“Abang, A'a dan Hessa sebagai wakil mama, aku minta maaf kalau tindakan aku ini dianggap melarikan diri dan aku marah pada kalian.”
“Tidak, aku tidak marah pada kalian. Aku hanya menyelamatkan diriku dan anakku. Itu sebabnya tadi aku tidak mau cerita ke A'a di kamar karena aku malas cerita dua kali bahkan mungkin nanti tiga - empat kali.”
“Entah mengapa aku dapat banyak kemudahan. Begitu aku mendengar Tiara mengatakan dia mencintai A’a, aku langsung pergi menjauh. Saat itu ada lift yang terbuka orang baru keluar, aku langsung masuk dan turun begitu sampai lobby ada orang turun dari taksi. Otomatis aku langsung naik taksi itu. Jadi kemudahan demi kemudahan memang aku dapatkan. Kalau aku menunggu taksi atau cari mobil dulu tentu Adit sudah bisa menemui aku. Tapi memang semuanya itu bukan rancanganku. aku dipermudah.”
“Di dalam taksi tentu saja aku bingung mau ke mana? Kalau aku pulang entah ke rumah mama di Kebayoran atau ke rumah kita di Bekasi atau bahkan ke Rizkia grup pasti kalian akan heboh. Aku bingung, akhirnya hanya satu nama yang ada di benakku yaitu Bu Ida.”
“Jadi aku langsung menuju rumah Bu Ida, bukan rumahku yang dulu di tempati Ibu Ida karena rumah itu sudah di kontrakan lagi. Bu Ida sudah tinggal sama Pak Umar, itu sebabnya A'a juga nggak tahu rumah tersebut.”
“Sampai di rumah Bu Ida sekitar jam 11.00 an, belum makan siang. Aku langsung cerita apa yang aku dengar di kantor tadi dan aku minta izin pada Bu Ida untuk sementara aku akan tinggal di rumah itu. Jadi aku tidak punya niat untuk pergi ke mana pun. Ingat itu ya. Sekali lagi aku sebut awalnya aku tidak punya niat pergi ke mana pun!” ucap Kia menegaskan niat awalnya.
“Aku akan diam di rumah Bu Ida. Aku yakin A'a akan mencari aku ke Bu Ida dan nanti bisa tahu rumah itu. Karena yang A’a tahu adalah rumah aku yang lama. Rumah lama sudah dikontrakan. Jadi aku yakin A’a nggak akan cari ke sana. Aku yakin A’a akan cari ke sekolah anak-anak atau adik-adik aku. Aku tidak berpesan pada mereka soal apa pun untuk menutupi keberadaanku karena aku sama sekali tidak punya niat jelek untuk meninggalkan A'a atau Mama, terutama mama itu segalanya buat aku setelah A'a.”
Lingga mendengar itu kaget ternyata benar apa yang Hessa katakan bahwa Bu Syakira itu adalah segalanya buat Kia.
“Tapi saat akan makan siang jam 12, sebagai orang Dayak dan sebagai orang yang berilmu, mungkin kalian nggak tahu, bahkan abang pun nggak tahu, aku mendapat kiriman banyak anak panah meluncur ke tubuhku. Tentu kiriman itu nggak kelihatan atau kasat mata. Saat itu aku yakin Tiara sudah menyerangku. Dari situ aku langsung cerita ke bu Ida.”
“Aku langsung memagari diriku sehingga anak panah itu tidak mengenai tubuhku. Aku sadar harus segera menyelamatkan diriku dan anakku. Nanti setelah aku aman aku baru akan bercerita pada A'a atau Mama. Pada saat itulah aku mematikan ponselku agar aku tidak bisa dilacak oleh siapa pun terlebih oleh Tiara. Jadi jelas ya mengapa aku mematikan ponselku.”
“Tapi Adit bilang, sejak kamu keluar dari kantor dia sudah tidak bisa menghubungi ponselmu,” protes Alkaff, sementara Hendra hanya terus memeluk tubuh istrinya yang duduk bersandar didadanya.
“Begitu aku keluar dari kantor aku sudah memblokir nomor-nomor kalian. Nomorku aktif kok. Aku tanya dulu bu Ida ada di rumah atau tidak karena aku mau datang. Aku juga memblokir nomor Tiara, tapi sinyalku itu bisa dicari kalau teleponku nyala. Tentu dicari dalam artian dengan kasat mata ya. Sama seperti anak panah yang dikirim dengan kasat mata.”
“Lalu aku, Pak Umar dan Bu Ida berembuk di mana aku harus sembunyi. Satu-satunya jalan ya ini. Tempat ini adalah tempat almarhum suami Bu Ida. Di seberang ada rumah gurunya, juga rumah guru aku sejak aku kecil dulu. Dia yang akan memagari aku terus. Selain itu di sini ilmunya Tiara tidak masuk, karena di batas desa ada pagar untuk ilmu hitam. Itu yang membuat aku merasa nyaman di sini. Kalau aku pulang ke rumah Bu Ida yang lama, di sana tidak ada pagar desa. Siapa pun, ilmu mana pun bisa masuk.”
