1 MINGGU SEBELUM ACARA PERNIKAHAN
Jelita Cahaya Mentari gadis berusia 19 tahun itu tengah berjalan kaki di trotoar seraya ngedumel sendiri, ini adalah hari ketidak beruntungnya. Pengumuman kelulusannya di tunda sampai lusa, padahal ia sudah sangat bersemangat sekali tadi pagi sampai berangkat lebih awal ke sekolah setengah jam setelah selesai shalat subuh. Tapi pengumuman malah diundur dan apesnya lagi ia ketinggalan angkutan umum yang biasa ditumpanginya, membuat Jelita harus berjalan kaki sampai ke rumahnya di bawah cahaya matahari yang cukup terik itu.
"Awas mang Asep ya, teganya mamang ninggalin Lita!" Gerutu Jelita seraya menghentakkan kakinya, ia mulai mengomel sendiri, merasa kesal pada sopir langganannya. Saking asyiknya marah-marah Jelita sampai tak memperhatikan langkahnya. Ia menginjak ujung rok seragamnya sendiri, membuat tubuhnya oleng dan mendarat di aspal. Tepat sekali p****t yang lebih dulu mencium aspal namun ia berhasil menopang tubuhnya sehingga ia tak berbaring di sana. Beruntung aspal tempatnya terjatuh tidak dalam keadaan panas walaupun siang itu sangat panas, karena ada pohon besar yang ada di pinggir trotoar.
"Astaghfirullah Lita Lita untung lu nggak dilindas kendaraan yang lewat." Gumam Jelita seraya bangkit dari duduknya. Pantatnya begitu terasa nyut-nyutan dan panas. Baru saja ia berdiri tegak, sebuah suara klakson mobil dan juga decitan rem mengagetkannya. Bukannya menghindar Jelita malah menoleh ke belakang, mobil mewah itu tepat berhenti di belakangnya dengan jarak yang cukup dekat bahkan hanya seinchi saja dari roknya.
"Heh bocah suram, kamu tuli ya!" Sentak pria yang kini turun dari mobil mewah itu, seketika Jelita menoleh ke sumber suara.
"Wah kurang asem aku dikatain bocah suram!" Gerutu Jelita dengan tatapan tajamnya, pandangan mereka kini bertemu. Mata indah dan wajah tampan pria itu membuat Jelita mematung di tempatnya, gadis itu tengah takjub menikmati makhluk ciptaan Tuhan yang begitu indah di depan sana.
Pria itu berjalan mendekat, "malah dia bengong, heh bocah labil kamu nggak lihat ini jalan raya. Pakai acara main jatuh-jatuhan di sini. Ini bukan lagi main sinetron, kamu sengaja mau buat saya masuk penjara!" Sentak pria itu dengan kasar seraya menarik lengan Jelita ke arah trotoar.
"Eh maaf pak, saya juga tidak sengaja terjatuh ke jalan." Lirih Jelita yang akhirnya tersadar. "Kasar amat sih nih orang!" Gerutunya dalam hati.
"Hah bapak? Memang tampang saya seumuran bapakmu apa?" Ketus pria itu lagi.
"Kalau mau buang nyawa jangan di depan saya. Ngerti!" Lanjutnya lagi dan berjalan pergi meninggalkan gadis itu, sebelum memasuki mobilnya ia bahkan mengeluarkan sapu tangannya dan membersihkan kedua telapak tangannya itu. Jelita hanya bisa menatap tajam menyaksikan orang sombong itu.
"Cih sombong amat, emangnya anda kira saya kotoran pakai tangannya di bersihkan segala lagi. Dasar wajah tampan tapi kelakuan kayak seten. Astaghfirullah." Gerutu Jelita seraya menghentakkan kakinya.
"Idih amit-amit dah ketemu cowok kayak begitu lagi. Kasar amat mulutnya ngalahin ghibahan tetangga." Lanjutnya lagi masih mengomel.
Tiiiiiiiiiiiinn.
