|01| Quarter Life Crisis

1772 Words
"Astagaaa! Bangun, Gika!" Terdengar pekikan diantara suara alarm yang mengganggu tidur lelap hari Senin pagiku. Aku membuka mata sedikit, mengintip ibu-ibu paruh baya yang kini sibuk membuka tirai setelah sebelumnya menyikap selimut. "Gadis, kok, jam tujuh baru bangun!? Kamu nggak lihat matahari udah muncul di langit? Bukannya bantu-bantu Mama di dapur, malah ngorok keras banget! Buat apa alarm kalau masih kebo!?" Ternyata tidak hanya teriakan yang langsung membuat pening sampai ubun-ubun, sekarang bisa kuraskan cipratan air asin yang langsung membuatku terbangun dari rebahan. "Ih! Mama! Kenapa pakai air asin, sih? Memangnya Gika mahkluk astral?" Sungutku seraya mengelap wajah dengan lengan kaos kusut bercap iler. Mama berkacak pinggang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tuh, tuh, anak gadis kelakuannya serampangan begitu. Jam segini baru bangun! Udah salat belum? Masa segede gini salat harus ada yang mengingatkan!?" "Gika halangan. Kalau soal kewajiban, nggak harus diingatkan juga!" "Kalau tahu kewajiban, cepat bantuin mama di dapur!" "Harus sekarang banget? Masih ngan—" "SE-KA-RANG GI-KA!" Aku mingkem seketika. Kalau nyonya sudah bersabda, haram hukumnya mencari alasan. Segera kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk mencuci muka secepat mungkin. Tak sampai semenit, aku keluar dan mendapati mama yang sibuk menata sprai yang acakadut. Senyum lebar praktis kuulum. Secerewet apapun Nyonya Saras, istri tercinta bapak Asrori, memang tetap yang paling pengertian. "Punya anak kerjaannya tidur, nonton TV sama main HP! Kalau nggak mau kerja, nikah saja biar ada yang nafkahin!" Praktis, senyumku lenyap seketika. Nah, kan, mulai lagi! *** Kata orang lulusan jurusan akuntansi itu bergengsi. Awalnya, aku juga termakan omongan mereka dan langsung memilih jurusan yang memiliki akreditasi paling baik di kampusku. Asal kalian tahu, kampusku cukup punya nama meskipun swasta, namun tidak kalah dengan kampus negeri lainnya. Beberapa mahasiswa terbaik bahkan bisa langsung mendapat tawaran pekerjaan di perusahaan multinasional. Dari survey abal-abal yang pernah kulakukan dengan bertanya sana-sini pada teman seangkatan, paling tidak jabatan yang mereka duduki berada di jajaran manajer. Eits, tapi itu untuk orang-orang terbaik atau orang yang punya banyak relasi selama jadi mahasiswa dulu. Bukan seperti aku yang Kupu-Kupu! Siapa bilang Akuntansi peluangnya banyak? Nyatanya lulusan sepertiku tetap saja menganggur. Catat, ya! Untuk orang yang pulang-pergi kuliah membawa prestasi tentu tinggal tunjuk perusahaan yang sudah menawarkan pekerjaan dari BUMN sampai perusahaan swasta multinasional. Mereka tinggal memilih segampang memilih baju murah di tanah abang. Begitu pula orang yang punya 'orang dalam'. Padahal nepotisme dilarang, tapi tetap saja, merajalela. Orang serba tanggung seperti ku hanya bisa berharap sambil sebar CV sana-sini, meski berakhir tanpa mendapatkan respon. Aku macam orang tidak berguna yang kerjanya lontang-lantung di rumah, sesekali sibuk kalau Mama ada hajatan dan butuh bantuan. Hari lain, aku lebih mirip tetangga julid yang kerjanya ikut ngrumpi bersama ibu-ibu komplek di tukang sayur keliling. Tahan saja kalau telinga panas ketika mereka sudah saling membandingkan anak-anaknya yang sudah mapan dan sukses. Mulus sekali dalam mengawali pembicaraan, padahal ujung-ujungnya tetap saja pertanyaan laknat itu ditujukan padaku. 'Mbak Gika masih di rumah? Belum dapat kerjaan, ya?' Singkat, padat, menurunkan harga diri. Kalau sudah begitu kejadiannya, aku hanya meringis lalu cepat-cepat kabur kembali ke rumah. Meski menyedihkan, setidaknya aku masih ingin bekerja sesuai dengan kemampuan dan ikhtiar. Jangan harap bisa masuk dengan uang pelicin. Mama hanya ibu rumah tangga, sementara ayah bekerja sebagai PNS yang gajinya hanya cukup untuk makan sehari-hari dan ditabung untuk keperluan mendesak. Bisa kuliah di kampus swasta yang uang kuliahnya cukup buat resepsi saja sudah membuatku sujud syukur. Rasanya seperti anak durhaka kalau aku memaksa lewat jalur