Tiga

1644 Words
Kadang-kadang aku merindukan masa kecilku, meski sebagian dari waktu itu terasa suram. Setidaknya aku bisa memiliki impianku tanpa merusak impian siapa pun. Bunda sudah pasti tidak setuju dengan keputusanku, beliau lebih suka menjual tanah dan rumahnya yang di kampung daripada mengizinkan aku menikah di usia semuda sekarang. Percakapan kami malam itu terputar lagi dalam ingatanku. “Jangan ngaco, ah! Mana mungkin kamu menikah sama Bang Tyaga,” katanya membuatku cemberut. “Milena serius, Bun.” Aku mencoba meyakinkannya, tapi sepertinya percuma karena Bunda tetap terlihat tidak percaya. “Kemarin Bang Tyaga ngajak Milena nikah, katanya kalo Milena mau nikah sama Bang Tyaga nanti dia yang nanggung biaya kuliah Milena,” sambungku tetap berusaha. Kening Bunda berkerut, lalu beliau menggeleng. “Meski begitu Bunda enggak setuju kamu menikah sekarang. Jangan pikirkan biaya kuliah kamu, Bunda pasti usahakan.” “Bun, Milena enggak mau Bunda jual tanah sama rumah yang di kampung. Itu kan buat masa tua Bunda nanti.” “Kata siapa? Rumah sama tanah itu sengaja Bunda beli buat tabungan masa depan kamu.” Bunda mematahkan pendapatku. “Bunda minta maaf enggak ngomong secepatnya tentang ini sama kamu, Mil. Kalau Bunda bilang dari dulu kamu pasti bisa ikut SNMPTN, tapi sampai satu bulan yang lalu akta tanah kita masih dipinjam Uak kamu buat jaminan hutang di bank, jadi Bunda belum berani minta kamu daftar ke Perguruan Tinggi. Untungnya sekarang sudah dikembalikan.” Bunda mengakhiri kalimat panjangnya dengan helaan napas lega. “Menikah itu gampang, yang penting kamu selesaikan dulu sekolahmu. Mumpung masih muda, cari pengalaman seluas-luasnya,” ceramah Bunda, melanjutkan. “Tapi omong-omong, sejak kapan kamu berhubungan sama Bang Tyaga? Bunda enggak pernah lihat kalian berduaan.” Aku menelan ludah. “Milena enggak punya hubungan apa-apa sama Bang Tyaga kok, Bun,” kataku akhirnya setelah terdiam beberapa saat. Kening Bunda berkerut. “Kalau kalian enggak punya hubungan apa-apa, kenapa Bang Tyaga ngajak kamu nikah?” “Bunda enggak tahu?” tanyaku hati-hati. Bunda menggeleng. “Memangnya Bunda harus tahu?” Sekarang aku yang menggeleng. Kalau Bunda saja sampai tidak tahu urusan ini, pasti Tante Irene masih merahasiakan masalah tersebut. “Eh, Milena lupa belum makan, Bun. Milena ke belakang dulu ya,” pamitku saat itu, langsung meraih tas dan kabur meninggalkan Bunda. Kembali ke situasiku saat ini, aku termenung di depan jendela memikirkan kejadian semalam. Sekarang apa yang harus kulakukan? Apa aku turuti saja permintaan Bunda ya? Mungkin itu jalan dari Tuhan agar aku tidak perlu menikah dengan Tyaga. “Sst … Moana!” Hampir saja aku terjengkang dari kursiku. Kemunculan Tyaga yang persis di depanku sungguh mengagetkanku. Sebagai gambaran, para pelayan dan pekerja lain di rumah ini memang disediakan tempat tinggal yang memadai, tapi kamar-kamar mereka menjadi satu dengan bangunan utama, dekat dengan dapur dan halaman belakang. Mungkin karena Bunda adalah pelayan yang paling lama ikut keluarga ini, jadi mereka memberikan keistimewaan dengan mengizinkan Bunda dan aku tinggal di paviliun, dan bukannya kamar bersama pekerja yang lainnya. Nah, letak paviliun itu ada di halaman samping, agak jauh dari bangunan utama. Bagian belakang paviliun menghadap tembok pagar yang mengelilingi rumah, sementara bagian depannya menghadap bangunan utama. Kamarku terletak di samping, dengan jendela yang bisa dibuka lebar, tidak heran jika Tyaga bisa dengan mudah melongok ke kamarku melalui