Suara klakson mobil yang berkepanjangan itu membuat jantung gadis itu hampir copot. Ya siapa lagi yang menjahilinya kalau bukan pemilik mobil yang hampir menabraknya itu.
"Dasar bapak-bapak kurang ajar. Awas aja nanti kalau ketemu, aku kempesin itu ban mobil." Teriak Jelita yang langsung mengundang tatapan sinis dari para kaum lelaki yang mendengarnya. Bahkan sampai-sampai pengandara motor yang berjalan di belakang mobil pria tadi pun ikut membunyikan klaksonnya seraya menatap tajam ke arah Jelita.
Jelita hanya bisa nyengir dan mengangguk sungkan. "Ya Allah apes bener dah hari ini. Sial amat akuh." Batinnya yang langsung mempercepat langkah kakinya. Ia tak ingin sampai di keroyok masa nanti karena menyoraki nama bapak-bapak.
Sementara itu pria tampan tadi hanya melihat jejak gadis yang hampir saja di tabraknya itu melalui kaca spionnya. "Dasar gadis aneh, mau mati saja malah hampir bawa petaka buat orang lain."
*****
Sementara di waktu dan tempat berbeda, terlihat seorang remaja SMA tengah berjalan dengan wajah bahagianya.
"Bergembiralah wahai jiwa dan raga, karena masa putih abu-abu sudah terlewati. Ooohh bahagianya hati ini di hari kelulusan ku." Jelita begitu sapaannya mulai bersenandung ria dengan lirik yang asal ia buat sendiri. Gadis berwajah kusam dengan seragam putih abu-abunya, rambut pendek hitam lurus dengan poni Dora yang menjadi ciri khasnya kini tengah berbahagia.
Gadis itu tengah berjalan dalam kegembiraan seraya membawa sepucuk amplop di tangan kanannya. Bagaimana gadis itu tak bahagia akhirnya hari ini ia telah menerima pengumuman kelulusannya. Setelah dua hari lalu sempat tertunda.
Beberapa langkah lagi Jelita akan sampai di halaman rumahnya yang penuh dengan kandang ayam bertingkat bak penghuni rumah rusun itu.
"Assalamualaikum." Sapa Jelita memberikan dengan suara riangnya. "Siapa yang bertamu di jam seperti ini? Keliatannya mereka orang elit semua. Sendal dan sepatu mereka saja terlihat mewah." Gumam gadis itu setelah memperhatikan barisan sepatu dan sendal berhak tinggi di depan pintu teras rumahnya.
"Wa'alaikum salam." Jawab orang-orang yang sudah berkumpul di kursi bambu ruangan berukuran pas-pasan itu. Karena empunya rumah memang bukan lah orang kaya melainkan hanya seorang petani di sebuah pedesaan kecil.
"Sudah pulang nak, sini duduk di dekat ibu!" pinta Rukyah.
Jelita langsung berjalan perlahan ke arah sang ibu dengan tubuh gemetarnya, wajahnya tertunduk namun ia sempat mencuri pandang pada ketiga tamunya itu, amplop yang sedari tadi ia bawa kini sudah kusut dalam remasan tangannya. Wajah tiga orang asing yang belum pernah ia temui, tapi tunggu sepertinya pria yang dudu sendiri di sana tak asing baginya. Pria dengan tubuh kekar yang mengenakan kaos polos longgar berwarna putih namun nampak sebuah gambar entah apa itu di permukaan kulitnya, tepat dibawah lengan bajunya. Wajahnya yang dingin, wajah tampan yang tidak sangat tidak ramah itu.
"Siapa lelaki itu? Sepertinya aku pernah melihatnya, dimana ya?" Gumam Jelita dalam hati seraya mengingat dimana ia pernah berjumpa dengan pria menyeramkan itu.
"Nak kenalin ini sahabat lama ayah dari kota, itu pak Bagaskara dan istrinya ibu Kartika. Sedangkan yang duduk sendiri di sana adalah putra tunggal mereka namanya Kenzo. Kamu salim dulu gih!" pinta Kusman.