belakang. "Tuh, anak gadis jam segini baru bangun, mukanya masih ileran lagi. Nggak enak dilihat," ujar mama begitu melihatku keluar dari dapur sambil memegang nampan berisi tiga cangkir teh. Ayah menurunkan koran, kemudian melirik sekilas. "Anak ayah cantik gitu, kok, dibilang nggak enak dilihat, sih, Ma…" "Ya, paling nggak mandi dulu, Yah. Malas bersih-bersih rumah, malas dandan. Nanti kalau jadi istri gimana? Mama khawatir dia nggak nikah-nikah!" "Mama, ih, doanya!" Aku bergidik ngeri, spontan mengetuk-ketuk permukaan meja berkali-kali, "Amit-amit!" "Hush," ayah menutup koran, "kalau ada malaikat lewat, lalu dijabah doanya, mama juga yang repot." "Mama memang ngawur bicaranya," kataku ikut mengompori. "Gika..." Mulutku menutup. Peringatan namanya kalau ayah sudah memanggil nama. Aku memilih duduk di sebelah Mas Farhan. Wajahnya masih kalem, seperti terbiasa menghadapi rutinitas perdebatan tak berfaedah yang hampir selalu terjadi di pagi hari. Telinganya sudah kebal mendengar aku dan Mama yang saling mengotot, meski pada akhirnya dia hanya bisa mengurut dahi saking pusingnya. "Kapan kamu melamar kerja lagi?" Mama bertanya usai menyuap nasi. "Nanti," jawabku malas. "Baru juga dua hari yang lalu ditolak." "Justru itu, biar kamu nggak buang-buang waktu di rumah terus. Kalau kamu keluar, kan, mama tidak senewen lihat kamu cuma tiduran di sofa sambil main HP." "Astaga, aku main HP juga cari lowongan di internet." "Lebih baik kamu sering-sering datang ke jobfair. Mama dengar sekarang ada, tuh, di auditorium kampusmu dulu." Aku mengernyit, "Kok, mama tahu?" "Mama udah follow akun ** lowongan pekerjaan." Mama dengan segala informasi bergunanya! Kadang aku merasa beliau lebih gaul dan bisa memanfaatkan teknologi menjadi tepat guna, dibandingkan aku yang tahu internet hanya untuk streaming Jongkook dan BTS. "Perlu Mas antar?" Mas Farhan menawarkan. Aku menggeleng. "Nggak usah, Mas. Naik ojek online saja." "Beneran enggak mau?" "Beneran." Mama menegakkan tubuh, melongok keluar jendela begitu terdengar kasak-kusuk di depan rumah. Tak peduli, kulanjutkan sarapan dengan santai. Halah, paling juga ibu-ibu yang membeli sayur di pedagang keliling. "Gi," Mama memanggil. Praktis, alarm bahaya menyala di atas kepala. "Beli bayam, wortel sama ayam, ya. Mama mau masak sayur bening buat makan siang." "Ke pasar aja, Ma. Lebih lengkap. Ayamnya besar-besar," tawarku dengan wajah memelas. Hari ini aku benar-benar tidak ingin berada diantara ibu-ibu rumpi di luar sana. Sama sekali belum siap menerima pertanyaan laknat ditambah bumbu-bumbu sindiran pedas. Belum lagi Kirana, anak Bu Fauzi mau menikah minggu depan. Siap-siap saja mendengar pertanyaan, 'Gika udah ada rencana lamaran belum?' Boro-boro lamaran, pasangannya saja belum tampak hilalnya. Namun, sejurus kemudian nyaliku menciut begitu memandang mama yang melotot tajam. *** "Alhamdullilah," aku mengelus d**a setelah berhasil keluar dari kerumunan para pencari kerja yang memang kebanyakan membidik Bank Mandira karena memberikan peluang rekrutmen cukup banyak. Oke, itu lamaran terakhir yang kusebar di acara jobfair ini. Semoga saja ada satu yang lolos dan bisa membuka jalan ke depannya. Please, setidaknya satu saja sudah cukup. Aku terlalu lelah berkelana kesana-kemari, tapi hasilnya selalu nihil. "Nih, minum dulu, " Adin mengulurkan sebotol air mineral padaku yang langsung kuhabiskan hanya dengan beberapa tegukan. "Haus banget, ya?" "Gila! Tahun ini yang cari kerja udah kayak ibu-ibu rebutan BLT!" Kuusap kening yang berpeluh. Sayang sekali, make-up-ku sudah luntur karena kepanasan. Auditorium besar ini memang dilengkapi AC yang senangtiasa berhembus, tapi udara panas berasal dari kesumpekan ribuan orang yang memadati tempat ini. Aku menyisir seantero ruangan yang hampir penuh dengan lautan manusia. Berniat mencari tempat duduk daripada cari masalah dengan orang karena tidak sengaja bersenggolan. Pening rasanya melihat suasana sekitar. Belum lagi setiap stan sudah penuh dengan para pendaftar yang keganasannya bertambah sejalan dengan semakin tak terkendalinya keadaan.  