Setelah satu hari kemarin mengistirahatkan diri, hari ini Audya memutuskan untuk kembali masuk. Badannya sudah mendingan. Bisa digunakan untuk beraktifitas lagi. Seperti biasa, bangun pagi, makan bersama keluarga, berangkat menggunakan angkutan umum dan tiba di kantor. Masih cukup sepi. Untuk menghindari bertemu banyak orang, sengaja berangkat pagi. Mendudukkan diri di kursinya. Menyalakan layar komputer dan merebahkan kepalanya di atas meja. Walau tubuhnya sudah lebih enakan dari pada kemarin, tapi kepala Audya masih belum bisa diajak kerja sama. Masih berat dan sedikit pusing. Sebenarnya hari ini lebih ke memaksakan diri. Audya tidak mau terlalu lama absen. Tidak enak dengan yang lain.
"Mbak, sudah sehat kah?" Audya mau tak mau menegakkan kepalanya. Melihat siapa yang bertanya dan menjawabnya. Menjawab dengan anggukkan pelan dan senyum kecil. Seribu kali pun dia menjawab bahwa dirinya baik-baik saja, sebenarnya percuma. Karena wajah Audya tidak bisa bohong. Masih tampak pucat dan lesu. Huh, harusnya memang menambah absen satu hari lagi.
Wajah office boy itu tampak ragu. Audya tidak menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. Malah sebaliknya. "Kalau mbak masih kurang enak badan, mending istirahat dulu saja mbak. Mau saya izinkan ke mbak Mayang?" tawarnya. Tidak tega melihat wajah Audya yang makin lama makin nelangsa. Mayang sekarang sudah menjabat sebagai kepala divisi keuangan. Menaungi divisi yang Audya tempati. Menggantikan kepala divisi yang terdahulu.
Menggeleng lemah sebagai jawaban. "Saya baik-baik saja kok. Kamu kembali bekerja saja, nanti kena marah loh," tolak Audya halus. Sambil meyakinkan bisa bertahan sampai jam pulang kantor.
Menghela nafas pasrah, pria dengan seragam berwarna biru itu mengangguk dan meninggalkan meja Audya. Mungkin memang benar jika Audya baik-baik saja.
Audya merebahkan kepalanya lagi. Rasa pusing sungguh tidak terkira. Seperti menghantam kepalanya keras. Padahal tadi saat berangkat, tidak sepusing ini. Memijat pelan berharap akan segera hilang.
"Audya. Kamu sudah berangkat?" tanya Mayang yang sedikit heran mendapati kubikel Audya berpenghuni.
"Eh iya mbak, sudah. Sudah mendingan soalnya," jawab Audya memaksakan sebuah senyum. Senyum untuk menutupi rasa sakitnya.
"Benar sudah sehat kan? Kalau masih sakit mending pulang saja. Jangan memaksakan tubuh. Kasihan loh." Audya hanya bisa tersenyum tipis. Faktanya memang Audya memaksakan tubuhnya untuk bergerak.
Mengangguk pelan. "Sudah lumayan mbak. Mbak Mayang kok sudah berangkat? Atau mau keluar kantor ya?" tanya Audya. Ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke kantor. Biasanya kalau Mayang datang lebih awal, akan meninggalkan kantor karena urusan di luar.
Mayang tertawa kecil. "Sekarang sudah hafal ya kebiasaan mbak. Kalau datang cepat pasti ada sesuatu yang tertinggal di kantor dan tidak lama setelahnya akan menghilang." Mayang memang seperti itu. Jika tidak ada sesuatu yang mendesak, akan datang mendekati jam masuk.
Audya ikut tertawa. Beberapa minggu di sini, membuat Audya mulai mengenal kebiasaan-kebiasaan orang di sekitarnya. Audya memang pengamat yang baik.
"Mbak ke sini juga mau ajak kamu sebenarnya. Kamu mau ikut ke luar enggak? Ada rapat sama beberapa klien dan petinggi perusahaan. Mbak kurang nyaman kalau sama yang lain. Tapi kalau kamu masih kurang sehat, enggak ikut juga enggak papa."
Audya bimbang. Menolak, tidak enak karena Mayang yang mengajaknya secara langsung. Menerima, juga tidak enak dengan karyawan yang lain. Nanti malah mereka makin membencinya. Audya menimbang keputusan yang dianggapnya paling bijak. Menerima atau menolak.
