"Nah kan sudah aku tebak, tidak mungkin dia sendiri yang punya kemauan untuk memberikan aku hadiah sebanyak ini. Ternyata tante Kartika yang menyuruhnya toh, berarti kalau tidak disuruh tante manusia bertato itu tidak akan membelikan barang-barang ini." Gumam Jelita dan tepat ketika ia menyelesaikan kata-katanya sebuah pesan w******p masuk ke ponselnya dan itu dari kontak bertuliskan SUAMI TAMPAN.
SUAMI TAMPAN
Ingat foto semuanya, dandan yang cantik dan tunjukkan wajah yang bahagia. Semua keperluanmu sudah aku siapkan di sana. Dan perbaiki poni Dora kamu itu, yang sungguh menyakitkan penglihatanku.
Begitulah isi pesan panjang itu. Raut wajah Jelita langsung berubah kesal setelah membaca pesan terakhir.
"Cih berlebihan amat sih. Kalau menyakitkan penglihatanmu ya tidak usah dilihat. Begitu saja kok repot. Sudah seenaknya mengambil ciuman pertamaku, sekarang dia seenaknya saja memerintahku." Gerutu Jelita, ia pun tak membalas pesan tersebut dan meletakkan ponselnya di atas meja lalu kembali membuka sisa kotak-kotak itu.
Benar saja isi semua hadiah itu adalah barang-barang yang memang ia perlukan seperti kata calon suaminya. Mulai perawatan dari ujung kaki sampai ujung kepala ada, pakian dari daleman sampai luaran lengkap semua dari model mini, terbuka sampai yang tertutup menjuntai ke lantai. Dari make-up dan skincare, body care, dan kawan-kawannya semua sudah tersedia. Sepatu, sendal segala macam model dari yang teplek sampai haknya setinggi sepuluh centi juga ada. Pokoknya paket komplit sudah dan yang lebih mengejutkan lagi, ponsel termahal dan juga perhiasan emas pun ada, lengkap di sana.
"Ucapan ibu benar, perhiasan juga ada di sini. Sekomplit ini pula. Wah wah sepertinya aku akan menjadi Cinderella dadakan." Gumam Jelita.
Gadis itu pun membawa sisa barangnya kembali ke dalam kamar, merapikannya di sana satu persatu. Ia mulai menyusunnya karena sesuai permintaan sang SUAMI TAMPAN ia harus berfoto dengan itu semua dengan wajah bahagia.
"Barang-barang ini pastinya tidak gratis begitu saja bukan? Bahkan aku serasa sudah menyicilnya dengan sebuah ciuman. Entah apa yang akan dia tuntut lagi nanti padaku, sebagai balasan atas semua pemberiannya. Maaf ya manusia bertato, aku juga tidak sebodoh itu untuk kamu permainkan nantinya." Gumam Jelita lagi.
"Sepertinya aku harus menunjukkan sisi lain aku sekarang, berpura-pura jadi gadis bodoh juga tidak selamanya enak. Cukup hanya di depan ornag tua aku saja, mereka mengenalku sebagai anak yang polos." Jelita menyeringai.
Setelah menyusun semuanya kini gadis itu mulai mengambil handuk mandinya serta sabun dan juga shampoo bermerek yang diberikan oleh calon suaminya itu. Berjalan meninggalkan kamar kecilnya itu dengan anggun menuju sumur di belakang rumahnya. Untuk beberapa menit berlalu ia menghabiskan diri untuk membersihkan setiap inci dari bagian tubuh indahnya yang tersembunyi dibalik pakaian yang bahkan menurut teman-temannya itu sangat ketinggalan jaman.
"Tidak akan aku biarkan si kulkas beku itu menghancurkan rencana masa depan yang sudah aku susun begitu rapi dari tiga tahun lalu. Lihat saja akan aku buat kamu kesal layaknya orang dewasa yang tak suka dengan kartun si Dora ini." Ucap bibir ranum itu di bawah guyuran air yang ia tuangkan di atas kepalanya.
Tubuh indahnya selalu ia tutupi dengan kaos anehnya, bahkan ia melilitkan sabuk panjang untuk menutupi bagian dadanya agar tidak mengundang pikiran liat lawan jenisnya. Bahkan bagian belakang juga begitu indah kalau untuk di pamerkan begitu saja. Namun Jelita memilih mengenakan model rok rampel yang sengaja di buat ukuran besar di area panggulnya. Jadi lah kelihatan ia memiliki tubuh ramping setipis triplek, karena di bagian-bagian pentingnya itu sudah ia lindungi dengan sempurna.
Sejak mengalami menstruasi di bangku kelas satu SMP entah kenapa bentuk badannya berubah dan ia sendiri bahkan begitu ngeri melihat perubahan itu ketika ia berada di depan cermin yang hanya akan memancing pikiran kotor orang-orang jika melihatnya. Bahkan hal itu juga di sembunyikan dari kedua orang tuanya.
Jelita memang sungguh bukan gadis biasa, ia gadis yang cerdas hanya saja ia bersembunyi di balik penampilannya culunnya itu. Ia memang anak berprestasi di sekolahnya bahkan dia lah siswi dengan lulusan nilai tertinggi di sekolah itu. Hanya saja ia memang benar-benar ingin menutupi dan melindungi dirinya dari pergaulan yang ia anggap hanya akan menghabiskan waktunya dengan sia-sia. Semakin ia menutup diri untuk bersenang-senang para dengan kehidupan remaja SMA pada umumnya maka kesempatan untuk ia menjadi orang sukses semakin terbuka lebar. Ia sunggu tak mau terus menerus hidup mengurus rusunawa ayam-ayamnya itu. Namun ketika ia sudah berhasil mendapatkan beasiswa untuk menggapai jalan kesuksesannya eh malah bapaknya memintanya untuk menikah muda.
"Oke saatnya action." Ucapnya ketika ia sudah berada di dalam kamar kecilnya.
Jelita mulai memilih pakaiannya, mengambil sebuah gaun cantik dengan model bahu terbuka. Ia mulai memoles wajahnya dengan seperangkat alat make up itu. Merias diri dengan tampilan natural namun sangat elegan. Untuk menghiasi bagian bahu dengan leher jenjangnya yang indah itu ia mengambil sebuah kalung berwarna perak yang bermata bunga plum itu di pasangkan di lehernya. Gaun merah selutut itu begitu cantik melekat di tubuh indahnya, bahkan belahan dadanya pun nampak di sana. Jelita mulai mengerikan rambutnya lalu meluruskannya. Barang-barang itu benar-benar sangat berguna.
"Sudah berasa seperti di salon saja, lengkap semua ada di sini. Ini lagi kotak make up ngalahin kotak make up artis saja." Gumamnya bermonolog sendiri.
Tak lupa ia mengoleskan lipstick dengan warna nude agar tidak terlalu menor. Sebelum mulai berfoto ia melirik ke cermin yang ada di kotak make up nya itu untuk mengecek penampilannya.
"Sempurna." Ucapnya dengan senyum licik di wajahnya, entah apa yang kini ada di otak gadis itu sampai ia memutuskan untuk berpenampilan seperti itu.
Jelita meraih ponselnya menyalakan kamera dan membidik tepat ke arah bayangannya yang memantul di cermin kotak berukuran sedang itu. Pantulan setengah badannya ada di sana seperti ukuran pengambilan foto untuk ijazah nya kemarin. Ketika ia masih sibuk mencari posisi yang pas untuk mengabadikan momen langkanya tiba-tiba sebuah panggilan masuk tertera di layar ponselnya itu, beruntungnya itu bukan panggilan video. Hanya saja karena terkejut melihat nama si penelepon Jelita lupa dan tak sadar telah menekan tombol bundar itu yang berhasil menangkap gambar dirinya dari kamera belakang yang menyala itu.
"Ha-halo mas." Sapanya dengan nada bergetar seolah ia tengah tertangkap basah mencuri sesuatu.
"Lama amat sih kamu cuma ngirim beberapa foto saja." Sentak suara di seberang sana.
Mood Jelita seketika kembali berubah, "heran deh sama ini orang tidak bisa apa tidak ngegas begitu." Batinnya.
"Maaf saya belum bisa cara menggunakan kameranya tuan, ini lagi belajar di buku panduan." Bohong Jelita.
"Ya Tuhan, selain tampilanmu seperti Dora ternyata kamu juga punya otak seperti Patrick. Astaga akan bagaimana jadinya aku nanti, kalau sudah menikah denganmu?" Kenzo mulai merendahkannya lagi.
"Sialan aku di katain kayak Patrick Star itu, wah wah sepertinya aku harus membuat rencana penyiksaan hidup perlahan untuk manusia satu ini." Gerutu Jelita dalam hati yang kini sudah dengan tangan terkepal menahan emosinya. "Kali saja nanti mas ikut berubah jadi Spongebob biar bestie-an kita." Gumam Jelita.
"Apa kamu bilang?"
"Tidak bilang apa-apa tuan. Wah tuan ternyata suka nonton film kartun ya?" Canda Jelita berpura-pura ceria, mengalihkan pembicaraan sebelumnya. Bisa gawat kalau pria itu marah.
"Sudah jangan banyak bicara lagi, sekarang juga kirimkan aku foto yang aku minta tadi. Dalam lima menit foto itu sudah masuk ke ponselku." Perintah Kenzo galak seraya menutup telponnya.
"Dasar kulkas beku, bawelnya ngalahin ibu saja. Aish." Jelita mulai merasa frustasi sendiri berhadapan dengan orang itu.
"Tunggu, kalau begitu aku tidak sebaiknya seperti ini. Ini hanya akan jadi jebakan Batman untuk diri ku sendiri nanti." Gumamnya seraya kembali melihat pantulan dirinya di depan cermin.
Dengan cepat ia menghapus make up dan mengganti pakaiannya, dengan pakaian sederhana seperti penampilan biasanya.
"Nah ini baru cocok." Ucapnya ketika ia melihat pantulan dirinya lagi dengan pakaian barunya. Kali ini ia mengenakan pakaiannya sendiri yang biasa ia pakai untuk membantu bapaknya mencangkul di sawah. Kaos kebesaran yang warnanya sudah sangat lusuh di gunakan untuk menutup bagian atas gaun itu.
Dengan gaya asal-asalan dan wajah pura-pura bahagianya ia pun mulai mengambil beberapa foto dan dengan segera mengirim kannya pada pria cerewet itu.
*****
"Daddy." Panggil dua suara manja seraya berlari menghampiri Kenzo yang baru saja menutup pintu rumah singgahnya yang lain. Kenzo dengan sigap menggendong dua anak perempuan cantik itu dengan lengan kekarnya. Penampilan mereka tetap terlihat mewah sejak dini bahkan di saat mereka berada di dalam rumah. Dengan gemas Kenzo mencium pipi Shakaela dan Shakeena bergantian.
Di rumah singgah ini lah, Khanza beserta dua putri kembarnya tinggal. Kenzo menyebutnya rumah singgah karena ia tak setiap hari datang kemari. Rumah mewah dengan fasilitas lengkap yang ditata rapi oleh Khanza, rumah singgah ini ketat dengan penjagaan di pintu gerbang utama yang dipekerjakan langsung oleh Kenzo untuk menjaga wanita cantiknya serta dua putri kembarnya itu. Sementara di dalamnya hanya tinggal seorang asisten rumah tangga yang membantu Khanza mengurus keperluan dua putrinya.
Khanza juga ikut berjalan ke arah pria tampan yang ia tahu suaminya itu, Kenzo melempar senyum padanya, senyum yang begitu manis dan tulus. Pria itu pun mendaratkan sebuah kecupan hangat di kening wanita cantik itu. Setelah Khanza melahirkan kedua putri mereka, ia merasa ada yang aneh dari suaminya itu. Kenzo hanya memberikannya sentuhan luar saja, tidak seperti pasangan suami-istri lain yang sampai berhubungan intim. Pria itu hanya memeluknya, dan mencium pipi atau keningnya saja. Bahkan ciuman bibir saja tidak, tentu saja Khanza pernah menanyakan hal itu tapi Kenzo hanya memberikan jawaban kalau ia lebih nyaman dengan hal itu dan meminta Khanza untuk tidak membahas hal itu lagi dengannya.
Kenzo juga tidak pernah sampai bermalam di rumah mereka, dan karena hal itu Khanza bahkan menyewa seseorang untuk menyelediki pria itu, namun ia tak menemukan bukti kalau Kenzo berhubungan dengan wanita lain di luar sana. Dan yang membuat Khanza akhirnya berdamai dengan sikap suaminya itu, Kenzo selalu memberikan perhatian dan kasih sayang yang sangat besar padanya dan juga putri kembar mereka. Mungkin memang benar alasan Kenzo tidak lagi tidur seranjang dengannya juga karena kesehatan Khanza setelah kejadian mengerikan yang membuat sampai hilang ingatan. Bahkan sampai ia melahirkan ke dua putri kembarnya juga ia hanya bisa berbaring di rumah sakit.
"Sayang bisakah kita bicara" tanya Khanza lembut.
Kenzo mengerti dan meminta putri-putrinya untuk kembali bermain dengan mainan mereka dulu. "Baiklah para tuan putri cantiknya Daddy, kalian harus bermain sendiri dulu ya! Mommy sama Daddy mau rapat penting dulu." Ucap Kenzo seraya menurunkan kedua anaknya.
"Oke Deddy, tapi janji ya setelah itu Daddy harus menemani kita bermain!" Ucap Shakaela manja.
Kenzo mengangguk, "ya Daddy janji."
"Hore." Seru mereka bersemangat dan berlari menuju ruang bermain mereka.
Khanza dan Khenzo kini berjalan menuju sofa panjang itu.
"Mas sudah makan?" tanya Khanza di sela perjalanan mereka menuju sofa.
"Sudah tadi di kantor bareng Raka." Jawab Kenzo seraya duduk di sofa paling tengah di ikuti Khanza di sampingnya.
"Bagaimana pertemuan mas dengan gadis itu?" tanya Khanza dengan nada suara berbeda, tentu saja Kenzo sudah menceritakan dan meminta izin pada Khanza untuk bertemu dengan gadis yang dijodohkan dengannya oleh sang mama.
Kalau mau ditanyakan bagaimana perasaan Khanza mengetahui suaminya akan menikah lagi, tentu saja awalnya ia terkejut hanya saja setelah itu perasaannya kembali baik-baik saja. Mungkin hal itu karena Khanza sudah terbiasa tanpa suaminya di rumah, jadi wanita itu hanya bisa memberikan izin dan restu pada suaminya.
"Sejauh ini semua berjalan baik. Hari ini aku tidak bisa berlama-lama di rumah, karena aku harus kembali ke kantor!" Jawab Kenzo singkat.
"Em baik mas, tidak masalah. Syukurlah kalau semua berjalan dengan baik." Jawab Khanza pasrah, dan pembicaraan mereka selesai sampai di sana.
"Kalau begitu aku mau menemui anak-anak dulu. Ah ya mamah akan ke sini nanti malam untuk menemani kalian." Pamit Kenzo seraya bangkit dari duduknya.
Khanza hanya menganggukkan kepalanya, tanpa ada protes karena memang biasanya sang mertua yang akan lebih sering menemaninya di rumah itu. Bahkan mertuanya sudah sangat sering meminta agar mereka pindah saja ke rumah utama, namun Khanza tetap saja menolak permintaan itu.