Tegar, Danny, dan polisi bernama Naki itu bergegas pergi menuju ke swalayan seberang jalan yang berjarak tiga gedung dari Pojok Benteng. Mereka harus sampai ke sana sebelum tertangkap zombie dan kembali lagi setelah ambil makanan, minuman, dan obat.
“Nanti pakai trolly saja biar bisa muat banyak yang bawa dan lebih cepat dengan mendorong trolly,” kata Danny sambil berlari. Idenya tidak begitu bagus.
“Jangan. Risiko besar. Terlalu berisik. Kita pakai plastik atau tas saja dan segera cepat pergi,” jawab Tegar sambil berlari juga padahal bagian perutnya terasa nyeri dan sakit di bagian punggungnya.
Naki tetap waspada sambil memegang pist*l. Kemarin dia sebenarnya sudah tergigit karena mengambil obat di apotek jaraknya lebih jauh dari swalayan. Dia masih takut karena salah satu kawannya tergigit dan sudah berubah karena infeksi. Sedangkan Naki tidak terinfeksi karena mengobati bekas luka gigitan di bahunya dengan alkohol dan menyobek lukanya. Kali ini, semoga nasib baik berpihak padanya. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, mereka bertiga berjuang untuk sampai ke swalayan.
“Berhenti. Lihat di depan kasir itu ada satu zombie. Kita bisa coba masuk dari pintu samping swalayan dengan perlahan. Kita berpencar saja. Aku akan mengambil makanan, Danny mengambil minuman, dan kau ... ambil obat, bagaimana?” Tegar membagi tugas agar lebih mudah mengambil keperluan dan kemudian pergi lagi.
“Namaku Naki," ujar lelaki yang menggunakan pakaian dinas polisi.
“Iya, Naki dan Danny. Nanti kita bertemu lagi di sini dalam waktu lima menit. Jangan terlalu lama. Hindari bersuara berisik dan gerak cepat.” Tegar yakin mereka bisa selamat dari serangan zombie kalau bertindak cepat dan tidak berisik. Dia berusaha menahan rasa sakit yang dirasa demi mengambil makanan untuk orang-orang yang berada di Pojok Benteng.
Setelah mencocokkan waktu di jam tangan, mereka bertiga pun masuk ke swalayan dan berpencar. Tegar segera menuju ke tempat roti dan memasukkan semua stok roti yang belum expired ke dalam tas yang dia bawa. Dia pun berinisiatif mengambil mie instan, sarden, dan makanan kaleng lainnya.
Saat mengambil sosis dan kornet, perut Tegar terasa nyeri sekali. Punggungnya pun juga terasa sakit. Dia susah bergerak dan merasa kesakitan. Apakah itu efek selama setahun dirawat dalam ICU? Tegar pun mencoba melangkah pergi untuk kembali ke samping swalayan dengan susah payah.
Danny sudah mengambil semua stok air putih dalam kemasan yang bisa dia bawa. Cukup berat untuk dibawa, Danny menggunakan ransel di depan dan di belakang. Dia segera pergi setelah selesai mengambil botol-botol minuman itu. Tak ingin membuang waktu dan bertindak sesuai dengan yang Tegar katakan.
Naki berjalan perlahan ke rak obat. Di sana ada zombie yang berada di kasir. Dia harus bergegas dan tidak mengeluarkan suara. Mengambil beberapa obat Paracetamol, antibiotik, obat maag, sakit kepala, perban, minyak angin, balsem, koyok, dan lain sebagainya.
“Graaa ... graaaa ....” Zombie itu masih di dekat kasir. Sepertinya terjebak di situ dan tidak bisa pergi karena tangannya terikat tali dan disambungkan ke tiang dekat kasir. Siapa yang melakukan hal itu? Apakah ada kelompok lain yang selamat dan bertahan hidup? Ini baru hari kedua kekacauan karena zombie. Belum banyak orang selamat ditemukan. Semoga masih banyak orang yang selamat. Itu yang menjadi pemikiran Naki.
Naki pun segera pergi dari swalayan setelah mengambil obat-obatan yang cukup banyak. Saat sampai di samping swalayan, tangan Naki di tarik oleh Danny. Ternyata Danny dan Tegar bersembunyi di balik tempat s****h besar. “Ada apa?” tanya Naki yang kaget saat ditarik tangannya.
“Ssst ... Ada lima zombie tadi di depan g**g. Ini Tegar juga merasakan kesakitan. Dia baru saja pulih dari koma di ICU selama setahun,” bisik Danny menjelaskan keadaan saat ini.
“Hah? Gila kalian! Orang baru sadar dari koma kenapa boleh ambil konsumi? Bunuh Diri? Haissh ... Merepotkan saja!” gerutu Naki yang baru tahu kondisi Tegar.
Tegar terdiam karena menahan sakit yang terasa luar biasa. Dia hampir kehilangan kesadaran. Naki memberi balsem ke hidung Tegar agar tetap sadarkan diri. “Menyusahkan saja.”
Danny menatap Tegar dan bertanya dengan lirih, “Bagaimana? Kamu masih bisa berjalan? Aku akan memapahmu.”
“Gila kau? Kau saja bawa air segitu banyaknya. Mana mungkin bisa memapah orang ini?!” Naki kesal dengan keadaan saat ini.
“Daripada menggerutu, lebih baik aku melakukan yang aku bisa. Kasihan Tegar,” jawab Danny membuat Naki makin kesal dengan jawaban itu.
“Baiklah kalau begitu, kau urus dia. Aku urus zombie di depan. Terpaksa kutembak mereka. Kau harus lari sekencang mungkin karena zombie lain pasti akan datang ketika mendengar suara tembakan,” jelas Naki yang ternyata memiliki hati dan solidaritas tinggi.
Danny mengangguk paham dan bersyukur ternyata Naki tidak seegois itu. “Ayo Tegar. Kita harus berusaha berlari sampai Benteng,” ajak Danny sambil memapah tubuh Tegar yang lebih besar darinya.
Naki berjalan terlebih dahulu dan memastikan arah ke Pojok Benteng aman, langsung memberi aba-aba kepada Tegar dan Danny untuk berlari. Saat berlari terseok-seok, tidak disangka zombie yang sudah berada di depan swalayan melihat mereka. Zombie itu pun segera mengejar mereka.
“Graaa .... Graaaa ....”
“Gawat! Lari!” seru Naki yang kemudian langsung menembak sasaran yaitu kepala zombie.
Satu kali suara tembakan tepat mengenai kepala zombie. Dua kali suara tembakan pun mengenai kepala zombie yang berlari ke arah mereka. Naki tetap berlari sambil mundur dan berusaha menembak zombie-zombie itu. Kurang tiga lagi! Namun suara tembakan yang memecah kesunyian itu seakan menjadi magnet bagi para zombie. Dari kejauhan terlihat zombie lainnya berjalan ke arah mereka.
“s**l! Kalian cepat masuk ke Benteng! Lewat garis merah, prajurit pelindung akan membantu menembak zombie dari atas Benteng!” teriak Naki memerintah kepada Danny dan Tegar.
Tegar makin merasakan kesakitan di tubuhnya. Tubuhnya pun demam dan rasanya menggigil. Dia merasa tubuhnya semakin ringan dan pandangannya kabur serta pendengaran mulai berdengung.
“Bertahanlah! Bertahan! Sebentar lagi sampai!” kata Danny yang makin panik karena tubuh Tegar yang dia papah makin lemas dan sangat berat untuk berlari. Padahal tubuh Tegar jauh lebih besar dari tubuh Danny. Meski seorang satpam, Danny memiliki tubuh yang tidak begitu besar.
Naki menembak kembali satu per satu zombie yang mendekat. Dalam kondisi terpojok, akhirnya mereka masuk ke garis merah dan berhasil kembali ke Pojok Benteng. Pasukkan penembak pun mulai menembak satu per satu zombie yang masuk ke garis merah.
Naki segera masuk ke Benteng dan berteriak meminta bantuan karena Tegar tak sadarkan diri. “Tolong! Ada yang pingsan!”
Hesti dan Bondan langsung turun dan menolong. Sedangkan Edo justru sedang mengobrol dengan Kapten soal rencana selanjutnya. Tidak mungkin mereka semua bertahan di Pojok Benteng dengan kondisi zombie mengarah pada mereka.
“Tegar?! Ada apa ini?” Hesti pun khawatir dengan Tegar yang tak sadarkan diri.
“Dia mengeluh nyeri di bagian perut dan sakit di bagian punggung. Sepertinya efek dia sakit di ICU,” jawab Danny yang segera meletakkan Tegar ke lantai.
Orang-orang yang selamat di Pojok Benteng cukup banyak. Mereka hanya meringkuk ketakutan. Jumlah orang biasa dan aparat yang selamat tidak sebanding. Jika zombie itu menerobos maka tamatlah sudah.
Naki meminta tas bawaan Danny dan Tegar. Dia akan menyerahkan ke bagian pembagi makanan, minuman, dan obat. “Mana tas kalian? Biar orang lain yang mengelola agar semua dapat sama rata.”
Danny pun memberikan semua ke Naki. Kecuali satu botol minuman dia sembunyikan untuk dirinya sendiri tanpa sepengetahuan Naki. “Ini dan ini .... Sudah.”
Hesti pun memeriksa keadaan Tegar dan melihat perut dan punggungnya. Bagian luka yang dijahit bagian perut dan punggung yang dulu terbentur keras. Tidak heran jika Tegar mengeluhkan sakit sekarang. Hesti meminta perban dan alkohol untuk merawat luka bekas jahitan di perut Tegar. Danny dan Bondan masih di sana karena merasa iba tidak membantu Tegar. Malah justru orang yang baru sadar dari sakit mau berjuang mengambil makanan untuk orang dalam kelompok.
Naki pun pergi ke bagian konsumsi dan menyerahkan semua. Dia pun meminta perban, alkohol, dan obat merah untuk Tegar. Padahal dia juga hendak memakai. Naki menyembunyikan lukanya. Tadi saat berlari, salah satu zombie berhasil menggigit tangan Naki. Dia takut diusir atau dibunuh oleh yang lain jika ketahuan ada bekas gigitan zombie.
Naki menyerahkan perban dan alkohol pada Hesti dan berlalu pergi. Dia segera masuk ke kamar mandi dan membuka pakaiannya. Dia mengamati luka yang berada di tangan kirinya. Bekas gigitan itu mulai menghitam dan membuat bekas urat-urat kecil berwarna biru di sekitarnya. Naki langsung mengambil alkohol dan menyiramkan ke bagian bekas gigitan itu hingga meringis kesakitan. Setelah diberi alkohol, Naki segera memberi obat merah dan membalutnya dengan perban. Sekiranya tidak terlihat lukanya, Naki langsung mengenakan kembali seragamnya yang berlengan panjang. Dia was-was orang akan tahu dan dia akan dibunuh.
Siang harinya pukul satu ....
Semua orang diberikan makanan dan minum dengan cara berbagi. Mau tak mau semua harus membagi apa yang ada agar cukup untuk semuanya. Mereka pun menyeduh air dengan panci pemanas dan mengambil air kran untuk membuat mie. Mie yang dibuat pun langsung dalam jumlah banyak dengan peralatan masak dan peralatan makan terbatas untuk semua orang.
Naki duduk di pojokkan. Dia masih terdiam karena takut ketahuan. Sedangkan kondisi Tegar sudah membaik. Dokter Hesti memberikan obat antibiotik untuk diminum Tegar. Obat itu akan mengurangi rasa nyeri dan sakit yang dirasakan oleh Tegar.
“Maafkan aku kalau aku merepotkan. Aku tidak tahu kalau akan merasakan sakit seperti itu tadi,” ucap Tegar kepada Danny dan juga Hesti.
“Tidak apa-apa Tegar terpenting sekarang kau sudah dalam kondisi yang lebih baik,” jawab Danny sambil tersenyum.
Hesti pun mengelus pundak Tegar dan menguatkan dirinya. “Kamu harus kuat. Kamu harus melawan rasa sakit itu. Bukankah kau sudah sembuh total? Kau pasti bisa melewati ini semua. Kau sudah janji kepadaku akan menyelamatkanku dari bencana ini.”
Tegar pun tersenyum dan mengangguk. Dia tahu bahwa Hesti sedang menyemangati dirinya dengan cara tersendiri. Mereka pun makan bersama dengan makanan yang sudah dibagi. “Ini untuk berenam!” kata petugas.
Bondan pun memanggil Edo dan Wisnu untuk makan bersama karena mereka satu kelompok. Setelah mereka berkumpul, roti, mie, dan air itu pun dibagi dan dimakan bersama.
“Kita tidak bisa bertahan di sini,” kata Wisnu yang sudah berkeliling dan mencari tahu soal bantuan lain dari para penjaga di atas Benteng.
“Iya. Tadi Kapten bilang hendak mencari mobil tentara AD-905 yang berada di pusat kota untuk mengevakuasi. Ini sangat berisiko. Jalan perbatasan pun akan diblokade,” imbuh Edo yang tahu itu semua dari pembahasan dengan Kapten tadi.
“Mustahil! Mobil itu penuh zombie!” ujar Wisnu yang ingat kejadian kemarin saat satu per satu kawannya berubah.
“Lalu harus bagaimana?” tanya Hesti khawatir.
“Kalau ada pembatasan atau blokade di perbatasan, lebih baik kita menuju ke perbatasan terdekat. Warga selamat di kota ini tidak akan dievakuasi,” ujar Tegar yang mencoba untuk duduk karena sudah merasa lebih baik.
Mereka berlima menatap ke Tegar. Ada benarnya apa yang dikatakan oleh Tegar. Tidak ada jaminan mereka yang di Pojok Benteng akan selamat atau dievakuasi. Kondisi banyak warga dan sedikit aparat membuat pertahanan makin lemah. Apalagi tidak ada senja*a yang memadai untuk perlindungan.