"Mm... mbak, nanti kalau yang lain pada enggak suka sama aku bagaimana?" cicit Audya pelan. Sebelum mengambil keputusan, lebih baik mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
Mayang mengernyit. "Lah, enggak suka kenapa?" tanyanya bingung.
"Nanti mereka menganggap kalau aku itu terlalu ya bagaimana ya. Mbak tahu kan, kalau mereka itu pada enggak suka sama aku?"
"Ya enggak usah diurusi. Biarkan saja. Kamu enggak punya kewajiban untuk membuat semua orang suka sama kamu. Memangnya kemu enggak tahu kalau banyak di antara karyawan yang membicarakan tentang keburukan mbak di belakang? Mbak mah bodo amat. Mereka enggak memberikan kontribusi di hidup mbak sama sekali. Jadi, buat apa memikirkan mereka? Enggak penting."
Audya merasa tersentil. Benar juga. Untuk apa memikirkan penilaian orang lain terhadap dirinya. Mau mereka membenci sepenuh hati juga bukan urusan Audya kan. Audya tidak masalah dibenci kok. Tidak rugi juga. Yang ada mereka yang rugi. Karena selalu dibebani rasa benci yang sebenarnya berasal dari iri.
"Ya sudah deh mbak. Aku ikut," jawab Nirina sambil menyengir. Sekarang, bodo amat dengan semua yang tidak memberikan efek baik untuknya.
Mayang tersenyum lebar. "Nah begitu dong. Ayo berangkat sekarang. Lokasinya lumayan jauh dari sini soalnya." Berjalan di samping Mayang. Tidak memedulikan tatapan karyawan lain yang sudah mulai berdatangan.
Entah sejak kapan, keduanya menjadi makin akrab. Bukan seperti atasan dan bawahan, melainkan seperti pasangan kakak beradik. Melihat Mayang yang mengemudikan mobil sendiri membuat Audya makin kagum. Wanita di sampingnya ini begitu luar biasa. Audya berjanji dalam hati perlahan akan mulai menggapai mimpinya satu persatu. Huh, sekarang memasukkan mobil dalam list data keinginannya. Semoga suatu saat bisa tercapai. Aamiin.
"Mbak," panggil Audya ragu.
"Kenapa?" respons Mayang.
"Ah, enggak jadi. He he." Audya mengurungkan tanya yang akan keluar dari mulutnya. Setelah ditimbang beberapa saat, pertanyaan itu tidaklah penting. Terkesan tidak sopan dan seakan kepo.
Setengah jam perjalanan, tibalah mereka pada bangunan restoran yang sangat unik. Restoran dekat pantai yang interiornya memanjakan mata. Mengekor di belakang Mayang. Audya tidak percaya diri.
"Mbak, aku malu," bisiknya di telinga Mayang. Bagaimana tidak malu, pertemuan ini pasti akan menghadirkan orang-orang hebat. Lah, sedangkan dirinya apa. Hanya anak magang. Audya menyesali keputusannya mengiyakan ajakan Mayang. Harusnya tadi menolak dan berkutat dengan laporan saja di kantor walau kepalanya pusing tujuh keliling.
"Kenapa harus malu? Kan kamu pakai baju. Kalu enggak pakai baju, baru boleh malu. Ayo."
Menghela nafas dan mengekori Mayang lagi. Bersyukur karena mereka menjadiborang pertama yang datang. Jadi tidak terlalu malu kalau harus melewati orang-orang yang sudah duduk. Memilih duduk tepat di samping Mayang. Di sini, Audya seperti anak ayam yang mengikuti ke manapun induknya pergi. Maaf mbak, karena sudah menyamakan mbak Mayang dengan induk ayam.
Mayany berdiri diikuti Audya. Menyambut dua orang pria yang baru saja datang. Pria berjas yang tampan.
"Apa semua orang kaya itu tampan ya? Ya Tuhan, bisa pingsan ini kalau berada di dekat mereka," gumam Audya dalam hati.
Melihat dua orang itu mengingatkannya dengan bos besar tempat magangnya. Pak Argantara. Dari perawakan dan usia, sepertinya sepantaran. Yang membedakan, pak Argantara tetap paling tampan. Menggelengkan kepalanya yang mulai oleng karena melihat pria-pria tampan. Kenapa sih, pikiran Audya itu langsung segar kalau melihat yang bening sedikit saja. Itu tandanya Audya masih normal kan ya?
"Kedip kali Dy. Jangan malu-maluin," bisik Mayang yang hanya bisa menggeleng dengan kelakuan gadis yang baru memasuki kepala dua itu. Mayang juga dulu seperti itu sih. Lihat yang bening langsung melek matanya. Tapi mungkin karena faktor usia dan sudah menjadi emak-emak. Sudah bodo amat dengan hal seperti itu. Di rumah, suami dan anaknya lebih tampan kok.
Audya menoleh ke arah Mayang dengan pipi yang bersemu. Jadi, Audya tertangkap basah tengah memandangi pria tampan? Ah tunggu. Bukankah Audya hanya sebentar saja melihat mereka? Tidak sampai selama itu kok. Dan, Audya rasa sedari tadi mengedipkan matanya kok.
"Tuh, diajak salaman." Mayang menyikut pelan tangan Audya. Menyadarkan gadis labil di sampingnya bahwa dua orang yang baru saja bergabung itu tengah mengulurkan tangannya. Dengan gugup, Audya mengulurkan tangannya. Matanya tidak berani menatap langsung netra tajam itu. Audya tidak mau makin dalam jatuh pada pesona salah satu dari mereka. Ya, tahu diri saja lah. Yang ada nanti akan sakit hati.
"Saya Leon," ucap pria dengan senyum manis yang lagi-lagi mampu menyita kewarasan Audya. Untung saja masih ada Mayang yang sekarang bertugas menjadi pawangnya.
"Dia Audya pak. Anak magang yang sekarang masih semester enam. Walaupun masih magang, jangan salah. Kemampuannya luar biasa," ujar Mayang yang seakan mempromosikan Audya. Di sampingnya, Audya hanya bisa makin menundukkan kepalanya. Audya juga bingung. Sebenarnya apa yang telah dia perbuat sampai Mayang begitu baik padanya. Mereka bahkan baru beberapa minggu ini kenal. Interaksi yang terjalin juga cukup terbatas. Hanya berkutat dengan pekerjaan. Apa pun alasannya, Audya bersyukur karena sudah menemukan sosok baik hati dan dewasa seperti Mayang. Jarang ada yang seperti sosoknya.
"Salam kenal ya Audya." Mendengar ucapan itu, Audya makin dibuat salah tingkah. Mengangguk dan tangannya tidak henti merapikan rambutnya. Menyampirkannya ke belakang telinga.
Hanya obrolan ringan yang didominasi Mayang dan dua pria itu. Membicarakan mengenai bisnis yang Audya sendiri tidak tahu. Di sini, Audya merasa menjadi bodoh. Huh, dia tidak tahu apa-apa. Memang dasar pembicaraan mereka yang berat, atau otaknya saja yang tidak bisa mencerna sih? Hanya menjadi pendengar. Ingin membuka ponselnya untuk terlihat sibuk, takut malah dianggap tidak sopan. Serba salah memang menjadi Audya. Katanya, rapat belum bisa dilaksanakan karena kurangnya satu orang yang belum datang. Pak Argantara. Ke mana juga orang itu. Mentang-mentang si pemilik, jadi bisa seenaknya sendiri? Ini sudah lebih dari setengah jam dari waktu janjian loh. Audya kan tidak mau lebih lama menjadi penonton.
Panjang umur. Pria dengan setelan jas berwarna hitam memasuki restoran. Mendekat ke arah meja yang sekarang sedang ditempati. Mengucapkan berkali kata maaf karena keterlambatannya. Namun tidak mengatakan alasannya. Padahal Audya sudah penasaran. Apa yang membuat orang yang paling menghargai waktu seperti Argantara bisa telat. Pasti suatu yang penting kan. Dan, apa sesuatu yang penting itu? Ada hubungannya dengan keluarga kah? Dengan istrinya mungkin? Memangnya sudah beristri ya?
"Kepo banget sih gua," gumam Audya. Mau sudah punya istri atau belum ya tidak ada urusannya dengan Audya kan.
"Ada apa Dy?" tanya Mayang yang sedikit mendengar gumaman Audya.
Dengan gelagapan menjawab, "enggak ada apa-apa kok mbak. He he," menyengir gugup.
"Kamu, sudah sembuh?" Audya mengerjap dan menunjuk dirinya sendiri. Agak ragu untuk menjawab tanya Argantara. Benar bertanya padanya atau ada yang lain?