Pandanganku tertumbuk pada sofa di sepanjang sisi ruangan. Ada beberapa orang yang memilih istirahat sambil mengipasi diri, ada juga yang tampak sibuk melengkapi perintilan untuk disertakan ke dalam CV. Beruntung masih ada celah kosong yang bisa kita duduki. "Gimana kabar 'Qinara'?" Tanyaku pada Adin yang saat itu sibuk menatap layar ponsel. Ia hanya mengendikkan bahu. "Lumayan, sih. Ini gue dapat orderan lagi," katanya menunjukkan chat dengan salah satu pelanggan Qinara. Sejak mahasiswa Adin menggeluti bisnis online shop yaitu membuat pernak-pernik untuk hantaran lamaran atau wisuda. Awalnya, hanya iseng, tapi sampai sekarang olshop-nya tetap jalan dan punya banyak pelanggan tetap. Bahkan, saat ini pun Adin masih belum punya keinginan mondar-mandir untuk melamar pekerjaan lagi. Sayang katanya kalau tidak diteruskan. Pelanggannya pasti kecewa. "Lo belum mau apply-apply gitu, Din?" "Belum. Gue susah fokus, Gi. Kalau gue kerja, Qinara bisa nggak jalan." "Bagus, Din. Urus aja Qinara. Gue nggak mau tambah saingan sama sahabat sendiri. Berat!" Kataku menepuk pundaknya yang langsung dibalas dengan kekehan. Ia menurunkan ponselnya, lalu memasukkan lagi ke dalam saku. "Gue heran juga, sih. Padahal CV lo nggak jelek-jelek banget, IPK lo juga sudah bagus, tapi kenapa rejeki lo seret? Pasti lo kurang sedekah!" "Rese!" Dengkusku kesal. Kutopang dagu dengan tangan di paha, bergesekan langsung dengan celana bahan yang kukenakan. "Apa gue kurang meyakinkan? Gue mentok terus gara-gara interview," gumamku putus asa. "Hmm, bener sih. Lo kayak nggak serius." "Gue serius kali, Din," protesku tak terima. “Buat apa ngalor-ngidul sampai mau mampus kalau nggak serius?" Adin merapatkan bibir, lantas menepuk pundakku pelan, "Maksud gue, lo belum punya ambisi dan kepercayaan diri. Lo terlalu rendah memandang kemampuan lo sendiri, Gi. Orang biasanya pamer prestasi, bisa ini, bisa itu, tapi lupa sama kekurangannya. Ini lo beda. Lo bahkan nggak tahu kalau lo bisa. Parahnya lagi, lo gampang didepak gara-gara nggak punya sifat kompetitif. Perusahaan nggak mungkin menerima orang yang nggak yakin sama value added yang dimiliki. Come on, Gika! Lo harus percaya kalau lo memang bisa diandalkan!" "Ya, gimana? Gue juga sadar kali kalau nggak punya kemampuan menonjol seperti orang lain, Din. Itu juga yang kadang buat gue hopeless. Gue nggak yakin bisa bersaing." "Tuh, tuh, rendah diri lagi, kan! Gue kadang stress sendiri lihat lo, Gi! Menurut gue, lo itu orang paling independen. Lo pikir, lo nggak layak dibanding yang lain? Disaat semua orang dikelas memilih cheating karena itu mata kuliah susahnya minta ampun, siapa yang tetap jujur dan ngerjain tes sebisanya meski nilai dibatas B? Menurut gue, lo lebih layak dibanding mereka. Kemampuan bisa lo dapat seiring bertambahnya pengalaman, asal lo punya kemauan untuk terus belajar, tapi etika susah dibentuk. Kalau etika lo b****k, susah diubahnya!" Cerocos Adin gemas sendiri. Sementara aku masih diam mencoba mencerna ucapannya. "Pas interview, lo ragu-ragu saat menjawab passion dan nilai tambah yang lo punya, kan?" sambungnya lagi. Aku mengangguk dengan wajah memelas. "Gue nggak tahu kemampuan apa yang gue punya, Din." Adin langsung menepuk jidatnya. Tak habis pikir dengan kepolosanku, atau mungkin kebodohanku? "Haduhhh! Lebih baik lo ikut acara motivasi sana, deh. Supaya kebuka itu pikiran," desahnya prihatin. Bukan hanya Adin yang merasa putus asa. Aku juga. Jangankan passion dan kemampuan, visi misi hidup saja masih berpikir keras. Masalahnya, aku memang susah fokus dengan apa yang sebenarnya kuinginkan. Terlebih lagi, aku sering merasa insecure dengan diri sendiri. Huft! Kalau seperti caranya bukan cuma pekerjaan saja yang sulit didapat. Jodoh lebih susah dicari! "Lho? Gika?" Tubuhku menegang seketika begitu mendengar suara yang tidak asing. Perlahan, aku mendongak. Salah satu sudut bibirku terangkat begitu melihat sosok manusia yang paling tidak ingin kutemui, kini sudah berdiri tampan tepat di hadapanku. Oh, sial! Dari sekian ribu orang, kenapa harus ada Adriansyah Putra? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD