Hartoyo membanting berkas yang membuatnya tambah pusing.
Sudah tiga bulan dia bekerja di perusahaan baru ini. Awalnya dia bukan di sini di perusahaan nasional yang lebih besar. Saat itu jabatannya sudah marketing Manager. Jabatan yang basah selain komisi dari penjualannya sendiri, dia juga mendapat fee dari penjualan marketing di bawahnya sehingga hasilnya memang sangat besar.
“Kenapa ya sudah lima bulan aku berpisah dari Lingga tapi aku belum bisa melupakan dia sama sekali? Belum bisa. Aku harus bagaimana?” kata Hartoyo melihat tumpukan pekerjaannya.
Gara-gara kasusnya dia akhirnya pindah kerja. Hartoyo ingat kisah manisnya dengan Lingga berawal saat empat tahun lalu dia melihat sosok gadis manis yang pernah dia kenal di SMA.
“Kamu Lingga kan?” tanya Hartoyo yang saat itu sedang bersama beberapa temannya.
“Iya Kak. Kakak siapa ya?”
“Saya senior kamu waktu di SMA Tunas Putra. Nama saya Hartoyo. Masa kamu enggak ingat?”
“Maaf Kak, saya nggak ingat.”
“Kita dulu pernah bersama saat camping. Waktu itu kamu menolong seorang siswa yang kesurupan dan selanjutnya kita ngobrol bersama cukup lama.”
“Oh itu ya Kak? Iya Kak saya lupa,” jawab Lingga saat itu. Tentu saja Hartoyo kaget. Ada seorang gadis yang tak peduli pada pesonanya. Karena sejak SMA semua gadis yang pernah berbicara apa pun dengannya pasti akan mengingat. Apalagi saat itu mereka pernah ngobrol lama. Pasti para gadis akan ingat dengan cowoq Most Wanted dari SMA Tunas Putra itu.
“Kamu kuliah di sini?” tanya Hartoyo menunjuk banner yang ada di stand pameran itu.
“Iya Kak. Saya kuliah di sini,” saat itu Hartoyo sedang melihat pameran pendidikan dan Lingga sedang menjaga stan dari fakultas kedokteran tempatnya kuliah. Dia yang membagikan brosur dan menerangkan program studi di fakultas kedokteran itu.
“Wah hebat kamu,” kata Hartoyo. Mereka pun bertukar nomor ponsel sebelum Hartoyo dan rekan-rekannya kembali berkeliling. Saat itu Hartoyo adalah pembangun stand pameran, karena dia mendapat order untuk acara pameran tersebut.
Sejak itu Hartoyo rajin menyambangi Lingga. Segala daya upaya dia lakukan karena dia sangat tertarik pada gadis manis tersebut.
Waktu itu Lingga semester empat fakultas kedokteran, anak tunggal dari pasangan Ali Murfi Suwarman dan Sonya Fazia, sedang Hartoyo saat itu sudah menyusun skripsi. Dia kuliah di fakultas teknik jurusan arsitektur. Dia juga sudah bekerja di perusahaan pengembang dan karena saat itu dia belum sarjana dia masih menjabat team marketing di perusahaannya. Juga merangkap sebagai team building material di perusahaan saat ada proyek.
≈≈≈≈≈
“Kamu besok ikut datang ke wisuda aku ya?” pinta Hartoyo saat itu. Dia ingin mengenalkan Lingga pada kedua orang tua.
“Wah nggak pantaslah. Saya bukan teman special Kakak. Lebih baik jangan,” tolak Lingga.
“Ayolah kamu itu teman spesial aku. Aku ingin jadikan kamu pendamping hidupku kelak.” Kata Hartoyo kala itu.
“Enggak Kak. Aku belum berani,” kembali Lingga tak ingin melangkah lebih jauh dengan Hartoyo.
Akhirnya Hartoyo memberanikan diri minta izin pada orang tua Lingga di Bandung, agar Lingga boleh mendampingi dia wisuda.
“Memang Lingga siapa kamu? Koq kamu ajak saat momen special? Saat wisuda biasanya selain orang tua ya orang special kan?” tanya Sonya Fazia ibunya Lingga.
“Kami memang belum pacaran, karena Lingga tak mau. Tapi saya serius padanya Tante. Saya ingin dia menjadi pendamping saya kelak,” kata Hartoyo dengan berani.