jendela. “Apaan sih, Bang Tyaga. Bikin kaget saja deh!” sungutku kesal. “Lha, kamu sendiri ngapain pagi-pagi bengong di depan jendela?” seringai Tyaga menyebalkan. Aku sudah mau membantah ucapannya, ketika Tyaga buru-buru mengibaskan tangannya dan langsung bicara lagi. “Aku cuma mau bilang, nanti sore Mama sama Papa ke sini melamar kamu, kamu bilang sama Bunda ya,” ujarnya santai, tapi sama sekali tidak denganku. Otomatis aku melotot dengan mulut terbuka, persis seperti orang bodoh. “Awas, nanti ada lalat masuk mulutmu,” ledek Tyaga mengeluyur meninggalkanku dalam keresahan. Aku geragapan, buru-buru berdiri dan mencondongkan tubuhku ke arah jendela, berniat memanggil Tyaga, tapi meja di depanku menahannya hingga hanya kepalaku yang sampai ke ambang jendela. “Bang Tyaga, aku belum bilang ‘iya’ lho!” protesku. Tapi bukan Tyaga namanya kalau tidak jago mengabaikan. Dia hanya menanggapi teriakanku dengan acungan dua jempol. Apa maksudnya itu coba? Aku berusaha mengejar dengan segera keluar dari paviliun, tapi Tyaga sudah tidak terlihat. Wajahku masam saat aku kembali dan mengempaskan bokongku ke kursi kayu di teras. Aku menatap nanar ke depan, ka arah rumah besar dengan tembok putih yang bersih menjulang megah di depanku. Menjadi menantu penghuni rumah tersebut harusnya impian setiap gadis, bukan? Aku? Tentu saja, jika yang jadi anak lelaki di rumah itu bukanlah Tyaga. ****** Alih-alih memberi tahu Bunda tentang rencana Tyaga, aku lebih memilih kabur dan menghindari pembicaraan tersebut. Sambil berharap semoga Tyaga tidak serius dengan kata-katanya. Tempat yang kutuju adalah rumah singgah milik kakak Kia—Kak Arka, dan dua temannya. “Hai, Milena. Kok sendirian, enggak bareng Kia?” sapa Kak Arka ramah, lesung pipi menghiasi kedua pipinya saat dia tersenyum. Tangannya terlihat terampil menjahit kaus kaki lucu yang dimodifikasi jadi boneka. “Eh, aku justru ke sini karena nyari dia, Kak,” sahutku berbohong. “Wah, dia belum ke sini dari tadi tuh, mungkin sebentar lagi muncul. Sambil nunggu, kamu bantu Kakak dulu sini,” ajaknya. Aku mengangguk antusias, memang itu yang aku rencanakan. Setelah memarkirkan motor, aku berjalan melewati spanduk besar bertuliskan “RUMAH SINGGAH SENYUM” yang dipasang di atas pintu masuk. Bangunan yang terbuat dari separuh bata dan separuh kayu ini memiliki teras yang luas seperti sanggar. Beberapa anak-anak menyebar, duduk beralaskan tikar, sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang membuat boneka, ada yang meronce manik-manik menjadi tas, ada pula yang sedang melukis. “Duduk sini,” kata Kak Arka sambil menepuk-nepuk tikar di dekatnya. “Kak Arka enggak kuliah?” tanyaku basa-basi, padahal aku tahu dengan pasti hari dan jam berapa saja dia berada di kampus atau di rumah singgah. “Nanti siangan,” jawab Kak Arka sambil kembali tersenyum, lengkap dengan lesung pipinya. Oh, Tuhan … tolong jaga kesehatanku, aku bisa terkena diabetes kalau terus-terusan mengonsumsi senyumnya yang luar biasa manis, keluhku dalam hati. Aku sudah naksir Kak Arka dari pertama melihat dia. Usianya hanya terpaut tiga tahun denganku, tapi sikapnya sungguh dewasa. Dia memiliki kepribadian yang humble, bersemangat, luwes, dan menyenangkan. Ditambah wajah tampan dengan lesung pipi yang muncul setiap kali dia tersenyum, cewek mana pun pasti meleleh dibuatnya. “Jadi masuk Fakultas Kedokteran?” Kak Arka melirikku sambil tangannya terus bergerak. Aku mengangkat kedua bahu. “Lho kok?” “Kayaknya tahun depan saja deh, Kak. Sekarang sudah terlambat juga.” “Masih ada seleksi