Argantara mengangguk. "Iya kamu. Kemarin tidak masuk karena sakit kan?"
"Ah, iya pak. Sudah mendingan," jawab Audya seadanya. Sedikit bingung kenapa bisa bos besarnya sampai tahu bahwa dirinya kemarin habis sakit. Menengok ke arah Mayang yang mungkin saja memberi tahu.
Argantara mengangguk dan mendudukkan dirinya di kursi kosong tepat di samping Audya.
"Ini orang, bisa banget buat gua mati gaya," ucap Audya dalam hati. Hanya bertatapan saja sudah luar biasa apa lagi sekarang malah duduk di sebelahnya. Jarak yang terbentang tidak sampai satu meter. Audya harus bagaimana? Tenang? Bahkan jantungnya tidak bisa diajak kompromi untuk tenang. Berdisko ria sampai membuatnya keringat dingin. Audya takut pingsan di tempat. Bolehkah berpindah tempat? Terlalu dekat dengan bos besarnya tidak akan baik untuk kesehatannya.
Tiga jam terlewati dengan hasil final berupa perjanjian kerja sama. Audya bernafas lega. Akhirnya, setelah ini bisa berdiri. Hanya duduk saja membuat beberapa bagian tubuhnya pegal-pegal. Kalian tahu kan yang dimaksud.
"Terima kasih untuk waktu bapak. Kami harap kerja sama ini dapat terjalin dengan baik." Salah satu pria tadi menyampaikan ucapan terima kasihnya. Ternyata, mereka berdua merupakan kakak beradik. Iya, dua pria tampan yang datang bersamaan tadi. Orang tua mereka pasti tampan dan cantik juga. Lihatlah, dua hasilnya merupakan bibit unggul.
"Terima kasih kembali. Ya, semoga dapat berjalan lancar sampai nanti." Argantara tersenyum tipis seraya menyambut jabatan tangan dari rekan kerja barunya.
"Maaf pak, saya sepertinya akan izin terlebih dahulu. Putra saya sedang kurang enak badan saat tadi saya tinggal berangkat." Audya menatap Mayang horor. Lalu, bagaimana dengan dirinya? Ke sini kan tadi bersama Mayang. Audya harus kembali menggunakan apa? Ini kan lumayan jauh dari kantor. Uangnya tidak akan cukup untuk membayar ongkos.
"Mbak," panggil Audya memelas.
"Maaf ya Dy, mbak lupa untuk beri tahu sebelumnya. Rumah mbak sama kantor juga lumayan jauh. Jadi sepertinya mbak enggak bisa antar kamu balik. Sekali lagi maaf ya. Pak, saya duluan," pamit Mayang. Tergesa pergi meninggalkan restoran tanpa memikirkan nasib Audya.
"Mbak, aku pulangnya bagaimana?" Nada bicara Audya melemah di akhir. Mayang sudah pergi. Percuma, wanita itu tidak akan mendengarnya. Lalu, sekarang Audya harus bagaimana?
"Hm." Argantara berdehem. Menyita fokus Audya.
"Kamu pulang dengan saya." Itu bukan ajakan melainkan perintah. Haruskah? Ragu menyelimuti. Takut jika dirinya dianggap yang tidak-tidak. Masa satu mobip dengan atasannya. Pria lagi.
"Mm.. itu pak... anu, aduh." Menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Tahukah kalian jika Audya rasanya ingin menghilang saja? Dia dihadapkan dengan dua pilihan di mana keduanya memiliki resiko masing-masing. Menerima, berarti dirinya sudah siap jika makin di bicarakan. Menolak, mau pulang naik apa? Jalan kaki?
"Kalau tidak mau, silakan cari kendaraan sendiri. Saya permisi," ucap Argantara datar. Berjalan meninggalkan Audya yang melongo.
Setelah sadar, langsung berlari menyusul bosnya. "Pak, saya ikut bapak," ucapnya. Ya kali saja dia harus mencari kendaraan sendiri. Audya bahkan tidak tahu ini di mana dan harus bagaimana agar bisa sampai kantor. Sepertinya lain kali akan menanyakan terlebih dulu pada Mayang jika wanita itu mengajaknya keluar. Bisa membawanya pulang lagi atau tidak. Huh, Audya bisa membayangkan akan secanggung apa satu mobil dengan Argantara.