Bab 26 - Hujan Jua Ingin Keadilan

1442 Words
"Apa yang kau lakukan padanya? Kemarin kau tiba-tiba saja muncul didepannya merusak ketenangannya lalu sekarang kau mencuba untuk membunuhnya? Jika memang kau tidak menginginkannya maka jangan datang padanya bukan melukainya seperti ini!" "Saya tidak melukainya Hendrik! Dia pingsan didepanku karena terlalu lama berada dibawah hujan." bantah Clara cepat karena saat ini Hendrik, mantan suaminya. Sedang menatapnya tajam bahkan seakan ingin membunuhnya. "Aku tidak pernah mempermasalahkan apa yang kau lakukan padaku Clara, tetapi jika yang kau targetkan adalah Putriku maka aku tidak segan-segan melukaimu walaupun kau perempuan sekalipun." Setelah mengucapkan hal itu Hendrik berlalu meninggalkan Clara sendiri dilorong rumah sakit. Harusnya sekarang Clara sudah ada diistana impiannya, istana yang ia dapatkan dengan meninggalkan seseorang, istana yang harus ia bayar dengan mendapatkan kebencian berbagai pihak, termasuk anak-anaknya sendiri. Harusnya sekarang Clara sudah menikmati perawatan Spa dirumahnya. Memperbaiki tatanan rambutnya yang sekarang entah bagaimana modelnya karena berlama-lama di bawah hujan. Menikmati kenyamanan yang ia dapatkan dengan mengorbankan hidup Titania tanpa kasih sayangnya. Tetapi sesaat setelah Derta menelponnya ia khawatir. Ia ingin mengetahui keadaan Titania. Clara ingin melihat apakah Titania baik-baik saja? Ia mana mungkin kembali sedang hatinya gelisah seperti ini. "Apa yang kau lakukan disini?" Clara berbalik menatap seseorang yang tadinya bertanya padanya, hatinya terasa membuncah bisa bertatapan langsung dengannya setelah puluhan tahun berlalu. Ia ingin memeluknya karena terakhir ia memeluknya saat masih umur anak kecil. "Derta...." "Ciuhh!! mendengar kau menyebutkan namaku malah membuat rasa benciku padamu  semakin besar." Clara memejamkan matanya sejenak lalu kembali membukanya menatap hampa kearah Derta. Jujur, ia lebih menyayangi Derta karena dia adalah putra pertamanya. Anak yang ia besarkan keadaan baik-baik saja tidak seperti kedua putrinya yang harus tumbuh terpisah tanpa kejelasan. Perkataan Derta yang membencinya, membuat didalam sana semakin sesak. "Apa yang kau lakukan padanya Clara?, apa tidak cukup meninggalkannya sendiri di rumah sakit?" Fiona yang sedaritadi terdiam menatap kedudnya kini bersuara, apa yang ia takutkan kini terjadi! "Aku tidak melakukan apapun ma!" "Jangan memanggilku dengan sebutan itu Clara! Kamu sudah menjadi orang asing untuk kami." Balas Fiona tegas, "Kita lanjut keruangannya Titania Eyang, tidak usah perdulikan perempuan gila harta itu." Derta merangkul pundak Eyangnya kemudian berjalan kearah ruangan Titania Dirawat menyusul ayahnya kesana. Mengabaikan Clara yang menatap kepergiannya dengan hampa. "Bagaimana jika Bintang kenapa-napa?" lirihnya pelan. "Eyang! Kan tadi ayah udah nelepon kita katanya Titania hanya pingsan biasa karena terlalu lama dibawa hujan. Ia kedinginan dan yang kita tau Titania tidak boleh seperti itu karena sejak kecil badannya memang lemah." penjelasan Derta membuat Fiona sedikit tenang tetapi tetap saja ia masih khawatir mengenai kondisi Titania. "Sebenarnya apa mau perempuan itu!" "Sudahlah eyang! Nanti sakit kepala eyang kambuh kalau mikirin perempuan itu terus. Mending kita masuk kedalam lihat kondisi Titania." Derta mendorong pelan pintu ruangan tempat Titania dirawat. Membimbing Fiona masuk kedalam melihat bagaimana kondisi Titania saat ini. "Hai sayang." Fiona duduk di dekat bankar, mengelus pelan rambut Titania. Yang masih memejamkan