"Pinjemin gue baju gih!" Manda langsung mengrem tawanya. Matanya mendelik tak suka. Tak percaya di suruh-suruh kayak gini.
"Kenapa, cepetan gue kedinginan nih!" lanjut Rian melotot sambil memeluk lengannya. Manda jadi menyadari satu hal. Tubuh pemuda itu tidak terlihat begitu besar namun memiliki otot lengannya yang menonjol keras, bahunya cukup lebar dan Eem, sepertinya kokoh menahan tubuh Manda disalah satu pundaknya di tambah dengan otot ABS tercetak di perutnya.
"Gue pinjem dimana?!"Manda tidak menolak karena pada dasarnya ia suka membantu orang lain.
"Yah lo malah tanya gue. Dimana kek, Mau beli, mau pinjem terserah lo," sahut Rian pasrah.
"Kok jadi gue deh yang mesti repot?!" Manda merasa gak terima. Harus minjem baju laki-laki sama siapa lagi ini. Apa Manda mesti pulang kekostnya demi mengambil beberapa potong kaosnya. Yah mungkin saja ada salah satunya yang muat sama Rian.
"Yah,'kan lo yang suruh gue keluar buat masuk kelas," simpul Rian.
Manda terlihat ragu.
"Lo mau gue belajar gak, jadi cepetan cariin gue baju. Bisa mati kedinginan gue," papar Rian.
Manda menggeleng. Ini anak dari tadi bicaranya mati terus.
"Lo gak akan mati!" tanggap Manda
"Gimana lo bisa tau?!"
"Yah tau aja!"
"Emang lo dokter?!"
"Gak ada yang mati cuma karena kedinginan gak pakai baju!" Manda lagi-lagi menunjuk-nunjuk bahu Rian
Rian terdiam. Sejak kapan ia selalu berfikir tentang kematian. Mungkin sejak ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Jika kematian itu begitu cepat, bisa datang kapanpun bahkan tanpa persiapan sedikitpun.
"Ya udah gue cari pinjeman dulu. Lo jangan kabur!"
Rian cengiir "Iyah, iyah cepetan deh!"
Manda segera keluar kamar mandi. Melirik sekitar sama sekali gak ada anak-anak yang bermain bola ataupun yang olahraga. Tadinya Manda mikir buat pinjam baju olahraga anak lainnya.
Sementara Rian memilih mengunci lagi kamar mandinya. Dia gak mau kalau sampai ada orang lain yang masuk selain Manda.
Setidaknya saat ini Rian cuma percaya sama Manda.
"Hhem!" Mata Manda mengedar, "Pak Surip!" cicitnya sendiri.
Manda berlari mendekati pria tua itu
"Pak. Maaf, Pak. Boleh pinjem baju gak?!" tanya Manda sambil menjalin kedua tangannya.
"Baju, Neng?!" beo Pak Surip.
"Iyah, Pak. Buat salah satu murid. Katanya bajunya di ambil yang lainnya"
"Ooh, si Rian itu,ya. Yaayah.., Bapak lihat. Itu mah kerjaannya Robby, Neng. Tuh, baju Rian dibakar." Pak Surip menunjuk abu dengan sia-sia kain yang setengah utuh. Manda yakin itu kemeja sekolah karena warnanya yang putih.
Dan itu artinya Rian gak bohong saat bilang ada yang mengerjai dia.
"Robby. Kenapa dia malah membakar baju Rian?" lirih Manda masih bisa di dengar Pak Surip.
"Neng gak tau,ya kalau mereka itu musuh bebuyutan."
"Hhah!" Manda sampai melotot tajam.
"Bapak juga gak tahu persisnya kenapa. Tapi yang Bapak tahu Robby kesel banget sama Rian, apapun yang Rian lakuin dia selalu gak seneng," beber Pak Surip. Ia melihat kebencian itu dengan mata kepalanya sendiri.
Robby memang selalu mencoba mencari masalah biarpun Rian berusaha tidak menanggapinya.
"Robby itu kelas berapa?" tanya Manda lebih ingin tahu.
"Dia kelas 12B, Sebelahan sama kelas Rian, Neng. Nanti juga Neng tahu yang mana orangnya. Saya sendiri gak suka sama dia, Neng. Mending Rian. Dia itu masih punya sopan santun," tanggap Pak Surip panjang lebar.
Manda terdiam tetapi sesaat saja ia sadar, kalau ia harus cepat-cepat pinjamkan Rian baju.
"Oh,yah Pak. Bajunya tapi ada gak?" selidik Manda.
"Ada nih, Neng kebetulan tadinya Bapak mau ke kondangan. Jadi bawa baju ganti." Pak Surip terlihat membuka tasnya. Ia juga kasihan sama Rian. Biarlah Rian yang memakai kemeja batik kebanggannya.
"Ini, Neng." Pak Surip memberikan kemeja batik berwarna coklat tua itu.
"Makasih,ya Pak" sahut Manda segera membawa baju itu.
Manda mengendap-endap ragu. Dalam hati ia gak mau lagi melihat fenomena tadi.
"Pusshh.., Pusshh." Manda meng'kode Rian "Lo masih di dalam'kan?" tanyanya gak mau mengetuk pintu.
"Elo, lo udah dapat bajunya?" pekik Rian dari dalam setelah ia mendengar desisan Manda.
"Udah nih, ambil!" suruh Manda sambil menutup matanya. Engsel pintu toilet bergerak menandakan Rian sedang berusaha membukanya.
"Eh, tunggu.., tunggu." Larang Manda
"Apa lagi?!" sungut Rian geram. Kenapa lagi, ia harus buru-buru keluar. Rian sudah merasa enggap ada di dalam. Bahkan tadi ia berfikir untuk nekat keluar jika Manda tidak segera sampai
"Lo beneran gak bawa pistol?" Manda menggengam baju Pak Surip erat. Ia merasa inilah cara ia untuk 'mengancam' Rian agar jujur. Jika tidak, Manda gak mau menyerahkan baju itu ke Rian.
"Enggak, pistol apaan, sih?"
"Yee, biasa aja dong. Jangan marah-marah gitu. Gue,'kan tanyanya biasa. Jangan kayak bajaj yang sukanya nggas!"
"Huuftt," Rian menghembuskan nafasnya, Sabar.., sabar.
"Gue masih di bawah dua puluh tahun. Dan gak mungkin kalau gue punya senjata tajam, Ok.., sampai sini lo ngertikan?" Rian mencoba menjelaskan dengan sangat baik. Kelebihannya meski sangat kesal tetapi ia tidak pernah mengabaikan orang lain. Karena Rian paling tahu, sakitnya terabaikan.
Manda menggaruk kepalanya 'Oh,ya betul juga! Di negara inikan kepemilikan senjata tajam itu diatur oleh undang-undang, dan kayaknya sulit kalau Rian punya dengan cara illegal. Terus kenapa teman-teman Rian bilang kalau dia punya senjata,ya. Hem. Masih misteri!
"Oi, mana bajunya!" sorak Rian yang sudah menjulurkan tangannya keluar
"Eh," Manda kaget karena tangan Rian hampir saja mengenai dadanya. Meski Rian juga gak salah, dia,'kan gak lihat posisi Manda ada dimana.
Rian menggoyangkan lengannya. "Cepetan mana, kalau enggak gue keluar nih!" ancamnya meski dia juga sebetulnya malu keluar half naked.
"Jangan-jangan. Nih!" Manda menyerahkan baju Pak surip ke tangan Rian dengan gerakkan kasar.
"Nah gitu dong, gak jadi tarzankan gue!"
"Tadi bilangnya mau keluar gak pakai baju, sekarang takut jadi tarzan. Gimana sih?" cicit Manda mulai mengkritik sikap Rian.
Rian melebarkan baju di depannya matanya menatap sambil melotot
"Lo gak salah kasih gue baju bapak-bapak gini, mana batik lagi" komentar Rian sambil menggeleng
"Bawel lo, namanya juga darurat. Itu gue juga sampai pinjem sama satpam depan.
Lagi kenapa dengan batik, apa salahnya sama batik. Lo harus tahu. Bahkan orang bule ajah bangga pakai batik" semua yang diucapkan Manda justru membuat Rian semakin naik pitam. Man, Rian gak butuh dinasehatin. Dia cuma butuh baju. Baju yang "layak" untuk remaja usia sembilan belas tahun.
"Ya udah sekarang mana celana panjangnya?"
"Hhaah. Maksud lo?" Manda jadi balik bertanya.
"Iyah mana celana panjangnya, dan baju ini okelah gue pake. Gue masih nghormatin usaha lo!"
"Lo cuma minta gue cari baju'kan gak sama celana juga?" lirih Manda bingung
Manda berusaha mengingat isi perintah Rian, yah.., cowok itu cuma bilang cariin dia pinjeman baju. Titik!
"Ahk, bener-bener," terlalu geram. Akhirnya Rian berniat keluar untuk menarik Manda.
Ia membuka knop pintu,
"Eeehh, Eh," Manda gelagapan tidak siap.
Rian menoleh ke kiri dan kanan
"Sini lo masuk!" tangannya menarik Manda masuk ke toliet, lalu setelah Manda masuk Rian menggebrak pintunya. Niatnya sih biar gak ketauan orang lain kalau dia mau marah-marah
Rian cuma gak mau orang lain akan semakin salah paham sama dia dan menganggapnya monster karena marah-marah sama seorang cewek.
"Lo mau apa?" Manda sampai merapat ke dinding, berharap bisa larut dan keluar lewat pori-pori tembok.
"Buka mata lo, lihat gue!" suruh Rian
"Gak mau!" Manda terpejam kuat. Terlalu tak sabaran membuat Rian menaiki lengannya untuk bertumpu di dinding sebelah Manda.
Manda menajamkan indera penciumannya 'Astaga cowok ini kenapa harum banget?'.