Yoon duduk berpangku tangan di kursi taman yang sama seperti hari itu. Begitu menyadari kenyataan yang Tadashi tunjukan, ia jadi memikirkan banyak hal.
Bahwa perasaan setulus itu memang ada. Begitu kata Tadashi kemarin. Ketulusan. Yang jelas tidak ia rasakan dari Benedict Carl. Laki-laki yang paling ia cintai di dunia.
Yoon mendesah. Mengangkat wajah dan memerhatikan gadis itu lagi. Bagaimana bisa Goto menyukai seseorang yang bahkan belum ia kenal? Dan kenapa Goto hanya diam saja dan tidak mencoba untuk mengenal gadis itu? Apa benar perasaan Goto setulus itu? Yoon mengernyit dan menggelengkan kepala. Tidak boleh berpikir buruk begitu, ia menasehati diri sendiri.
Seorang wanita paruh baya berjalan ke arah gadis itu. Ia tersenyum sambil melambaikan tangan seolah ia bisa melihatnya. "Alice," ia berseru.
Gadis itu mengangkat wajah dan tersenyum. Senyum yang menenangkan. Tanpa sadar Yoon ikut tersenyum. Jadi nama gadis itu Alice.
Alice dan wanita paruh baya itu mengobrol dengan riang. Membuat Yoon bertanya-tanya sopankah ia terus memerhatikan mereka seperti ini. Ngomong-ngomong, ia tengah menunggu Tadashi dan Goto. Karena hari ini mereka bekerja jadi ia memutuskan untuk datang sendiri.
Yoon menyandarkan punggung pada sandaran kursi dan memandang berkeliling. Berapa lama sampai mereka tiba kira-kira? Mendadak ia jadi merasa seperti orang hilang. Lantas Yoon mengeluarkan ponsel dari tas tangannya. Memandang benda itu malah membuatnya mengingat Ben. Yah, sampai sejauh ini Yoon belum menghubunginya lagi. Terakhir ketika ia meminta maaf padanya saat berada di balkon apartemen Tadashi, dan Ben tidak mau menerimanya. Yoon menyadari. Baru pertama ini, ia merasa cukup baik-baik saja tanpanya. Ia sendiri juga bingung bagaimana dirinya bisa berpikir jernih dan tidak memohon-mohon seperti biasa. Dulu meski tahu Ben akan tetap mengabaikan dirinya Yoon tetap bersikeras meminta maaf. Tapi kali ini hal itu membuatnya sadar dan berhenti saja. Entah bagaimana bisa.
Yoon mendongak menatap langit. Mungkin New York memberikan keajaiban padanya. Dan sekarang ia tidak terlalu merasa begitu sakit lagi. Ia mengangkat sebelah tangan menyentuh d**a. Tepat di mana jantungnya berdetak secara teratur. Senyumnya mengembang. Tadashi bodoh mengatakan ia selalu mengambil keputusan yang salah. Kenyataannya saat ini ia justru merasa lebih tenang. Jika tidak, sudah pasti Yoon bahkan akan berniat bunuh diri karena menjadi sejauh ini dengan Ben.
Yoon menurunkan pandangan dan menemui Alice lagi. Ia mulai bertanya-tanya haruskah ia membantu Goto mendekatinya? Karena sepertinya Goto agak bodoh. Mungkin juga tidak berani mengambil langkah awal.
Eh, jangan-jangan Tadashi juga mengalami hal yang sama dengannya?! Ia pernah menyukai seseorang tapi terlalu takut untuk mulai mendekatinya. Mungkin karena itu sampai detik ini temannya yang paling berharga itu masih belum memiliki kekasih?
Yoon meringis. Mendadak merasa kasihan pada Tadashi dan Goto. Yah, kalau begitu. Ia harus membantu Goto, dengan begitu ia sekaligus menunjukan pada Tadashi keberanian untuk memulai hubungan dengan gadis yang ia sukai.
Baiklah. Sekarang yang diperlukan adalah cara untuk berkenalan dengan Alice. Sejujurnya ia terlihat ramah dan baik sekali. Tapi jika tiba-tiba menemuinya dan mengajaknya berkenalan mungkin akan terkesan aneh dan mencurigakan.
Yoon mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk. Memandang menerawang sambil berpikir. Cara yang terlihat alami untuk mengajak Alice berkenalan. Apa kira-kira?
Si wanita paruh baya beranjak pergi. Kini Alice sendirian lagi. Ia kembali menunduk dan membaca buku. Yoon bertanya-tanya apa buku yang Alice baca adalah buku khusus untuk tuna netra? Sejauh yang Yoon tahu mana mungkin Alice bisa membaca buku biasa. Ia tidak bermaksud merendahkan atau apa. Dilihat dari cara Alice membaca mungkin ia memang menggunakan buku khusus. Ia menunduk sambil mengusap halaman buku dengan jari-jarinya.
Yoon mengerjap. Masih belum menemukan cara alami untuk mengajak Alice berkenalan. Yah, ia memang tidak bermaksud jahat pada Alice, jadi langsung mengajaknya berkenalan mungkin tidak masalah.
Baru saja Yoon akan bangun, terdengar suara Goto memanggilnya dari kejauhan. Yoon menoleh ke arah suara dan melihat kedua laki-laki itu tersenyum ke arahnya sambil melambaikan tangan. Yoon balas tersenyum dan melambaikan tangan dengan bersemangat.
"Sudah lama di sini?" Tanya Tadashi begitu ia sampai di dekatnya.
Yoon mengangguk. "Tapi aku senang," ia mengalihkan pandangan pada Goto yang sudah mengalihkan seluruh perhatian yang ia miliki pada Alice. Berani taruhan, pasti Goto bahkan belum tahu nama gadis itu.
"Karena kau bilang akan datang ke sini, jadi Goto sekalian datang bersamaku," jelas Tadashi.
Yoon mengangguk lagi. Siang tadi Tadashi mengatakan akan memasakan makan malam untuk Yoon. Dan Yoon memutuskan untuk menunggunya di Central Park. Lagipula tempat ini cukup dekat dengan kantor Tadashi.
"Baiklah, ayo."
"Ya, aku akan di sini. Kalian pulanglah," Goto langsung duduk dan berpura-pura membaca buku seperti biasa.
"Apa dia selalu seperti itu?" Tanya Yoon begitu mereka sudah berjalan menjauh.
"Begitulah."
"Ngomong-ngomong kau akan membuatkan steak untukku?" Mata Yoon berbinar cerah.
Tadashi berhenti sebentar memerhatikan Yoon lekat-lekat. "Memangnya kau tidak bisa makan makanan lain selain steak?"
Yoon langsung memberengut.
"Aku akan memasak sayuran untukmu."
"Yah, Tadashi," Yoon langsung merengek.
***
Yoon menata peralatan makan di meja sementara Tadashi memasak. Ia sudah hampir selesai menyiapkan semuanya saat itu. Tadashi juga tidak berbohong ia memasak cukup banyak sayuran untuk Yoon. Untungnya masakan Tadashi sangat enak, jadi Yoon tidak mengeluh lagi.
"Ngomong-ngomong, Tadashi. Kenapa Goto tidak mencoba mengajak Alice berkenalan?" Tanya Yoon di sela-sela kegiatannya mengunyah.
Tadashi terus menambahkan sayuran ke piring Yoon. "Siapa itu Alice?"
Yoon baru ingat Tadashi tidak tahu nama gadis itu. "Gadis yang disukai Goto, yang selalu ia perhatikan di taman."
"Dari mana kau tahu namanya?" Tadashi mengangkat wajah memandangnya.
"Aku tidak sengaja mendengarnya saat seseorang menyapa Alice."
"Kau menguping?"
"Tentu saja tidak!" Seru Yoon dengan mulut penuh.
Tadashi tertawa kecil. Merasa lucu melihat Yoon dengan pipi menggelembung. "Dulu pipimu seperti ini, ke mana hilangnya pipi itu sekarang?"
Yoon cepat-cepat mengunyah dan menelan makanannya. "Ada apa denganmu? Bukankah aku terlihat lebih cantik setelah diet?" Ia membentuk jarinya menjadi huruf v lalu mengerjapkan mata dengan genit.
"Benar, kau membuatku kehilangan selera makan."
Yoon mendengus kesal sementara Tadashi puas tertawa. "Tapi aku serius, kenapa Goto tidak mencoba mengajak Alice berkenalan?"
Jeda sejenak.
"Mungkin Goto takut membuat Alice merasa tidak nyaman. Ia sudah memerhatikan Alice cukup lama. Dan selama itu kurasa dia sudah memiliki pertimbangannya sendiri."
Yoon berpikir sejenak. "Tetap saja, sampai kapan dia akan diam saja? Jika terus begitu sama saja Goto akan kehilangan Alice."
Tubuh Tadashi membeku. Gerakan tangannya terhenti tepat saat akan menambahkan sayuran ke piring Yoon lagi.
Yoon menandangnya penuh perhatian. Menunggu jawaban Tadashi yang masih diam saja.
"Kau tidak akan mengerti, Yoon," sahutnya sambil lalu.
Yoon tidak menanyakannya lebih jauh. Mungkin memang ada beberapa hal yang hanya dimengerti laki-laki.
Tadashi memandang ke luar balkon sambil terus mengunyah. Ucapan Yoon memang benar. Diungkapkan atau tidak ia tetap akan kehilangan Yoon. Tadashi tak terkejut ucapan itu mampu menyakitinya seperti ini. Karena selama ini pun ia tahu itu.
Ia memandang gadis itu sekilas. Menyenangkan rasanya melihat Yoon makan masakannya dengan lahap. Setidaknya beberapa hari terakhir Yoon terlihat baik-baik saja. Ia juga tidak pernah terlihat menghubungi Ben lagi. Apa mungkin sesuatu terjadi pada hubungan mereka? Tadashi merasa bersalah karena mengharapkan hal itu. Lagipula Yoon belum menceritakan apa pun lagi padanya. Mungkin segalanya memang baik-baik saja. Dan mungkin hanya kebetulan Yoon tidak menghubungi Ben saat sedang bersamanya.
Tadashi ingin bertanya mengenai itu. Tapi ia tidak ingin membuat Yoon bersedih jika memang kenyataannya terjadi sesuatu. Toh, nanti dengan sendirinya Yoon pasti akan bercerita. Dan jika mendadak ia bertanya apa Yoon baik-baik saja, pasti akan menjadi aneh karena dilihat dari sisi mana pun gadis dihadapannya ini memang terlihat baik-baik saja.
"Oh, ya, Tadashi," mata Yoon berkilat menatapnya penuh harapan.
Tadashi menaikan sebelas alisnya sebagai pengganti pertanyaan "apa".
Yoon tersenyum seolah tengah tersipu malu. Menggelikan sekali. "Kau sangat pintar menggambar. Aku berpikir, jika dalam n****+ atau film romantis, seseorang seperti Goto-"
"Apa maksudnya seperti Goto?" Tanyanya tidak sabar. Ia sendiri tidak ingin memikirkan kemungkinan Yoon naksir Goto atau apa.
"Ish," Yoon sebal karena disela. "Maksudku memerhatikan orang yang disukainya diam-diam. Di taman yang romantis, biasanya si laki-laki akan menggambar gadis yang disukainya."
"Oh," Tadashi mengerti. "Jadi?"
Yoon tersenyum lagi. "Maukah kau menggambarku juga?" Ia membentuk jarinya menjadi huruf v lagi dan tersenyum manis.
"Tidak," sahut Tadashi langsung.
"Kenapa?" Erangnya. "Aku cukup cantik untuk dijadikan model bukan?"
"Tidak juga," Tadashi menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mengalihkan pandangan. Mendadak begitu sibuk pada makanannya sendiri.
Tadashi tahu Yoon tidak akan menyerah.
"Ayolah, Tadashi, itu salah satu bucket listku," bujuknya dengan suara dimanis-maniskan.
"Kau tidak menuliskan itu di bucket listmu, aku sudah membaca semuanya," sahut Tadashi tanpa menoleh.
"Ish, itu bucket listku yang baru. Aku bermaksud menuliskannya segera."
Tadashi tak bergeming.
"Aku berjanji akan jadi anak baik!" Seru Yoon sambil mengangkat sebelah tangan.
Tadashi mendesah lelah. Seolah kalah.
Yoon berseru penuh semangat. "Aku ingin kau menggambarku memakai gaun dari film Beauty and the Beast. Kau tahu film itu, kan, Tadashi? Aku sangat menyukainya. Bahkan kita sering menontonnya dulu."
"Jika ingin begitu kenapa tidak memakai gaunnya saja?"
Yoon tidak mengacuhkannya. "Ngomong-ngomong ayo nonton film itu lagi setelah ini," Yoon mengunyah makanannya dua kali lebih semangat dengan wajah cerah.
Tadashi tahu ia tidak memiliki pilihan lain selain menurut. Diam-diam, sudut bibirnya melengkung membentuk seulas senyum samar.