Pagi-pagi sekali Klarybel sudah bangun, melangkah ceria menuju dapur. Dia berniat membuatkan sarapan untuk Leon lebih dulu, sebab seingat Klarybel pagi ini suaminya ada meeting di kantor. Cukup aneh melihat Klarybel pagi-pagi sudah rajin dan nampak bersemangat. Jangan kaget, semalam dia dan Leon habis bersenang-senang setelah berdebat cukup panjang membahas soal hubungan mereka yang sudah keterlaluan dinginnya--melebihi kutub. Tidak heran jika pagi ini Klarybel mandi keramas kan?
Menu simple pagi ini adalah nasi putih hangat, omelet dan sambal bawang. Klarybel tahu Leon jarang sarapan sepagi ini, tapi berharap saja pria itu mau memakan masakannya. Dia sudah berbaik hati pagi ini, banyak mengalah sejak semalam dan menurunkan gengsi. Jika dengan sikap lemah lembutnya mampu membuat Leon luluh, Klarybel janji tidak akan kasar dan keras kepala lagi. Asalnya Leon ringan hati memperlakukannya dengan baik juga. Mereka perlu berbaikan, sudah terlalu jengah saling bersaing untuk menyakiti.
"Duh yang kemarin sibuk cemberut, sekarang malah mandi keramas. Udah baikan sama Abang ipar, huh?" Riley menyikut lengan Klarybel sambil mengulum senyum berusaha menggoda. Setelah mengambil air putih ke dapur, Riley akan segera ke ruang olahraga. Cukup kaget melihat Klarybel nampak ceria, sibuk di dapur sepagi ini.
Klarybel mencebikkan bibir, mencibir malu-malu kucing. "Doakan saja keponakanmu cepat hadir ya. Kan katanya kemarin mau dengar tangis bayi."
"Kali aja Mommy yang hamil kan?"
"Nggak! Jangan bercanda kamu, aku nggak bakal rela kalau Mommy hamil lagi!" Klarybel berdecak, dia paling takut jika Alesha hamil. Dia dan Riley sudah sama-sama dewasa, mereka seharusnya yang memberikan cucu. Lagian Devano sudah semakin menua, tidak lucu bukan jika mereka memiliki anak bayi lagi? Apa kata orang-orang, terdengar menggelikan di telinga Klarybel.
Riley cengengesan tanpa dosa. "Bercanda, Kak. Serius amat, lagian nggak mungkin Mommy hamil lagi. Dia sudah berjanji pada kita kan? Mending Kakak cepat-cepat hamil, aku sudah nggak sabar dipanggil Uncle."
"Iya, iya. Sudah sana, aku mau ke kamar dulu bangunin Leon. Dia ada meeting pagi ini, jadi sarapan dulu biar nggak kelaperan."
"Cuman dibikinin omelet dan sambal?"
Klarybel mengangguk. "Sejak kapan Abang ipar kamu suka makanan aneh? Orang yang begini aja bisa bikin dia nambah. Abang kamu dari dulu senang makan yang sederhana, lidahnya cukup bersahabat. Jadi nggak perlu aku masak yang susah."
"Beruntung dong ya Kakak menikah sama Abang ipar. Nggak nyusahin orangnya. Pintar kerja, duitnya banyak. Bonus ganteng juga."
"Udah sana ih, gangguin aja pagi-pagi. Aku ke kamar dulu, bye!" Langsung melenggang pergi, enggan menyahuti ucapan Riley. Selama ini Leon melebihi kata susah, apalagi menebak isi hatinya. Klarybel kerumitan, sudah dia gunakan segala rumus kehidupan yang ada. Ternyata lagi-lagi semuanya balik pada Tuhan, hanya Dia yang mengetahui perputaran takdir.
Sesampainya di kamar, Klarybel menaruh nampan di atas nakas, membangunkan Leon yang hanya dibalut selimut tebal. Tubuh bagian atasnya dibiarkan terbuka begitu saja setiap malam. Entah pada musim panas bahkan dingin sekali pun. "Leon, bangun. Katanya mau meeting pagi ini kan? Aku udah bikin sarapan." Wajah tampan pria itu selalu mencuri perhatian, betapa memujanya dia. Semenjak hubungan mereka renggang, Klarybel jadi jarang menyematkan pujian secara terang-terangan pada Leon.
Leon menggeliat pelan, lalu mengerjap dan diam beberapa saat sembari mengumpulkan nyawa. "Ngapain?" tanyanya sedikit judes. Tenaga mulai terlumpul, ternyata akal sehat Leon yang ketinggalan seperempat. Dia selalu memulai obrolan dengan kata 'ngapain' pada Klarybel saat bangun tidur. Entah karena kaget mereka tidur pelukan, Klarybel membangunkan dengan romantis, atau saat Klarybel ketahuan tersenyum sambil mengamati wajah Leon.
"Bangunin kamulah, memangnya apalagi? Aku juga abis selesai bikinin kamu omelet dan menambahkan sambal bawang. Sarapan dulu ya sebelum meeting."
Baru bangun Leon sudah dikejutkan dengan nada bicara Klarybel. Nampak berbeda sekali, terdengar lembut dan penuh kasih sayang. Leon jadi merinding dibuatnya. Tumben mereka tidak seperti Tom and Jerry ketika pagi kan? Pemandangan yang menakjubkan.
"Siapa bilang ada meeting? Aku hari ini berangkat siang, kerjaan udah rampung kemarin sore. Jadi pagi ini bisa santai."
Klarybel menganga, refleks memukul lengan Leon. "Kata kamu kemarin pas kita berdebat di mobil. Kamu nggak mau menginap di sini karena ada kerjaan yang harus diselesein untuk meeting pagi ini."
"Itu hanya akal-akalan aku, biar rencana Riley bikin kejutan buat kamu nggak gagal. Ternyata kamu tetap keuh-keuh pengen nginap di sini, jadi apa boleh buat." Leon kembali memejamkan matanya, memijat pangkal hidung. Moodnya bagus pagi ini, sebab kemarin sudah diberi jatah oleh Klarybel. Jangan tanya kenapa keduanya saling menikmati sentuhan--padahal hubungan mereka berantakan. Leon adalah pria normal, lalu karena Klarybel wanitanya.
"Ya sudah, gosok gigi dan cuci muka dulu. Dimakan sarapannya. Aku tahu ini masih terlalu pagi, tapi aku inisiatif aja buatnya. Semalam kamu capek, kali aja pagi ini udah kelaperan. Cuman omelet, sambalnya enak kok meski bukan aku yang bikin. Mommy beli di toko temannya, ini terkenal enak se-Jakarta."
Leon menyibak selimut, berlalu begitu saja menuju kamar mandi. Dia melangkah hanya menggunakan bokser, lalu mengusap kedua matanya sambil menguap lebar. Kesan pertama setiap kali melihat Leon, seksi. "Tumben kamu baik."
Klarybel mencebikkan bibirnya. "Ck! Sejak kapan kamu tahu aku jahat, Leon? Kamu aja yang buat aku sekeras ini." Respons Leon hanya menaikkan kedua bahunya, tidak berniat menanggapi. "Aku harap setelah balik ke rumah kita, keadaan baik-baik aja kayak sekarang. Aku udah nyerahin semuanya ke kamu, jangan nyakitin aku terlalu banyak. Kita lebih enak akur-akur begini, daripada berantem setiap hari. Aku juga capek, takut berantakan hubungan kita. Yang kecewa duluan pasti orangtua aku. Mereka bakal sedih."
"Sejak kecil Daddy dan Mommy selalu berusaha membahagiakan aku. Kamu juga tahu gimana perjuangan Mommy saat mengadung hingga aku usia tiga tahun, kami berjuang tanpa Daddy di kampung halaman orang. Kamu nggak bakal tega nyakitin aku lebih banyak dari ini kan?"
Leon tidak menyahuti sama sekali, hingga obrolan mereka berakhir sampai di situ saja. Entah karena tidak peduli, atau malu mengiyakannya sebab gengsi. Hanya Leon yang tahu bagaimana perasaannya pada Klarybel. Ketahuilah jika ada sesuatu yang berusaha Leon sembunyikan.
Usai membersihkan gigi dan wajahnya, Leon mengambil nampan makannya, membawa ke ruang televisi. Berniat nonton berita harian, mendapatkan informasi terbaru dari sana. Sejak tadi Klarybel bicara panjang lebar, dia jadikan angin lewat saja. Termasuk pertanyaan penting, Leon memilih bisu.
"Mas, kamu denger aku kan?" desis Klarybel gemas, ingin memukul kepala Leon memakai tongkat baseball.
"Banyak omong. Berisik, Klary." Tidak senang dengan Klarybel, tapi begitu menikmati kebersamaan mereka semalam. Lalu pagi ini memakan masakannya juga dengan lahap. Leon sebenarnya kenapa?
"Enak, Leon?"
Pandangan Leon langsung mengarah pada Klarybel. "Kamu sebenarnya mau manggil saya Leon atau Mas? Campur aduk kayak gado-gado."
"Kalau kesel Leon aja, kalau lagi baikan pakai Mas. Nanti dipukul Mommy mulutku kalau manggilnya nggak pakai Mas." Lalu menatap piring Leon. "Nyicip, Mas. Suapin ya?"
"Ngelunjak!"
"Aku yang bikinin kamu sarapan. Setidaknya berbaikanlah hari ini. Aku udah bikin kamu seneng semalam, kita bahkan mengulangnya dua kali. Suapin!"
Leon menatap sinis, tapi tetap menyuapi Klarybel. "Jangan banyak mau, kamu kelihatan makin nyebelin."
Klarybel membuang muka, lalu beranjak dari sana. "Enak, aku mau buat omelet sendiri."
"Saya mau nambah, Klary. Ambilkan nasi hangat lagi."
"Ogah, sarapan ke bawah aja, nanti bareng sama aku!" Lantas pintu ditutup, jejak Klarybel sudah menghilang. Benar-benar berniat menguji kesabaran Leon pagi-pagi buta.
"Ngeselinnya. Istri siapa?" gumam pria itu sebelum menegak air minumnya.
****
Riley mengantarkan Alesha dan Klarybel ke toko bunga langganannyaa, lalu sekalian memperkenalkan kedua anaknya tersebut. "Nak Mario, kenalkan ini anak-anak Tante. Ini Kakaknya, Klarybel. Dan adiknya, Riley."
Pria jangkung dan rupawan itu tersenyum manis. Menyalami Klarybel dan Riley secara bergantian. "Mario, senang berkenalan dengan kalian. Selamat datang di toko bunga kami, semoga senang dengan persediaan bunga yang ada di sini." Menundukkan kepalanya, sebagai rasa hormatnya.
Mario berusia dua puluh tujuh tahun, memiliki beberapa cabang toko bunga yang terkenal di Jakarta. Dia meneruskan usaha ibunya yang ada di Bandung, ternyata kesuksesannya ada di bidang ini. Sudah sejak jaman kuliah Mario menekuni pekerjaannya, sangat menyenangkan setiap hari bergelut dengan para bunga. Hari-hari Mario terasa berwarna dan seindah para bungan miliknya.
Kulit Mario agak kecolelatan, nampak seksi dengan tubuh atletisnya. Hidung bangirnya mencuri perhatian setiap orang yang mampir ke toko, selalu menyiapkan pujian khusus untuk sekadar mengagumi ciptaan Tuhan yang satu ini. Banyak ibu-ibu dan para wanita single yang menjadi pelanggann setia, karena Mario begitu ramah.
Tidak lama, ponsel Klarybel berdering. Leon yang menghubunginya, tumben sekali.
"Mommy, ke sana sebentar. Mas Leon nelepon. Aku angkat dulu, siapa tahu penting."
Cepat-cepat Klarybel mengangkatnya, sebelum Leon mengomel. Pagi tadi cukup hangat hubungan mereka. Entah ini karena di kediaman orangtuanya atau bagaimana, Klarybel cukup menikmati kebersamaan mereka. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, siapa tahu nanti setibanya di rumah sendiri malah berantem lagi. "Halo, Mas? Kenapa?"
"Di mana?"
"Di toko bunga, bareng Mommy dan Riley."
"Ngapain ke sana? Pulang!"
Leon mengamati gps yang ada pada tabletnya, cukup terkejut karena Klarybel mengunjungi toko bunga Mario. Entah kenapa Leon jadi khawatir, sebab tahu jika Mario pria yang tampan dan memiliki daya saing yang seimbang dengannya mungkin? Hanya Leon yang tahu, yang pasti saat ini rahangnya sedang mengetat marah. Tatapannya sinis. Pena yang sejak tadi dia selipkan pada jemari, diketukkan beberapa kali ke meja dan pelipisnya. Berpikir keras, sesekali mengumpat.
Klarybel melihat layar ponselnya, lalu mengomeli Leon tanpa bunyi. "Nggak, aku kan pergi sama Mommy dan Riley. Kami mau beli bunga buat di rumah. Mommy senang menanam dan memajang bunga segar, biar ruangan dalam kelihatan bagus. Sebentar lagi. Kamu kenapa?"
"Biar Gema yang jemput. Langsung balik ke rumah aja, urus Marvel kamu lebih berfaedah daripada di sana."
"Marvel kan tugasnya Jo. Aneh!"
"Kasih makan Hole dan Xio."
Klarybel berdecak. "Kamu kenapa?"
"Terserah kamu!" Lalu panggilan telepon terputus, nomor Leon langsung tidak aktif setelah Klarybel coba menelepon balik.
"Bener-bener marah? Apa sih ini orang, nggak jelas banget. Mabuk kali ya?!" Tidak mau ambil pusing, Klarybel langsung kembali masuk ke toko bunga Mario. "Oh maaf, astaga jadi berantakan lagi." Karena cepat-cepat, Klarybel tidak sengaja menyenggol keranjang bunga mawar putih, membuat sisa bunga di dalamnya jatuh ke lantai. Mbak penjaga di sana langsung membereskannya dengan sopan. Dia beberapa kali mengatakan tidak apa-apa.
"Ada apa?" Mario menghampiri, tersenyum.
Klarybel menggaruk pelipisnya. "Maaf, aku nggak sengaja nabrak keranjang bunga ini. Tadi sempat jatuh ke bawah.
"Nggak masalah, ayo ke sebelah sini. Tante Lesha ada di sana bersama adik kamu." Mempersilakan Alesha ke sebelah kanan, Mario memberitahu jika Alesha menyukai berbagai macam bunga. Tapi yang paling sering dia beli adalah tulip dan mawar. "Kalau kamu sendiri, menyukai bunga apa?"
"Tulip. Aku suka banget sama tulip putih." Klarybel tersenyum, menghela napasnya senang saat berada di deretan bunga tulip yang indah. Warna lainnya juga memanjakan sekali.
"Tulip putih? Melambangkan cinta dan kasih sayang." Mario menaikkan bahu, lalu mengambilkan satu buket untuk Klarybel. "Paling banyak dicari oleh anak muda sebagai simbol persahabatan mereka. Kamu bisa membawanya pulang tanpa ke kasir. Anggap saja sebagai salam kenal dari toko kami. Semoga kamu datang lagi di lain kesempatan."
"Wow! Beneran?" Mario mengangguk senang hati. "Terima kasih banyak. Aku janji bakal balik ke sini. Bunganya segar dan indah semua. Aku senang ada di dunia bunga kayak gini, aroma setiap bunganya khas banget."
"Silakan kapan saja datang ke sini, jika persediaan kami lengkap, puluhan macam bunga akan dijual walaupun jumlahnya terbatas. Paling banyak persediaan adalah mawar, lily, tulip, anyelir, dan beberapa lagi. Biasanya kebanyakan orang-orang sukanya mawar. Kamu suka bunga anyelir nggak? Cantik dan wangi loh."
Klarybel mengerjap sebentar, lalu menggeleng. "Nggak suka!" jawabnya tegas.
Mario mengerutkan kening. "Why? Dia bunga yang indah dan maknanya begitu dalam."
"Aku nggak suka bunga itu." Menaikkan bahu, tiba-tiba teringat Leon saat melihat bunga anyelir putih. Hubungan mereka selalu berantakan saat Leon membawakannya bunga anyelir. Persetann dengan maknanya, tapi bagi Klarybel dia salah satu bunga penghancur kebahagiaannya.
"Baiklah. Nggak masalah, setiap orang memiliki seleranya masing-masing. Tulip juga indah banget, nggak kalah bersaing."
Alesha dan Riley menghampiri mereka, memberikan keranjang bunganya pada Mario untuk dibawa ke kasir sebelum pulang. "Kebetulan lagi pengen ganti pemandangan di beberapa ruangan, makanya pilih bunganya lebih banyak. Klary ada pilihan juga? Taruh saja di keranjang Mommy, biar dibayar bersamaan."
"Punya Klary nggak perlu dibawa ke kasir, Tante. Dia menyukai tulip. Sudah seharusnya buket itu menjadi miliknya."
Riley menoel Klarybel. "Enak bener dikasih bunga juga!" decaknya tidak terima. Tadi pas belanja kue di toko kepunyaan temannya Alesha, Klarybel juga diberi dua kotak secara gratis. Enak sekali bukan?
Klarybel cengengesan. "Iri itu tanda nggak mampu. Rezeki aku hari ini lagi bagus, jangan ngambek. Kali aja besok waktunya kamu yang langsung dikasih mobil atau saham dari Daddy, kita nggak tau kan? Lagian kamu kan nggak doyan bunga begini, paling kalau beli buat pacar kamu doang."
"Halah!" Riley memutar bola mata malas, bisa-bisa Klarybel selalu mendapat rezeki lebih daripada dirinya, hal ini terjadi sejak dulu. Tidak pernah berubah. Kayaknya setiap kali orang melihat wajah Klarybel bawaannya emang pengen bersedekah. Kasihan!
****
"Leon, bunga tulip aku kamu ke manain?" jerit Klarybel saat tidak melihat bunga tulipnya berada di atas meja. Dia sudah khawatir jika Leon mengambil bunganya, lalu membuang tanpa dosa. Dulu pernah kejadian saat Klarybel tidak sengaja dapat bunga dari orang misterius, Leon juga langsung melenyapkannya. Tanpa alasan yang jelas.
"Di pembakaran."
Benarkan, Leon cari masalah.
"Apa?!" Klarybel menghentakkan kakinya, bersiap ingin memukul Leon andai saja pria itu lambat mencegahnya. "Ngeselin banget. Aku pengen taruh mereka di dalam vas, bagus buat hiasan meja ini. Seger kelihatannya!"
"Bunga sialan!"
"Apa sih? Nggak jelas banget. Bunga tulip itu kesukaan aku, bukan bunga anyelir yang pernah kamu kasih. Kamu yang nggak tahu bunga apa yang bawa sial bagi rumah tangga kita, selalu aja nyari masalah!"
"Keluar sana, liat kamu aku jadi dongkol!" Mengusir Klarybel seenak jidatnya, padahal mereka masih berada di kediaman Axelleyc. Dasar manusia tidak tahu diri!
Klarybel mengepak kaki Leon, membuat pria itu menahan napas karena sakit. "Ganti bunga aku sama yang baru, Leon!"
"Ambil punya Mommy, dia juga beli tulip."
"Beda warnanya!" Tulip yang Mario berikan tadi berwarna kuning, kelihatan indah sekali dengan hiasan buketnya yang menarik. Sementara yang Alesha beli adalah warna putih dan merah muda.
"Cuman warna kan?" Klarybel menganga, tapi tidak lagi membalas dan berdebat. Dia sudah terlalu malas, kemudian langsung melenggang pergi. "Dasar wanita rumit. Memusingkan saja!" omel Leon seperginya Klarybel, dia tidak mau kalah.
Siapa yang salah?