matanya. "Bintang belum sadar Drik?" tanyanya pada putranya yang sedang duduk disofa. "Nia tadi sudah sadar bu! Tapi dibius kembali sama dokter soalnya kepalanya pusing banget katanya." jelas Hendrik. "Ohh iya, tadi ada temannya Nia bu! Si semesta itu. Dia sedang menebus obat Nia di apotik." lanjut Hendrik lagi, tadi saat ia masuk matanya menemukan laki-laki yang sedang duduk gelisah disofa dan setelah berkenalan ia akhirnya tau jika laki-laki itu adalah seseorang yang selalu putrinya panggil dengan sebutan Semesta. "Waah dia bisa sampai sebelum kita?" Fiona tersenyum merasa tenang karena Titania sudah mendapatkan seseorang yang peduli padanya. "Siapa namanya yah! Aku lupa." tanyanya sambari duduk didekat Hendrik. "Abani. Ayah-kan udah bilang kemarin, ternyata dia sopan banget dan sikapnya bikin ayah pangling ditempat tau engga! Andaikan ayah cewek pasti suka juga sama dia." Ia benar-benar sedikit kagum dengan sikap laki-laki berkacamata itu. "Yaelah yah! Berlebihan banget. Oh iya? Dia tau Nia masuk rumah sakit darimana? Bukannya ini baru beberapa jam ya?" karena ia saja baru tiba disini setelah perempuan gila harta itu menelponnya dan harus menunggu eyangnya bersiap sebelum berangkat kemari. "Katanya dia ditelpon sama sahabatnya Nia untuk nemenin dia tapi pas sampai ketaman dia malah melihat Nia diangkat sama laki-laki kedalam mobil. Yaudah dia ikutin ngiranya Nia diculik ternyata dibawa kerumah sakit. Jadi ya gitulah." Derta hanya mengangguk mendengarkan penjelasan ayahnya, laki-laki yang sangat gentle man sekali membuat Derta sedikit malu. "Yah! Jadi Abani ketemu dengan perempuan itu?" Hendrik menegakkan punggungnya mendengar pertanyaan Derta. Tanpa mengucapkan apapun Hendrik berdiri berjalan keluar ruangan memastikan sesuatu karena harusnya sekarang Abani sudah tiba didalam ruangan tetapi kenapa belum sampai sama sekali. Mata Hendrik mengedar mencari laki-laki berkacamata dengan jaket hijau gelapnya. Hendrik mematung melihat apa yang matanya dapatkan. "Perkenalkan ini Valencya, saudara kembarnya Titania." Abani masih mematung mengerjapkan matanya berkali-kali untuk membuat ia segera percaya akan keadaan saat ini. Perempuan didepannya benar-benar mirip Titania dan perempuan didekatnya lagi warna matanya mirip Titania. Tadinya ia langsung ingin masuk kedalam ruangan Titania tetapi ia dicegat oleh kedua perempuan ini. Yang satunya mengaku sebagai mamanya Titania dan yang satunya lagi sebagai kembarannya. "Kau pacarnya bukan?" perempuan yang tadinya mengaku sebagai mamanya Titania kembali bersuara, menanyakan hubungannya dengan Titania saat ini. "Mommy, kitakan mau jenguk adikku. Kok malah nanya-nanya kayak wartawan gitu sih!" Abani hampir saja tersendak air liurnya sendiri mendengar suara menja perempuan mirip Titania itu, sangat berbeda dengan Titania yang tegas dan cuek dalam berbicara. "Sayangnya mommy, diakan pacarnya adikmu. Engga papa dong kita sapa dulu!" Tidak tau kenapa melihat interaksi keduanya membuat abani merinding. Ia memang ingin Titania berbicara dengan anggun bahkan sopan tetapi melihat drama didepannya membuatnya berfikir ulang. Sepertinya lebih baik Titania dalam mode judes dan cuek daripada harus alay seperti ini. Membuatnya merinding ditempat. "Hai pacarnya adikku. Perkenalkan namaku Valencya agramata. Kau tau! Aku suka belanja, Salon, spa... Bla bla bla" Rasanya kepala Abani pusing mendengarkan ocehan tidak penting perempuan didepannya. Ingatkan abani untuk tidak menegur titania lagi dalam bersikap. "Tidak ada yang memerlukan kedatanganmu Disini." Hendrik tersentak ditempat karena tidak menyadari Derta sudah ada diantara orang itu, mungkin karena ia terlalu lama melamunkan sesuatu hingga Derta berjalan didekatnya tidak ia sadari. "Kau!" Derta menunjuk abani. "Kau segera ke perawat serahkan obat itu, kemudian masuk kedalam ruangan jaga eyang-ku dan Nia!" sebagai jawaban Abani hanya mengangguk kemudian melanjutkan langkahnya ketempat para perawat berada. Sesaat ia bertemu dengan ayah Titania, abani hanya mengangguk sebagai sapaan kemudian berlalu. "Aaa. Mommy....ini pasti kak Derta. Valencya kangen, biasanya cuman bisa lihat lewat hp sekarang bisa ketemu langsung." seruan itu membuat Derta mengalihkan pandangannya dari punggung Abani. Bukannya tersentuh Derta malah memperlihatkan wajah jijik melihat perempuan yang sangat mirip dengan Titania itu. Penampilannya sangatlah terbuka, bahkan wajahnya entah berapa lapis bedak yang ia gunakan. Ada sedikit raut terkejut karena ternyata warna mata Anak ini sama dengannya. "Derta, kita kembali kedalam. Jangan pedulikan mereka." laki-laki itu masih memperlihatkan wajah jijiknya melihat betapa berbedanya karakter Titania dengan perempuan ini. Dan Derta bersyukur Titania tumbuh bersamanya dalam didikan eyang dan ayahnya bukan bersama perempuan itu, lihatlah itu sangat kekanak-kanakan. "Derta..." Derta membalikkan badannya menatap ayahnya yang tak jauh dari tempatnya berpijak. Seberapa besar kebesaran hati laki-laki itu hingga bisa setabah ini menghadapi masalah dan memenui perempuan tak tau diri itu. "Yah! Engga mau nampar dia gitu?" tanyanya yang dibalas gelengan oleh Hendrik. "Atau ngusir dia langsung gitu?" Hendrik lagi dan lagi menggeleng. "Ayah tak pernah mengajarkanmu bersikap tidak sopan pada orang yang lebih tua darimu, Derta." Derta mendengus pelan mendengar penuturan ayahnya, "Derta.... " peringat Hendrik lagi. "Engga yah! Dia sangat tidak pantas merasakan hal itu. Karena bagiku setelah adikku bernama Titania lahir maka beberapa saat kemudian ibuku sudah meninggal dan-" "Apa aku tidak bisa mendapatkan keadilan sedikit saja?" gumam Clara "Keadilan? Really? Perempuan gila harta sepertimu meminta keadilan? Apa yang kau lakukan adal-" "Derta, ayah tidak ingin anak ayah menjadi orang durhaka pada orang tuanya." Derta memutar bola matanya malas, ayahnya itu terlalu baik maka dari itu perempuan ini selalu berbuat seenaknya. "Kakak, jangan seperti itu pada mommy." Valencya bersuara dengan suara manjanya bahkan kini sedang mengerucutkan bibirnya kesal. Sebelah tangan Clara ia peluk. "Aku bukan kakakmu, s****n!!" desisnya kesal. "Derta, jaga ucapanmu. Masuk kedalam ruangan sekarang." Derta maju kedepan memberikan tatapan tajam pada Valencya membuat perempuan manja itu mengeratkan pelukannya pada Clara. Setelahnya ia berlalu mengikuti titah ayahnya yang sepertinya sudah berada dalam ambang batas kesabarannya. "Jangan menguji kesabaranku Clara, bawa anak itu pergi dan enyah dari hadapanku serta keluargaku." Hendrik berjalan melewati keduanya. Sekilas menatap Valencya yang saat ini tetap menjadi anaknya apalagi warna matanya ada di dalam diri anak itu. "Jangan terlalu memanjakannya Clara." itu perkataan terakhirnya sebelum benar-benar pergi dari sana. Untung saja lorong rumah sakit sedang sepi dan tempat mereka berpijak tidak jauh dari ruangan Titania. "Apa aku tidak bisa merasakan kasih sayang anakku?" gumam Clara pelan sedang Valencya melepaskan pegangannya berbalik menatap kepergian ayahnya. "Ayah masih peduli padaku, mommy?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD