Sembilan

1325 Words
“Are you okay?” Sepertinya Kak Arka melihat perubahan pada wajahku, dia bertanya khawatir. Aku yang terlalu fokus pada Tyaga tanpa sengaja mengabaikan pertanyaannya. “Milena, are you okay?” Kak Arka mengulangi pertanyannya, kali ini lebih keras. Mendengar ada yang menyebut namaku, Tyaga langsung menoleh. Pandangan kami beradu, sesaat jantungku seakan berhenti berdetak, rasa gugup menyerangku. Kulihat Tyaga berbicara dengan temannya, kemudian dia menghampiriku sedangkan temannya pergi entah ke mana. “Moana? Kamu ngapain di sini?” “Eh, Bang Tyaga.” Aku tersenyum kecut. “Makan siang, Bang,” sambungku menjawab pertanyaannya. Tyaga mengalihkan pandangannya pada Kak Arka yang duduk di depanku, keningnya berkerut. “Lo temannya Milena yang kemarin ke rumah, kan? Siapa nama lo?” tanya Tyaga. “Iya, Bang. Gue Arka,” jawab Kak Arka sopan. “Lo masih ingat gue?” tanya Tyaga lagi. Kak Arka melirikku sebelum mengangguk. “Baguslah, jadi gue enggak perlu ngenalin diri lagi,” desah Tyaga seolah merasa lega. Kemudian dia menuju kursi di sampingku dan tanpa sungkan duduk di atasnya. “Kalian belum pesan makanan, kan?” ucapnya lagi, menepuk tangan memanggil pelayan. Seorang pelayan cowok menghampiri, membagikan buku menu pada kami. Anehnya dia terlihat segan pada Tyaga. “Pesanlah sesuka kalian, khusus buat kalian, semua menu gratis,” kata Tyaga sambil membuka buku menu. “Gratis?” tanyaku curiga, menoleh pada Tyaga. Pria tengil itu mengerling jenaka ke arahku, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman mengejek. “Moana … Moana, masa kamu enggak tahu kalau café ini milik calon suamimu,” ujarnya menyebalkan. Aku bisa membayangkan seperti apa raut mukaku saat ini. Kupandangi pria yang duduk di sampingku tajam, merasa kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawannya. Ada Kak Arka bersama kami, yang otomatis membuatku berpikir ulang jika aku ingin bersikap barbar. Momen yang seharusnya menyenangkan menjadi kacau gara-gara kehadiran Tyaga. Apalagi tanpa perasaan sungkan sama sekali dia terus bersamaku dan Kak Arka sampai makan siang kami selesai. Aku jadi tidak bisa menikmati hidangan yang disajikan. “Kok enggak dihabisin?” tanyanya melihatku menyudahi makanku tanpa menghabiskannya. “Kenyang,” jawabku pendek. “Kamu tahu ke mana sisa makanan pergi kalau kamu enggak menghabiskannya, Moana? Tempat sampah. Itu sama saja kamu membuang makanan padahal di luar sana masih banyak orang yang kelaparan, yang kadang bagi mereka, mencicipi sepotong daging itu cuma bisa mereka lakukan dalam mimpi.” “Iya, iya, aku habiskan,” sungutku menarik lagi piring yang tadi sudah sempat kusingkirkan. Spontan cemberut saat sudut mataku menangkap senyum tipis yang terukir di bibir Tyaga. Perhatianku teralihkan ketika laki-laki yang tadi bersama Tyaga menghampiri kami—di masa depan, aku mengenalnya sebagai manajer kafe ini. Dia mengangguk padaku dan Kak Arka kemudian berbicara dengan Tyaga pelan. Tyaga mengangguk, lalu dia menatap kami berdua secara bergantian. “Baiklah, aku harus pergi sekarang,” katanya bersiap berdiri. “Moana, kita bicara lagi nanti,” sambungnya sebelum benar-benar beranjak meninggalkan aku dan Kak Arka. Sepeninggal Tyaga suasana menjadi hening selama beberapa saat. Kami berdua sama-sama kikuk, tidak tahu harus berkata apa. “Itu—” “Kamu—” Kak Arka dan aku berbicara bersamaan, lalu sama-sama berhenti dan saling memandang. Lucu, karena kami kompak terdiam memberikan kesempatan lawan bicara kami berkata terlebih dulu. Pada akhirnya tawa kami berdua pecah, dan kecanggungan yang tadi sempat hadir pun lenyap. ****** Aku menyibak tirai dan membuka daun jendela lebar-lebar, udara segar pagi hari seketika menyeruak ke dalam kamar. Seberkas cahaya dari matahari yang belum terlalu tinggi ikut menyelinap masuk, membentuk sebaris sinar terang yang melintasi ruangan. Angin musim kemarau di akhir bulan Agustus berembus pelan, membawa aroma eksotis bunga gardenia dari taman ke dalam kamar. Tidak ingin terlalu terhanyut dalam suasana pagi yang begitu tenang, aku buru-buru keluar dan langsung menuju kamar mandi. Aku tidak ingin terlambat ke kampus. Ya, sudah dua bulan ini aku menjalankan aktivitas sebagai seorang mahasiswi kedokteran. Saat ini, tidak ada yang lebih menyenangkan bagiku selain menemukan hal-hal menarik yang terjadi di duniaku yang baru. Rasanya masih seperti mimpi aku bisa menjadi bagian dari semua ini. Adakah yang bertanya-tanya apa yang terjadi denganku dan Kak Arka setelah kejadian di kafe waktu itu? Tentu saja kami masih berteman. Tyaga menepati janjinya untuk tidak mencampuri urusanku, dia memberiku kebebasan berteman dengan siapa pun yang aku suka. Hanya saja, setiap kali ada kesempatan, dia selalu mengenalkan dirinya sebagai calon suamiku ke semua temanku, berkali-kali, bahkan pada orang yang sudah pernah dia beri tahu. Meski kadang sebal dengan sikapnya, aku tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Toh Tyaga benar, aku memang calon istrinya. Tetapi, yang Tyaga tidak tahu, Kak Arka mengetahui semua kebenarannya. Yup. Aku menceritakannya pada Kak Arka, termasuk fakta jika pernikahanku dengan Tyaga hanya untuk sementara. “Moana!” Panggilan itu terdengar ketika aku baru saja melajukan motorku. Dengan enggan aku berhenti dan menoleh ke asal suara. “Apa, Bang?” tanyaku datar. “Ada yang mau kutanyakan, kamu sudah tahu konsep apa yang mau kamu pakai buat pesta pernikahan kita?” Aku menggeleng. “Empat bulan lagi lho, masa belum kamu pikirkan.” “Aku pikirkan kok, Bang. Cuma memang belum dapat ide aja,” kelitku. Tyaga memicing curiga padaku, tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Aku menghela napas. “Sumpah deh, Bang. Bang Tyaga enggak percayaan banget sama aku,” dengkusku sebal. “Dulu kamu suka Cinderella, kan?” “Bang Tyaga tahu dari siapa?” tanyaku heran. Dulu memang aku pernah sangat menyukai salah satu princess Disney itu. Bahkan aku sempat mengoleksi semua hal yang berbau Cinderella. Itu terjadi di antara usia delapan sampai dua belas tahun. Menginjak umur 13 tahun, aku menemukan sisi gelap pada kisah asli Cinderella dan itu membuatku takut. Aku mulai menyingkirkan benda-benda koleksiku dan menyimpannya di dalam gudang. “Kalau enggak salah Mama pernah cerita.” “Terus apa hubungannya Cinderella sama konsep pesta pernikahan?” “Ya, siapa tahu kamu mau bikin pesta pernikahan ala-ala pestanya Cinderella,” cengir Tyaga. Aku melotot, bayangan aku mengenakan baju pengantin biru ala Cinderella melintas di kepalaku. Sontak aku menggeleng. “Enggak, enggak!” sahutku cepat. Lalu buru-buru menyalakan mesin motor dan kabur meninggalkan Tyaga yang terkekeh geli. ****** Kia tidak masuk Fakultas Kedokteran, tapi dia masih satu kampus denganku, jadi kami masih sering bertemu. Seperti sekarang ini, kami berdua sedang asyik mengobrol di kantin sambil menikmati pentol kuah. “Terus lo kabur dong,” kekeh Kia. Aku baru saja menceritakan tentang Tyaga yang menyinggung Cinderella untuk konsep pesta pernikahan. “Ya, lo kan tahu gimana ngerinya gue sama kisah asli Cinderella,” kataku sambil menyuapkan potongan pentol ke dalam mulut. “Tapi memang dulu lo suka banget sama Cinderella, kan?” Aku mengangguk. “Gue sampai koleksi apa pun yang berhubungan sama itu princess.” “Iya, gue ingat lo pernah kasih lihat gue figure Cinderella yang lo punya. Gila, banyak banget.” “Itu dari Tante Irene, setiap dari Amerika dia pasti bawain gue hadiah.” “Hm … gue kok kepikiran Tyaga yang kasih hadiah-hadiah itu ya….” “Cih! Mana mungkin. Gue sama dia tuh enggak pernah dekat. Bisa ngobrol lama sama dia juga baru-baru ini aja.” Kia mengangkat kedua bahunya. “Cuma feeling aja sih. Bisa jadi dia merasa bersalah sama lo terus sering kasih hadiah buat elo, kan? Tapi karena dia enggak berani kasih ke elo jadi dititipin deh, ke nyokapnya.” “Nggak mungkin,” cibirku. “Dia enggak mungkin sebaik itu, minta maaf sama gue aja enggak pernah.” Kia diam, dia pura-pura sibuk dengan pentolnya. Sementara aku menyuapkan satu biji pentol yang lumayan besar langsung ke mulut tanpa memotongnya dan mengunyah kuat-kuat. Mengingat lagi perbuatan Tyaga memancing emosiku. Perasaan kesal atas kejadian sebelas tahun silam kembali timbul ke permukaan. Aku membenci lelaki itu, sangat membencinya. Namun yang menyebalkan bagiku, aku tidak bisa mengungkapkan perasaan benciku padanya karena Tante Irene dan Om William terlalu baik padaku. Aku tidak ingin menyakiti mereka, juga Bunda. Tetapi sungguh, meski rasa itu aku simpan sendiri, dunia tetap tahu aku membenci Tyaga! Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD