Siang berganti malam dengan cepat. Mereka yang di atap rumah sakit mulai menggigil kedinginan. Ada lima belas orang di sana, termasuk Hesti, Tegar, dan Edo. Beberapa kali suara teriakan dan suara geraman dari mayat hidup itu terdengar. Berulang kali mereka mencoba handphone untuk komunikasi, tetapi semua provider sibuk dan tak bisa digunakan bahkan jaringan internet pun terputus.
“Bukannya kau dokter? Bisa jelaskan semua ini? Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Edo yang mulai jenuh berada di atap nan luas tanpa ada makanan, minuman, maupun selimut untuk menahan dinginnya malam.
“Tolong tenang dulu. Jadi, sepertinya ini ada kaitan dengan suntikan vaksin dua hari yang lalu. Warga yang menerima suntikan vaksin Covid-23 itu mengalami demam tinggi hingga kehilangan kesadaran. Mulai kemarin, rumah sakit mendapatkan lonjakan pasien yaitu orang-orang yang mendapatkan vaksin terlebih dahulu. Kemudian … sejak tadi pagi orang-orang itu berubah menjadi brutal, kanibal, dan menjadi semacam mayat hidup atau zombie. Beberapa kali terdengar tembakan dari petugas kepolisian tapi tadi aku melihat makhluk itu masih bergerak,” jelas Hesti yang sebenarnya takut menceritakan hal itu. Dia takut akan makin kacau keadaannya.
“s**l*n para pemerintah! Kenapa sembarang beri vaksin untuk warga tanpa uji coba dulu!” geram Edo yang sejak awal curiga dengan vaksin Co**id-23 ini karena dua tahun lalu saat Co**id-22 menyebar dan ada vaksin, dua puluh persen penduduk meninggal dan hal itu membuat kesulitan memakamkan jenazah.
“Bukan salah pemerintah! Ini murni dari pusat sentral Vaksin DLC-23. Sepertinya mereka mengalami kesalahan dalam produksi,” sanggah seorang lelaki yang mengenakan seragam satpam.
“Orang aneh, jelas-jelas ini salah pemerintah yang gegabah masih saja membela!” Edo masih bersikeras menyalahkan pemerintah atas kejadian yang sudah mengglobal itu. Bukan hanya Indonesia yang terancam bahaya, pun juga negara-negara yang menerima vaksin DLC-23 itu.
“Kalau terus menyalahkan pemerintah, mengapa tidak pindah negara saja?!” Satpam itu kesal dengan Edo yang bertingkah seenaknya sendiri.
Edo yang tersulut emosi pun memukul wajah satpam itu. Kemudian perlakuan Edo mendapatkan balasan dari satpam hingga terjadilah baku hantam. Tegar yang kondisi tubuhnya mulai kondusif untuk bergerak pun segera melerai pertikaian itu dibantu para lelaki dewasa yang lain.
“Jangan seperti anak kecil begini! Ingat kalau kita sama-sama dalam bahaya. Kalau kalian bertengkar bisa jadi memancing para mayat hidup ke sini memangsa kita karena mendengar suara kalian!” tegas Tegar dengan sekuat tenaga untuk berbicara.
Semua orang langsung saling menatap saat mendengar suara teriakan dari arah pintu bersautan dengan gebrakan pintu. Edo dan satpam berhenti berkelahi. Sepertinya perkataan Tegar terjadi.
“Tolong! Buka pintunya! Tolong!”
“Cepat buka pintu kumohon!”
“Aaaaaaa! Tidak!”
“Graaa graaa … graaa ….”
Suara itu saling bersautan hingga suara gebrakan pintu pun hilang berganti teriakan kesakitan dan suara mengerang dari para mayat hidup atau zombie. Seketika keadaan menjadi tegang dan semua orang berdiam diri karena takut makhluk itu bisa sampai ke atap.
“Untung saja tadi kamu mengganjal pintu menuju ke tangga dengan gagang sapu dan pel,” bisik Tegar pada Hesti.
Hesti hanya tersenyum dan mengangguk. Sebenarnya dia sangat takut jikalau pintu bisa diterobos. Mereka akan kesulitan untuk kabur karena berada di atap. Seketika terdengar beberapa kali suara tembakan dari kejauhan. Suara itu memecah kekacauan di malam yang dingin.
Semua orang yang ditatap langsung bergegas melihat ke bawah untuk mengetahui apa yang terjadi. Ternyata ada sebuah mobil yang dikepung zombie dan ada seseorang dari sebuah gedung lantai dua yang menembak satu per satu mayat hidup itu tepat di kepala demi menyelamatkan orang-orang di dalam mobil.
“s*****a? Sepertinya kita butuh orang itu. Dia bisa membuat mayat hidup itu benar-benar mati. Perhatikan tembakannya tepat di kepala.” Tegar mengamati hal itu dan dia menyimpulkan bahwa zombie akan benar-benar mati jika ditembak bagian kepalanya.
“Bagaimana cara kita ke sana kalau ini saja di lantai empat belas! Kita justru terjebak di sini tanpa makanan dan minuman, bahkan selimut pun tak ada untuk menahan dingin.” Seorang wanita yang mulai ketakutan pun menjadi histeris. Hesti segera menenangkan wanita itu karena takut membuat keributan dan memancing zombie itu ke arah mereka.
“Tenang, Bu. Tolong tenang dulu,” kata Hesti sambil menenangkan wanita itu.
Tegar pun mencoba membicarakan hal ini dengan para lelaki.
“Begini, aku teknisi di rumah sakit ini dan tahu jalan ke bawah tanpa lewat tangga itu atau lift. Kita bisa menggunakan tangga besi darurat di sebelah sana. Namun tangga itu tidak bisa menahan beban badan kita semua. Paling tidak tiga orang bergantian turun sampai bawah, baru orang lainnya turun. Bagaimana? Dari tangga besi itu kita bisa ke bagian samping rumah sakit dekat generator darurat dan lewat parkiran ambulans baru bisa ke gedung itu dan bertemu orang dengan s*****a itu,” jelas Tegar dengan seksama.
“Baik kalau ini satu-satunya kesempatan. Kita patut coba.”
“Iya. Lagi pula tak mungkin kita di sini terus sampai kelaparan.”
“Bagaimana kalau besok saja? Sekarang sudah malam dan penerangan kurang. Aku kesulitan untuk turun tangga besi seperti itu.”
Satu per satu jawaban serta tanggapan dari penjelasan Tegar pun terdengar makin membuat bingung. Edo pun ikut angkat suara. “Lebih baik sekarang saja. Karena setahuku, seperti dalam beberapa film mengerikan soal zombie atau mayat hidup, mereka sensitif dengan cahaya dan suara. Jadi, remang-remang seperti ini justru pantas untuk waktu melarikan diri!”
Tegar menatap Edo dan menyetujui apa yang dikatakan bisnisman itu. Mereka pun sepakat menjalankan rencana melarikan diri dari atap rumah sakit dan menemui orang bersenjata yang ada di gedung samping dengan harapan bisa mencari makanan dan minuman juga untuk bertahan hidup sambil menunggu pertolongan dari pemerintah.
“Baiklah kalau itu ide kesepakatan kalian. Tapi … biarlah wanita di tengah. Karena jumlah lelaki lebih banyak di sini. Biar kami juga merasa dilindungi,” usul Hesti karena risiko menuruni tangga besi cukup besar, sebenarnya dia takut ketinggian.
“Baik. Kalau begitu ayo kita mulai!” Edo pun memberi aba-aba siapa saja yang turun pertama kali. Dia meminta Tegar memulai karena lebih paham cara turun tangga besi. Lalu disusul Hesti dan kemudian dirinya sendiri. Orang lain pun menyetujui karena sebenarnya mereka tidak yakin untuk turun dengan tangga besi yang menempel di dinding samping gedung rumah sakit dari lantai empat belas sampai ke bawah sangat tinggi.
“Te-Tegar … kamu yakin?” Hesti khawatir karena kondisi tubuh Tegar masih belum pulih sepenuhnya.
“Ya. Tidak apa. Kita harus keluar dari sini karena cepat atau lambat, sesuatu yang buruk pasti sampai juga ke atap ini.”
Tegar merenggangkan tangan dan kakinya. Bersiap akan menuruni tangga besi itu bersama Hesti dan Edo.
Edo pun berpikir hal yang sama. Akan lebih menguntungkan jika dia lari dari atap pada kloter pertama, sebelum para zombie menyadari adanya pergerakan manusia. Edo seorang yang sangat licik dan selalu memikirkan diri sendiri. Dia bahkan rela mengorbankan orang lain demi menyelamatkan nyawanya sendiri.
Awal Perjuangan pun dimulai. Harus lari (run) dari tempat itu sebelum sesuatu yang buruk terjadi! Meski menahan lapar dan haus, mereka pun menuruni tangga besi dengan perlahan.