Hari ini jadwal Audya untuk mulai magang. Dengan terburu berkemas. Audya tidak mau terlambat di hari pertamanya bekerja. Apalagi dia hanya anak magang. Kebetulan, jarak kantor itu tidak terlalu jauh dari kampus. Yang artinya tidak terlalu jauh juga dari rumah.
Kemeja warna biru muda dan rok span hitam panjang dengan jas almamater universitas tersampir di tangan. Audya menunggu angkutan umum di depan gang rumahnya. Pagi hari, angkutan umum pasti penuh sesak. Siswa dan pekerja berbondong memulai kegiatan di sekolah dan kantor. Sudah bisa dipastikan, Audya akan berdiri lagi.
Di kendaraan, Audya berdiri sampai tiba di tujuan. Kursi penumpang sudah semua terisi. Yang penting sampai walau harus berdiri dan berdesakan. Dari pada menunggu lengang tapi akan lama sampai kan.
“Wow. Gede banget.” Audya tercengang melihat bangunan Gantara corp yang begitu besar dan bertingkat tinggi. Padahal sering kali melintasi kantor yang terletak di sisi jalan utama ini. Tapi tak pernah terlalu memperhatikan.
“Bisa nyasar deh gua kayanya,” gumam Audya masih mengagumi bangunan bercat kombinasi abu muda dan hitam di hadapannya.
Dengan sedikit takut, Audya mulai memasuki loby kantor. Matanya disuguhkan interior berkelas yang memanjakan mata. Semua terlihat pas dan tidak berlebih. Audya menyukainya. Mungkin Audya akan betah tiga bulan magang di kantor ini.
“Permisi,” sapa Audya sopan pada resepsionis ber name tag Alia.
“Ada yang bisa daya bantu, Kak?” tanya Alia tak kalah sopan disertai senyum.
“Ah begini. Saya salah satu mahasiswi yang akan magang di kantor ini,” beri tahu Audya.
“Sebentar, saya tanyakan dulu ya, Kak,” jawab Alia.
Wanita muda itu menekan tombol dan menempelkan gagang telepon ke telinga. Bercakap sebentar dengan seseorang di sebelah sana.
“Kakak bisa menemui ibu Rena di lantai tiga dulu. Dan nanti akan diberi arahan oleh beliau.”
Alia memberi tahu masih dengan senyum yang terpatri. Apa salah satu kewajiban resepsionis itu juga selalu tersenyum ya? Ah Audya tidak bisa membayangkan betapa lelahnya seharian terus tersenyum cerah. Apalagi jika keadaan mood-nya sedang tidak baik-baik saja. Pasti akan bertambah lelah. Memaksakan senyum saat keadaan hati tengah terguyur hujan.
“Baik, Kak. Terima kasih yah.”
Audya menunduk sopan dan melangkah mendekati lift setelah Alia menerangkan sebentar dimana letak ruangan Ibu Rena itu. Cukup mudah untuk diingat. Naik lift, keluar di lantai tiga, belok kanan dan langsung menemukan sebuah pintu bertuliskan Renata.
Dengan agak gugup, Audya mengetuk pintu yang terdapat material kaca di tengahnya. Dan Audya melihat di dalam sana ada wanita dewasa tengah sibuk dengan kertas-kertas di meja.
Audya masuk setelah mendengar teriakan dari dalam yang mempersilakan untuk masuk saja.
“Permisi, Bu,” sapa Audya sopan.
“Ya. Jadi, Kamu mahasiswi magang itu?” tanya wanita berkaca mata itu dengan nada sedikit meremehkan.
“Benar, Bu. Saya mahasiswi yang akan magang di kantor ini,” jawab Audya. Jantung gadis itu makin bertalu. Saat mendapati lawan bicaranya memberi tatapan menilai.
“Kamu bisa keluar dan temui Vina di ruangan ujung!”
Mendengar itu, Audya mengerut. Kenapa dilimpahkan ke orang lain lagi? Tadi katanya disuruh ke ruangan ini.
“Ah baik, Bu. Permisi.”
Tak ingin berlama di ruangan dengan hawa yang kurang mengenakkan, Audya mengiyakan dan berjalan cepat untuk sampai pintu. Padahal belum tahu dengan jelas Vina-Vina itu.
Audya menghela nafas lega saat berhasil keluar. Entah perasaannya saja atau memang benar bahwa bu Rena terlihat tidak menyukainya. Tapi masa orang bisa tidak menyukai orang lain dalam sekali bertemu? Kan aneh. Atau mungkin memang seperti itu sikap bawaan bu Rena. Anggap saja seperti itu.
Ruang demi ruang Audya lewati. Tujuannya ruang paling ujung sesuai arahan singkat tadi. Karena jam kantor sudah dimulai jadi koridor yang Audya lewati sepi. Hanya terdengar suara ketikkan dari balik ruang di sini. Sepertinya lantai tiga ini dikhususkan untuk yang memiliki jabatan. Pasalnya ruang satu dengan ruang lainnya dibatasi dinding dan pintu sebagai sarana keluar masuk. Tidak seperti kantor yang sering Audya lihat di televisi. Ruangan luas dengan kubikel-kubikel kecil.
Audya mendesah lega mendapati nama Vina di pintu yang benar saja terletak paling ujung. Dengan pelan, Audya mengetuk pintu tersebut.
Setelah mendengar sahutan untuk masuk, Audya membuka hendel pintu dan memasuki ruangan. Kali ini, Audya disambut dengan senyum hangat. Wajah wanita di hadapannya begitu sempurna.
“Selamat siang, Bu. Saya Audya. Mahasiswi magang dari universitas Merdeka,” ucap Audya sopan.
“Ah iya. Silakan duduk dulu ya.”
Audya mendudukkan diri. Di meja terdapat bingkai foto berisi seorang ibu dan anak. Ternyata wanita di hadapannya telah menikah dan memiliki anak.
Vina menyampaikan apa yang harus Audya lakukan selama tiga bulan magang di sini. Membantu pembuatan laporan. Untuk awal-awal magang mungkin tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ya, kan memang semua butuh proses. Dan Audya diminta menikmati semua prosesnya. Audya di arahkan ke lantai sepuluh sebagai tempat magangnya. Berbaur dengan karyawan lain di sana. Tak lama, Audya pamit undur diri. Hari magang pertama sudah menunggu.
Audya dengan wajah berseri mulai menjangkau pintu untuk keluar. Perasaan lega bertemu dengan Vina membuat suasana hatinya membaik.
“Ya Tuhan!” pekik Audya terkejut. Pasalnya saat menarik handel pintu, malah disapa wajah pria tampan tepat dihadapan.
“Ada apa, Audya?” tanya Vina penasaran.
“Eh, tidak ada apa-apa, Bu. Kalau begitu saya permisi,” pamit Audya lagi pada Vina.
“Mm … permisi, Pak.”
Audya menunduk sopan saat melewati pria berjas di hadapannya.
“Huft, gila! Ganteng banget tu orang,” gumam Audya pelan. Sedang pria yang baru saja dilewati tersenyum kecil mendengarnya.
“Apa jangan-jangan itu suaminya bu Vina, ya. Iya deh kayanya,” gumam Audya lagi masih mengenai pria yang tadi di lihatnya. Kali ini, si pria tidak mendengar karena Audya sudah lumayan jauh berjalan.
“Lantai sepuluh. Tinggi bener ni gedung.”
Audya bermonolog sendiri. Mengagumi bagaimana bangunan ini bisa berdiri dengan komposisi yang pas dan memanjakan mata. Apa semua gedung perkantoran memang seperti ini? Entahlah.
“Heh lupa! Terus nanti gue di lantai sepuluh ngapain? Bego banget tadi gak nanya. Ya ampun, terus gimana dong.”
Audya panik. Jelas saja, tidak ada yang dia kenal di sini. Dan bodohnya malah tadi tidak bertanya secara detail.
TIba di lantai sepuluh, Audya disambut kubikel-kubikel yang memenuhi tengah ruangan luas ini. Ruangan hanya diisi suara pertemuan jari dan keyboard komputer dan bunyi klik dari mouse. Semua terlihat tenggelam dalam pekerjaan. Dari tempat Audya berdiri, terlihat beberapa pintu yang mungkin dihuni kepala divisi atau tempat lainnya.
“Semua sibuk. Terus gue tanya sama siapa dong?” tanya Audya sedih.
Tidak ada satu orang pun yang terlihat santai dan bisa untuk ditanya. Lima menit berlalu Audya hanya bergeser beberapa meter dari tempat semula. Masih melihat sekitar barangkali ada manusia yang tidak sibuk bekerja.
Audya membalikkan badan ke arah lift yang baru saja berdenting. Ada orang yang baru tiba di lantai ini.
“Per … permisi, Pak,” sapa Audya terbata.
Pria berjas itu berhenti. Melihat Audya yang mengajak bicara. “Ya?” tanyanya.
“Mm … izin bertanya, Pak. Saya mahasiswa magang dan saya tidak tahu harus bagaimana atau bertemu siapa di sini,” jawab Audya agak gugup. Berbicara dengan orang terlalu tampan ternyata dapat mempercepat kinerja jantungnya.
“Mari, saya antar.”
Audya mendesah lega. Akhirnya ada orang yang menolong.
Audya jelas menyadarinya. Pria ini sama dengan pria yang tadi di temuinya di pintu ruang bu Vina. Pria yang tadi dicurigai sebagai suami dari bu Vina itu.
Karyawan yang sedari tadi sibuk dengan layar komputer serentak berdiri dan menunduk hormat. Audya mengernyit. Untuk apa mereka berlaku seperti itu pada dirinya yang hanya anak magang? Seketika Audya tersadar. Mereka menunduk hormat bukan karena kehadiran Audya. Melainkan pria berjas rapi yang saat ini berdiri memimpin jalan di depannya. Ah, pasti petinggi di perisahaan ini. Sampai yang sedari tadi sibuk tak melihat keberadaannya otomatis berdiri sopan untuk menyambut pria baik di hadapannya.
Dapat Audya lihat, pria yang diduga suami bu Vina itu hanya mengangguk singkat membalas sapaan karyawan yang ada. Tidak ada senyum atau ucapan singkat lainnya. Mirip bos dingin seperti di n****+ yang sering Audya baca. Bukam hanya sifatnya. Gambaran fisiknya juga hampir menyerupai. Tampan, gagah sedikit sexy.
Audya memukul kepalanya pelan. Pikirannya mulai berkeliaran tak karuan. Di tambah pemandangan punggung lebar di depan matanya. Ya Ampun, Audya ingin menggapai dan bersandar.
“Sadar, Audya,” gumam Audya pelan bermaksud mengembalikan kewarasan otaknya.
“Hm, Anda bisa menemui bu Lidia mengenai informasi tugas selama magang,” ucap pria itu sambil menghentikan laju kakinya di depan pintu bertuliskan Lidia.
Audya mengangguk dan mengucap terima kasih. Yang hanya di balas anggukkan singkat. Kemudian pergi meninggalkan Audya di depan pintu sendiri.
“Beneran deh. Persis banget kaya di n****+. Jangan bilang dia CEO nya. Fix banget deh sama cerita novelnya,” gumam Audya melihat punggung kokoh yang tadi tepat di hadapannya mulai berjalan menjauh.
Audya menepuk mulutnya pelan. Ya ampun, tadi pikirannya yang agak terganggu. Dan sekarang malah mulutnya. Uh, untung saja tidak ada yang mendengar. Bisa malu Audya mengagumi sosok suami bu Vina itu.
“Fokus Audya. Fokus,” tekan Audya pada dirinya sendiri.
Di sini lah Audya berada. Di balik meja di salah satu kubikel yang tadi dilihatnya. Menjadi bagian dari karyawan perusahaan ini. Sayangnya, tidak ada yang bisa Audya kerjakan. Ah, masih belum ada. Katanya, menunggu karyawan tetap di sini memberi tugas pada Audya. Akhirnya Audya hanya membaca buku tebal yang ada di atas mejanya. Entahlah meja ini sebelumnya di huni oleh siapa.
“Magang ngapain si? Apa emang gini ya?” tanya Audya heran. Sudah hampir dua jam duduk dan belum ada yang memberinya tugas.
“Lo anak magang, 'kan?” tanya suara dari samping kubikel Audya tiba-tiba.
Audya mengusap jantungnya yang berdegup kencang akibat pertanyaan mendadak itu.
“Ah, sorry,” ucap wanita yang tadi mengagetkannya.
“Gak papa, Kak. Iya saya anak magang,” jawab Audya disertai senyum. Sepertinya Audya akan diberi tugas pertama sebagai anak magang.
“Boleh minta tolong, enggak?” tanya lawan bicaranya lagi.
“Boleh, Kak.” Tepat. Tugas pertama akan menyapa.
“Buatin es kopi ya. Jangan kebanyakan gula. Makasih.”
Audya melongo. Bukan tugas seperti ini yang diharapkan. Ya ampun. Audya magang untuk bekerja seperti karyawan lain. Bukan untuk menjadi pesuruh. Padahal ada office boy atau bagian yang memang biasa di suruh membuat kopi.
Meski enggan, Audya tetap melaksanakan. Tak ingin kegiatan magangnya akan terganggu karena cibiran akibat tak menuruti perintah karyawan tetap.
Tugas kedua dan selanjutnya di hari pertama magang tak jauh dari fotocopy, membuat kopi atau membelikan makanan.
“Bodo amat ah. Jalanin aja. Ntar juga tiga bulan selese.”