..., aku punya trauma kepercayaan pada manusia. Bila orang-orang menganggap kedamaian yang ada ini bagaikan utopia, namun bagiku ini adalah awal dari dystopia. Sebuah dystopia yang dibalut oleh kemegahan utopia idaman.
Dan keadaan itu makin rumit karena vampire sialan itu. Aku tidak akan menyebutnya demikian andai ia tidak menggangguku lebih dulu. Sialnya lagi, dia adalah vampire yang memaksaku untuk mengikat kontrak dengannya.
Adakah lagi nasib buruk yang harus kualami selain terkena virus VT dan mendapat vampire sok tampan dan terlalu percaya diri seperti Aizer Relgine de Balthazar?
#775 words#