“Itu mengapa aku tinggal di sini. Rencananya lusa aku akan beritahu kalian setelah pagar yang diberikan oleh Guruku tuntas. Setelah aku aman aku akan beritahu kalian. Mungkin dengan nomor ponsel bu Ida atau apa pun. Tapi ternyata kekasihku sudah tahu lebih dulu,” kata Kia sambil mengusap wajah Hendra tanpa berbalik badan, dia bersyukur suaminya peka.
“Perang ini tidak main-main. Sebenarnya Tiara bukan menyerang aku dalam artian ingin melenyapkanku. Tidak!” Kia membuat semua bingung. Tadi dia bilang dikirimi panah, sekarang bilang Tiara tak ingin melenyapkannya.
“Dan Tiara tidak mencintai A’a sama sekali. Tidak!” kata Kia sambil menggeleng. Saat itu bu Ida membawakan beberapa mangkok mie rebus panas dengan telor setengah matang, irisan sawi hijau, cabe rawit juga tomat segar. Sangat menggoda iman di tengah malam nan dingin.
“Bagaimana mungkin tidak? Katanya kamu dan Adit dengar sendiri bahwa Tiara ingin merebut Hendra dari kamu?” protes Alkaff.
“Semua disambi makan, akan aku lanjut. A’a aku mau disuapin,” pinta Kia pada Hendra.
“Lingga, kamu enggak usah malu atau takut gemuk makan tengah malam,”
“Iya Teh,” Lingga pun mengambil satu mangkok.
“Kak, bisa bantu aku?” tanya Lingga pada Hessa.
“Kenapa?”
“Ini kebanyakan buat aku, bisa aku oper sedikit ke mangkokmu sebelum aku makan? Bukan sisa koq,” pinta Lingga sopan, dia merasa saying bila ada makanan dibuang karena tak dia habiskan. Tapi walau dipaksa, porsi satu mangkok mie memang terlalu banyak untuknya.
Hessa hanya menjawab dengan senyum dan menyorongkan mangkoknya mendekat ke mangkok Lingga.
“Tiara berbohong mengatakan cinta ke A Hendra. Semua itu di balik Bang. Di balik! Sampai saat ini Tiara itu belum normal!” ucap Kia membuat semua tertegun, Hendra agak tenang kalau Tiara tak mencintainya. Tapi mengapa dia menyerang Kia?
“Kalau Tiara tak mencintai A’a, mengapa dia menyerangmu sweetheart?” tanya Hendra sambil menyuapi istrinya dengan menyingkirkan cabe rawit. Dia tak akan biarkan Kia makan cabe terlebih tengah malam.
“Dia mencintai aku. Dia mengkultuskan aku. Dia sakit hati ketika aku menikah. Karena itu dia ingin membunuh A' Hendra. Kalau aku tersakiti A Hendra akan sedih. Dan niat dia mendekati A’a buat menghabisi A’a saja. Dia tak akan mungkin membunuhku karena dia mencintaiku.”
“Dia ingin memilikimu untuk mempermudah membunuhmu pelan-pelan dan memisahkan kita. Jadi ingat kalau nanti kita bersandiwara A Hendra akan kita jadikan umpan. Seakan-akan A’a enggak tahu kalau Tiara tidak mencintai A Hendra sama sekali. Anggap saja kita percaya atas bualan dia, bahwa hanya A'a yang bisa membuat dia kembali normal.”
“Karena yang dia cintai adalah aku. Itu aku tahu dari gurunya! Guruku bicara secara batin dengan gurunya.”
“Astagfirullah,” kata Lingga spontan. Dia sungguh tak percaya ternyata Tiara tetap belum normal dan ingin mencintai Kia.
“Besok kalau Rudi sudah ada, kita bicara lagi sama Rudy soal ini,” kata Alkaff.
“Soal seperti ini jangan dibicarakan dengan chat. Nanti saja kalau sudah berhadapan. Yang penting sekarang kalian kabari saja mama dan Adit kalau sudah kita bertemu dengan Kia dan semua baik-baik saja. Aku juga akan memberitahu Retno untuk diberitahu pula pada Wening dan Nenny. Diupayakan mereka memberitahu suaminya dan mereka dipesani tidak bicara apa pun lagi soal masalah menemukan Kia.”
“Semua harus tutup mulut, baik lewat chat maupun lewat bicara bila tidak di ruang terbuka. Kalau di ruang tertutup malah lebih bahaya. Kalau di ruang terbuka kita bisa melihat siapa yang dekat sehingga bisa kelihatan pembicaraan kita terdengar oleh orang lain atau tidak.”
Hessa langsung menghubungi Adit serta mamanya memberitahu bahwa dia telah tiba di lokasi dan mereka sedang bicara baik-baik dengan Kia dan keadaan dia baik-baik saja. Tidak ada masalah apa pun. Cerita lengkapnya akan dia ceritakan nanti bila sudah bertemu secara langsung.