Jelita mengangkat mulai mengangkat wajahnya, memberikan senyuman pada pasangan suami-istri yang terlihat begitu serasi. Dan kini ia mengalihkan pandangannya pada sang pria di sana,
"Kamu!" Pria itu melebarkan matanya, terkejut melihat wanita di hadapannya namun ia langsung menetralkan diri. Sementara Jelita yang sudah mengingat siapa pria itu langsung menelan salivanya.
"Dia kan bapak-bapak yang waktu itu, aduh mampus akuh." Batinnya cemas.
"Kalian sudah saling mengenal?" tanya Kartika seraya menatap bergiliran dua insan yang akan di jodohkan itu.
"Tidak." Jawab Kenzo singkat dan dingin.
"Cih. Dia ngapain sih ke sini!" Batin Jelita.
"Ayo nak salim dulu!" Rukyah mengingatkan, Jelita menurut.
Istri pak Bagas begitu cantik awet muda tak seperti ibunya yang sudah nampak jelas kerutan di wajah lelahnya itu. Dengan sopan gadis itu mencium punggung tangan mereka secara bergantian seraya menyebutkan namanya untuk memperkenalkan diri. Baru saja ia berbalik dan berniat untuk tidak menyalami lelaki dingin bertato itu eh malah langsung di cegah oleh pak Bagas.
"Loh nak nggak kenalan dulu sana anak bapak? Jangan malu-malu dia nggak gigit kok." Sergah pak Bagas dengan suara lembutnya.
Jelita pun kembali membalikkan tubuh kecilnya itu dan menggeser langkahnya untuk menyalami pria dingin itu. Kenzo hanya menatap tajam padanya. Tapi pria itu terpaksa mengangkat lengan kekarnya menyambut tangan Jelita namun ketika gadis itu akan mencium punggung tangannya dengan cepat pula ia menarik tangannya kembali.
"Ish kasar amat sih jadi cowok, dasar om om bertato!" Jelita hanya bisa ngedumel dalam hati.
"Aku kira kamu sudah mati, ternyata masih hidup sampai sekarang. Dasar bocah suram, burik lagi." Desis Kenzo dengan suara sinisnya yang hanya terdengar oleh Jelita.
Gadis itu langsung melebarkan kedua matanya, tapi apalah daya ia hanya bisa melotot saja tanpa berkata-kata apa-apa.
"Kasar amat tuh mulut, awas saja kamu nanti." Ancam Jelita dalam hati.
"Jangan coba macam-macam kamu bocah pembawa petaka!" Kenzo pun memberikan tatapan lebih tajam lagi seakan ia mendengar apa yang Jelita katakan.
Baru kenalan saja bendera perang sudah mulai berkibar.
"Mulai sekarang kalian harus saling menyayangi satu sama lain ya!" Ucap Mama Kenzo dengan senyum bahagia.
"Apaaa? Nggak salah dengar kan aku?" Pekik Jelita dalam hati seraya berjalan kembali ke tempatnya.
"Ibu Kartika benar kalian harus mulai terbiasa saling menyayangi dan melindungi satu sama lain. Terutama bapak berharap nak Kenzo bisa menjaga Jelita untuk seterusnya. Karena dua minggu lagi tanggung jawab bapak pada Jelita akan berpindah ke nak Kenzo." Tambah pak Kusman.
Seketika itu juga tubuh Jelita lemas dan ambruk tepat di atas kursi bambu itu, menimbulkan suara decitan yang cukup mengganggu pendengaran.
"Berlebihan sekali sih bocah labil satu ini, baru mendengar kata begitu saja sudah pingsan!" celetuk Kenzo dengan suara baritonnya.
"Sayang kamu tidak boleh gitu dong. Ya wajar saja kalau nak Jelita terkejut karena perjodohan kalian juga mendadak." Kartika menegur anaknya sementara Kusman dan Rukyah hanya saling pandang.
Jelita sudah tidak bisa berkata-kata, nyawanya seakan keluar meninggalkan tubuhnya itu.
"Maafkan anak kami ya Man, dia memang begini kalau berbicara suka seenak jidatnya tapi percayalah dan aku juga menjaminkan diri ku untuknya kalau dia akan sangat bertanggung jawab pada istri dan keluarganya nanti." Tambah Bagaskara.
Kusman dan Rukyah tersenyum lebar seraya menganggukkan kepalanya.
"Jelita hanya terkejut saja karena memang aku belum pernah membahas tentang perjodohan mereka sebelumnya." Kusman malah merasa tak enak hati.
"Maaf Bu Pak, saya harus pamit dulu karena memang sudah ada janji sebelumnya yang tidak bisa saya batalkan!" pamit Kenzo dengan sopan yang kini bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah calon mertuanya itu untuk berpamitan.
"Ya nak yang terpenting kita sudah bertemu dan membicarakan niat baik ini." Jawab Kusman dengan senyum mengembang.
"Kalau begitu pertemuan kali ini kita cukup kan saja dulu, sementara menunggu nak Jelita tenang dulu. Satu Minggu lagi kami akan kembali untuk melamar nak Jelita secara resmi." Bagas pun ikut berpamitan.
Kusman dan Rukyah hanya bisa menerima niat baik keluarga Bagaskara itu dengan senyuman kebahagiaan. Dua orang tua itu pun berdiri, dengan tubuh yang masih lemas Jelita tetap ikut berdiri.
"Akhirnya ya bu kita bisa besanan secepat ini." Kartika tidak bisa menyembunyikan wajah bahagianya seraya memeluk erat tubuh Rukyah.
Sementara pak Bagas dan juga Kusman tak mau ketinggalan, mereka berdua berpelukan. "Semoga rencana pernikahan ini lancar ya Man agar kita juga cepat menimang cucu." Bagas menepuk pundak sahabatnya itu.
"Ya aku juga sudah tidak sabar melihat putriku jadi Pengantin yang cantik." Tambah Kusman.
Benar-benar keluarga yang aneh, biasanya yang akan kegirangan membahas cucu dan pernikahan anak-anak adalah para wanita ini malah pihak lelaki yang kegirangan dan semangat membahas cucu. Ingin rasanya Jelita pura-pura pingsan saat itu, tapi apalah daya gadis berambut Dora itu.
"Sayang mama pamit dulu ya!" Kini Kartika memeluk Jelita.
"Ya tante hati-hati di jalan." Jawab lirih gadis itu seraya mencium kembali punggung tangan wanita cantik itu.
"Eh jangan panggil tante dong, mulai saat ini juga kamu harus panggil aku mama nak!" Kartika memaksa.
"Eh ya maaf mama." Jawab Jelita gugup.
"Mulai hari ini persiapkan diri ya nak, setidaknya kamu harus sedikit berpenampilan lebih cantik agar Kenzo terpesona melihatmu!" Bagas menambahkan, lihat malah sang papa mertua yang memberikan wejangan menohok itu.
Jelita sedikit terkejut mendengar pesan itu seraya mencium punggung tangan pak Bagas.
*****
"Syukur lah akhirnya Kenzo mau setuju dengan perjodohan mendadak ini ya pah tanpa perlu curiga pada kita." Ucap Kartika pada suaminya itu ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
"Ya mah, semoga semua acaranya lancar sampai hari H. Supaya Kenzo juga cepat mengakhiri sandiwaranya di depan Khanza." Saut Bagas dengan senyum mengembang di wajahnya.
Ya ini lah alasan mereka menjodohkan putra satu-satunya dengan sahabat lama yang tak sengaja Bagas temui ketika mengantar istrinya ke pasar. Dua orang tua itu pun menjalankan misinya untuk menikahkan anak mereka, dan juga membantu Bagas untuk mengembalikan putranya itu ke jalan yang benar. Agar ia menghentikan sandiwaranya yang berpura-pura menjadi suami dari adiknya sendiri yang sudah memiliki dua orang anak kembar itu.