Ali Murfi Suwarman dan Sonya Fazia orang tua Lingga menilai keberanian anak muda itu maju menghadap mereka merupakan poin plus. Akhirnya mereka mengizinkan Lingga menjalin hubungan dengan Hartoyo mereka pikir Hartoyo cukup dewasa dan bertanggung jawab dan akan menjadi pendamping Lingga yang baik nantinya.
≈≈≈≈≈
Hari berganti hari akhirnya setelah Lingga mendapat gelar dokter mereka pun tunangan setelah dua tahun bersama. Kedua keluarga tentu sudah dekat. Bukan hanya antara orang tua Lingga dan orang tua Hartoyo, tapi juga para uwak, bibik, bude dan tante kedua belah pihak.
“Tapi ingat loh ya Kak aku akan ambil specialis ya, aku enggak mau dilarang,” itu ucapan Lingga ketika Hartoyo melamar secara resmi bersama orang tua dan keluarga besarnya.
“Kok masih Kak saja sih? Kan sudah suruh ubah,” pinta Hartoyo.
“Eh iya Mas. Pokoknya aku boleh tetap mengambil spesialis kan?”
“Aku saja nggak ngambil S2, kamu malah ngambil spesialis,” goda Hartoyo. Tentu dia tak akan melarang. Terlebih yang membiayai kuliah Lingga saat itu juga bukan dia. Lingga masih full dibiayai orang tuanya.
“Cita-citaku ingin jadi dokter anak. Kalau Mas nggak mau ya sudah jangan tunangan dulu, kita pending hingga aku selesai specialis.”
Hartoyo tentu tak ingin penundaan. Dua tahun hubungan mereka berjalan, tak sedikit kumbang yang melebihi dirinya mendekati Lingga. Bila dia tak gerak cepat, bisa dipastikan Lingga akan lepas dari genggaman. Dia tak mau itu terjadi. Justru pertunangan adalah jalan yang dia rintis agar dia ada kepastian.
Jadi keputusan mengikat diri ada dari pihak Hartoyo, bukan dari Lingga. Tak seperti perempuan pada umumnya, Lingga malah tak mau terikat pertunangan, dia lebih memilih langsung menikah saja bila saatnya tiba.
Akhirnya pertunangan pun digelar, semua kerabat diundang sudah layaknya seperti pernikahan hanya belum ada ijab kabul saja. Mereka janji dua tahun lagi menikah. Jadi nanti masa kebersamaan mereka sebelum menikah sekitar empat tahun.
Tentu saja orang tua Lingga tak menolak, bahkan kalau saat itu Lingga-nya mau menikah pun nggak apa-apa. Tapi Lingga tak mau. Dia mau menikah saat telah meraih predikat dokter specialis anak.
≈≈≈≈≈
Lingga yang sibuk dengan kuliahnya, Hartoya yang sibuk dengan target penjualan dan pembangunan proyek yang dia tangani membuat pertemuan keduanya semakin jarang.
Hartoyo sudah menjadi marketing Manager, tentu semakin agak sulit berkomunikasi atau keluar bersama. Proyek kantor juga makin banyak karena Hartoyo sangat ingin menambah pundi-pundi tabungannya untuk honeymoon yang dia rencanakan.
Saat itulah masuk sosok baru di dunia Hartoyo. Sosok sekretaris yang bernama Wulandari, yang ke mana pun Hartoyo meeting selalu mendampingi. Akhirnya Hartoyo dan Wulandari merasa mereka punya visi yang sama kalau untuk bicara. Mereka bisa sharing apa pun termasuk sharing peluh.
Padahal saat itu Wulandari tahu Hartoyo sudah akan menikah lima bulan lagi, karena Hartoyo sudah merancang desain undangan. Saat itu Wulandari melihatnya. Itu awal kedekatan mereka karena Hartoyo minta pandangan Wulandari, desain mana yang bagus. Jadi jelas saat itu Wulandari tahu Hartoyo sudah akan menginjak dunia rumah tangga.
Bagaimana pun caranya Wulandari berupaya bisa mengajak Hartoyo tidur bersama. Mereka sering melakukan baik di ruang kerja, maupun di lokasi meeting dengan kliennya. Jadi sehabis meeting di cafe atau resto hotel, Wulandari selalu memesan kamar hotel lalu mereka akan meeting private. Itu yang dilakukan Wulandari sebagai sekretaris Hartoyo. tak ada yang curiga karena memang mereka selalu dalam lingkup pekerjaan.
Meeting di luar kota mereka selalu ambil dua kamar, tapi yang mereka gunakan hanya satu kamar saja.