jalur mandiri, kan?” “Iya sih, tapi….” Kak Arka menggunting benang dan meletakkan jarumnya pada bantalan jarum, lalu merapikan bentuk boneka yang baru selesai dia bikin. “Berdoa saja, Tuhan pasti kasih jalan buat orang-orang yang bertekad kuat,” katanya. Aku mengangguk, memperhatikan boneka dari kaus kaki bekas di tangan Kak Arka. Boneka kelinci merah muda dengan corak polkadot yang manis, telinganya dipita dengan perca kain warna biru, sebuah kaus kaki lain warna putih polos dijadikan sweater, dan bagian tengahnya ada sulaman palang merah yang lucu. “Ini buat kamu,” kata Kak Arka mengulurkan boneka buatannya padaku. “Buat aku?” Aku mendongak tak percaya, mata dan mulutku terbuka lebar. Respon yang sungguh memalukan. “Iya,” jawab Kak Arka tulus. “Biar kamu makin semangat mengejar cita-cita kamu. Disimpan ya?” Kuanggukkan kepala kuat-kuat dan menerima boneka itu dengan perasaan berbunga-bunga. “Terima kasih, Kak,” ucapku malu-malu. Tangan Kak Arka mendarat di puncak kepalaku dan mengacak rambutku. “Nggak usah bilang terima kasih.” Ya, ampuuun … ini bukan mimpi kan? Aku bisa merasakan pipiku yang merona, juga desiran menyenangkan pada dadaku. Suara batuk yang dibuat-buat menyadarkanku, refleks aku beringsut menjauh dari Kak Arka dan pura-pura sibuk dengan pekerjaanku. “Eh, Lila. Baru datang lo?” Gadis yang dipanggil Lila oleh Kak Arka mendengkus. Lalu tanpa menjawab pertanyaan Kak Arka, dia mengempaskan bokongnya di dekatku. Tangannya terulur mengambil tanpa izin boneka kelinci di pangkuanku. “Ih, lucu deh. Ini lo yang bikin, Ar?” Kak Arka mengangguk. “Buat gue ya?” Punggungku langsung menegak, bola mataku bergerak-gerak cemas menatap bergantian ke arah Kak Arka dan Kak Lila. Kak Arka berdecak. “Nggak bisa, itu udah gue kasih ke Milena. Lo besok aja gue buatin yang baru.” “Tapi gue suka yang ini. Milena saja yang lo buatin lagi.” Kak Lila memain-mainkan boneka di tangannya. “Saran gue, lo buatnya yang kakinya kecil sebelah, biar sama kayak yang punya.” “LILA!” Suara Kak Arka menggelegar. Aku sampai terlonjak mendengarnya, dan kulihat Kak Lila juga sangat terkejut. “Gue enggak suka lo ngomong kayak gitu.” Belum pernah kulihat Kak Arka semurka itu, wajahnya merah padam, otot-otot pada lehernya menonjol, sorot matanya sedingin dan setajam ujung pedang. Aku sampai lupa jika kata-kata Kak Lila seharusnya membuatku tersinggung. “Lo minta maaf sama Milena atau gue enggak mau ngomong lagi sama lo!” “N-nggak apa-apa kok, Kak,” ucapku buru-buru, melihat wajah Kak Lila yang sudah hampir menangis, aku merasa tidak enak hati. “A-aku pulang saja deh,” sambungku sambil berdiri. “Milena!” Tanpa menghiraukan panggilan Kak Arka, aku cepat-cepat melangkah pergi, sialnya dalam keadaan seperti ini, kaki kiriku terasa lebih berat sehingga aku merasa jalanku lebih pincang daripada biasanya. Aku menarik napas lega begitu berhasil menaiki motor matikku, langsung memakai helm dan melarikan motor itu menjauh dari rumah singgah. Perasaanku sungguh kacau, aku ingin segera pulang dan berbaring di tempat tidurku yang nyaman, menyembunyikan wajahku di balik bantal hingga tidak akan ada yang mendengar jika aku menangis. Bukan karena ejekan Kak Lila, aku sudah biasa diejek bahkan oleh orang yang tidak kukenal sekalipun. Akan tetapi dibela sedemikian rupa oleh cowok yang aku taksir? Aku bahkan tidak pernah membayangkannya. Entahlah, air mata ini mengalir begitu saja, terbawa angin saat aku melajukan kecepatan motorku di atas rata-rata. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD