Menarik nafas panjang sebelum memasuki ruang perawatan. Mengerjap beberapa kali agar air mata yang hendak keluar kembali masuk. Ah, Audya sangat sensitif jika sudah menyangkut kedua orang tuanya. Membuka pintu dengan pelan. Tidak mau mengganggu istirahat orang yang ada di dalam. Audya tidak bisa seenaknya karena ruangan ini di tempati bukan hanya oleh ayahnya, tapi juga ada beberapa pasien lain. Kamar perawatan kelas tiga dengan biaya yang paling murah. Ruangan besar ini dibagi menjadi beberapa kamar. Di pisahkan menggunakan tirai yang melingkari brankar. Menyibak tirai dan mendapati ibunya yang terduduk di kursi yang tersedia. Kepalanya direbahkan pada brankar tempat ayahnya berbaring. Audya rasanya ingin menangis. Benar-benar menangis. Siapa sih anak yang akan baik-baik saja saat melihat kondisi kedua orang tuanya yang seperti ini? Tidak ada. Begitu pula Audya. Harusnya, dalam kondisi sakit, ayahnya beristirahat di tempat yang nyaman. Sayang, Audya tidak bisa memberikan itu. Lagi dan lagi, Audya merasa gagal.
Beberapa menit hanya berdiri sambil memandangi dua orang yang teramat berharga di hidupnya. Dua orang yang senantiasa tulus merawat sampai Audya sebesar ini. Dua orang luar biasa yang tidak pernah mengeluh walau keadaan sering tidak berpihak pada mereka. Mengusap air matanya yang membasahi pipi. Menarik nafas untuk menenangkan dirinya sendiri. Audya tidak mau jika mereka mendengar suara tangisnya. Tidak mau mengganggu istirahat yang terlihat lelap itu. Memilih keluar dan mendudukkan diri di kursi yang tidak jauh dari ruangan. Menatap langit yang sudah berubah warna menjadi hitam. Gelap dan pekat. Audya tidak tahu sampai kapan dirinya akan tetap duduk di sini. Setidaknya, perasaannya lebih tenang. Tidak seperti saat masih di dalam. Sesak dan menyakitkan.
"Aku harus bagaimana?" gumam Audya masih menatap langit yang bertabur dengan bintang. Langit di atasnya begitu indah berbanding terbalik dengan kondisi hatinya yang jauh dari kata indah. Pikirannya kembali berkelana pada perkataan tetangganya. Sebelum sang ayah dilarikan ke rumah sakit, sempat mendengar suara Andira yang memaki. Apa kejadian sesungguhnya sesuai dengan yang ada di benak Audya? Andira meminta sesuatu namun tidak dituruti dan gadis itu marah. Mungkin memang garis besarnya seperti itu. Audya akan menanyakan pada ibunya nanti. Jika memang benar, akan mencari Andira dan memberi bocah itu pelajaran. Setidaknya kalau memang tidak bisa menjadi berguna, ya jangan membuat orang lain menderita. Apa sulitnya sih.
Memcoba menghubungi nomor ponsel adiknya yang lagi-lagi tidak mendapat jawaban. Mana berani bocah itu mengangkatnya. Audya bodo amat dengan ke mana perginya Andira. Kalau lapar ya paling pulang. Memang apa yang bisa dilakukan Andira di luaran sendiri? Andira tidak bisa hidup sendiri. Ya semuanya juga tidak bisa hidup sendiri. Tapi Andira, begitu tergantung dengan orang lain. Melakukan pekerjaan mudah saja tidak bisa sendiri.
Meletakkan ponselnya kembali. Percuma juga menghubungi adiknya. Memilih membiarkan dan fokus pada ayahnya. Andira tidak sepenting itu. Apalagi sampai sekarang mereka masih belum bertegur sapa. Audya masih sakit hati. Andira memang tipe orang yang tidak bisa memfilter ucapannya. Tidak berpikir terlebih dahulu jika ucapannya mampu menyakiti orang lain. Audya sudah sering merasakannya. Bukannya belajar dari kesalahan, Andira malah lagi-lagi mengulanginya. Memang tidak kapok. Padahal apa sulitnya sih berpikir lebih dulu, pantas atau tidak kata yang akan terlontarkan. Setidaknya dapat mengurangi resiko orang lain sakit hati.
"Loh kak, kamu di sini? Sejak kapan? Kok enggak masuk?" Dina terkejut begitu mendapati putrinya yang terduduk sambil terkantuk. Masih dengan pakaian yang dikenakan pagi tadi. Kesimpulannya, Audya belum kembali ke rumah.
Audya mengerjap beberapa kali dan menolehkan kepalanya. Tersenyum tipis. Sangat tipis. Senyum yang tidak sampai mata. "Baru saja kok Bu. Mau masuk tapi takut ganggu ibu sama ayah. Terus butuh angin juga. Di luar kan enak, anginnya kerasa," jawab Audya.
Dina mendudukkan dirinya di samping Audya. Mengelus pelan pundak putriny sayang. "Harusnya kamu di rumah saja. Istirahat. Kamu pasti capek seharian sudah bekerja. Biar ibu yang jaga ayah di sini. Lagi pula besok kamu berangkat lagi kan."
Bagaimana Audya tega membiarkan ibunya yang menjaga sang ayah semalaman? Menjaga orang sakit, tidak semudah itu. Malah jika tubuh kita tidak kuat, bisa terbawa sakit. Audya tidak mau tubuh renta ibunya dimasuki penyakit. "Audya yang jaga. Ibu pulang saja. Audya enggak capek tahu Bu. Ibu harus istrahat di rumah. Titik. Enggak ada penolakan," ucap Audya tegas. Dari pada membiarkan Dina tidur dalam posisi duduk yang tentu saja tidak nyaman, mending dirinya saja yang melakukan. Setidaknya tubuh audya masih lebih fit ketimbang ibunya.
"Enggak. Kamu sudah capek seharian ini. Pulang saja ya dan tunggu Andira pulang. Ibu khawatir sama dia." Audya menghela nafas. Sudah seperti ini saja ibunya masih mengkhawatirkan Andira. Bocah tidak tahu diri yang entah sekarang ada di mana.
Menggeleng tegas menolak saran ibunya. "Malam ini, aku yang jaga. Kalau besok masih belum boleh pulang, ibu jaga pagi sampai sorenya."
"Sebenarnya, ayah kenapa Bu?" tanya Audya. Dia juga berhak tahu mengenai ayahnya kan. Apa yang sebenarnya terjadi sampai berada di ruang rawat inap sekarang.
Dina mengulas senyum tipis. Sangat tipis. "Ayah kamu cuman kelelahan saja kok. Besok paling sudah boleh pulang." Audya tahu kalau ibunya bohong. Audya akan pura-pura tidak tahu saja. Mungkin memang tidak mau jika masalah ini makin melebar. Padahal Audya sudah tahu kejadiannya walau dari mulut tetangga.
"Sekarang ibu pulang dulu. Mumpung belum terlalu malam. Aku pesankan ojek ya Bu." Tanpa menunggu persetujuan, Audya langsung memesankan ibunya ojek online. Menunjukkan saat sudah mendapatkan driver dan sedang menuju ke titik lokasi. "Sudah aku pesankan. Kurang dari lima menit akan sampai ke sini. Ibu siap-siap dulu terus keluar ya," sambung Audya. Mengusir ibunya agar segera meninggalkan rumah sakit. Dina pasrah. Tidak bisa menolak lagi. Masuk ke dalam ruang perawatan dan mengambil tasnya. Keluar dan mendapati wajah kemenangan yang tercetak jelas pada wajah putrinya. Masalah seperti ini, Audya memang tidak bisa dikalahkan.
"Ibu pulang dulu. Kamu jangan begadang. Ayah kalau tidur enggak rewel. Kamu bisa tidur juga. Ibu enggak mau loh nanti kamu yang sakit."
"Iya. Ibu hati-hati ya. Ayo Audya antar sampau depan. Nanti langsung istirahat juga. Enggak perlu memikirkan apa pun. Apalagi kalau itu enggak penting." Audya juga tidak mau kalah. Bisa menebak jika tiba di rumah nanti, yang dilakukan ibunya adalah menunggu kedatangan si anak bungsu.
Setelah memastikan ibunya naik motor yang tapat, Audya kembali masuk ke rumah sakit. Berjalan menuju ruang ayahnya. Audya bahkan tidak memedulikan badannya yang lengket belum sempat terguyur air. Tidak peduli jika badannya menguarkan bau tidak sedap. Jangan salahkan. Pakaian ini sudah dipakainya sedari tadi.
Duduk diam di kursi yang ada. Untung saja sudah ada tikar yang terpasang. Merebahkan diri dengan bantalan tangan kanannya. Tidur miring kanan. Meringkuk seperti bayi. Audya tidak repot memikirkan badannya yang pasti akan pegal-pegal besok pagi. Tidur beralaskan tikar tipis yang dingin dan kerasnya lantai masih bisa dirasakan. Semoga, besok Audya tidak masuk angin.
Entah sudah berapa lama tertidur, Audya bangun karena mendengar gumaman seseorang. Mengerjapkan matanya dan mengumpulkan nyawanya yang belum kembali sepenuhnya. Terburu bangkit kala menyadari bahwa sekarang, tugas Audya adalah menunggu ayahnya yang tengah sakit.
"Ayah, ayah butuh sesuatu? Ayah mau minum?" tanya Audya khawatir. Dokter sudah memasangkan selang agar memudahkan saat ingin buang air kecil. Ayahnya yang menderita stroke tidak memungkinkan jika harus bolak balik turun.
Anggukkan kecil yang dapat Audya lihat. Itu artinya ayahnya benar haus kan? Mengambilkan air mineral dalam gelas. Menyodorkan sedotan yang ada. Meneguk beberapa kali dan melepaskannya.
"Sudah?" Lagi-lagi hanya anggukkan. Audya meletakkan kembali gelas. Memutuskan untuk duduk di kursi saja. Mau tidur lagi juga tidak bisa. Kantuk yang sedari tadi singgah entah sudah pergi ke mana. Hanya tinggal pegalnya saja.
"Ayah tidur lagi saja. Masih ada sekitar tiga jam menuju terang," ujar Audya. Sekarang memang masih jam tiga dini hari.
"Atau ayah lapar? Ayah mau makan roti? Ayo aku suapi," tawarnya. Kenapa Audya baru kepikiran. Ayahnya kan tadi tidur cepat dan tiba-tiba bangun. Bisa karena lapar.
Menggeleng kecil sambil disertai senyum. Sejak divonis stroke, kemampuan berbicaranya berkurang drastis. Hanya bisa melontarkan sepatah dua patah kata.
Hening. Ayahnya sudah kembali memejamkan mata. Entah tidur atau pura-pura tidur. Bingung harus melakukan apa. Bermain ponsel, tidak bisa. Baterai ponselnya sudah habis Saking paniknya mendengar jika sang ayah masuk rumah sakit, membuat Audya melupakan hal penting yang harusnya tadi dibawa sebelum ke mari. Charger ponsel atau sepasang pakaian untuk ganti. Memang ya, kalau panik semua berantakkan.
Tiga jam berlalu, Audya lewati hanya dengan duduk dan terdiam. Tidak bisa tidur sama sekali. Menyuapi makan pagi dengan lauk bubur khas rumah sakit. Baru kali ini Audya menyuapi ayahnya. Huh, dan sedihnya di saat sakit. Kalau tidak sakit, mungkin Audya tidak pernah menyuapinya. Jahat memang. Hubungannya dengan sang ayah tidak sehangat dengan ibunya. Entahlah, seperti ada penghalang tinggi. Audya tidak bisa sebebas berlaku. Mungkin memang itu yang hampir semua anak perempuan rasakan. Tidak dekat dengan ayah.
"Nah, sudah selesai. Aku mau ke kamar mandi dulu ya Yah," pamit Audya setelah selesai menyuapi dan memberikan minum. Kandung kemihnya sudah penuh lagi. Padahal baru dikosongkan tadi. Belum ada setengah jam yang lalu.
Menunggu ibunya untuk bergantian. Pulang, mandi, dan berangkat. Melelahkan memang. Tidak lama, Dina datang. Menyuruh Audya untuk segera pulang.
"Ibu sudah masak ya. Nanti kamu makan dulu. Kuncinya titipkan saja sama Bu Dewi," pesannya pada Audya.
Mencium tangan kedua orang tuanya dan berlalu pergi. Dalam keadaan seperti ini saja masih sempat memikirkan Audya. Masih membuatkan Audya sarapan. Memang luar biasa sekali ibunya. Menaiki angkutan umum untuk tiba di rumahnya.
Sepi. Tanpa penghuni. Segera membersihkan diri. Waktunya tidak banyak. Memakan sarapannya dalam diam. Sepertinya Andira tidak pulang semalam. Huh, peduli apa. Mau pulang atau tidak, bukan urusan Audya. Andira sudah besar. Sudah bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Memilah dan memilih mana yang baik atau buruk. Seharusnya loh ya. Kenyataannya, Audya tidak usah memberi tahu juga kalian akan tahu sendiri.
Mengunci pintu dan menitipkannya pada tetangga yang semalam Audya tanyai. Berangkat menuju kantor. Kali ini tidak sepagi biasanya. Mungkin sudah banyak yang datang. Bukan mungkin lagi. Pasti sudah banyak yang datang. Sepuluh menit lagi waktu masuk. Menyiapkan hati, menghadapi hari ini yang pasti lebih berat dari kemarin. Berita mengenai dirinya yang turun dari mobil Argantara sudah tersebar. Pikiran mereka terlalu jauh. Memikirkan sesuatu yang bahkan tidak mungkin terjadi. Di lihat secara sekilas saja tidak ada yang membuat Audya dan Argantara memiliki kecocokan. Mereka terlalu berbeda. Memang ya, kalau sudah tidak suka, menilai seseorang ya selalu dari sisi buruk saja. Sebaik apa pun Audya, pasti akan tetap salah.
Berjalan cepat memasuki lift. Bernafas lega saat hanya ada dirinya di dalam benda kotak yang bisa bergerak itu. Setidaknya tidak harus merasakan sakit hati saat ini. Menuju kubikelnya diiringi bisikan. Tidak perlu mendengar untuk bisa mengetahui apa yang mereka bicarakan.
Merasa lega saat mbak Mayang memasuki ruang. Semua kembali fokus pada apa yang sedang dikerjakan. Sekali pagi, terima kasih mbak.
"Mbak, itu Audya. Enggak cari dia lagi?" tanya salah satu pegawai. Audya yang merasa namanya di bawa mengernyitkan keningnya. Apa mbak Mayang mencari dirinya?
"Saya tidak mencari Audya kok."
"Oh, biasanya mbak kan selalu cari Audya. Jadi ya refleks saja." Ah, sekarang Audya mengerti. Karyawan yang berjenis kelamin pria itu sebenarnya menyindir secara halus.
Memilih abai. Merebahkan kepalanya di atas meja. Audya mengantuk. Kurang tidur semalam dan badannya terasa remuk semua. Inginnya beristirahat di rumah. Namun kewajiban membuatnya duduk diam dan menahan kantuk di sini.
Brak
Memegangi jantungnya yang berdetak cepat. Menoleh pada rekan satu ruangan yang ternyata membanting beberapa tumpuk kertas di mejanya.
"Ada apa ya mbak?" tanya Audya bingung. Setahunya hari ini belum berbuat sesuatu yang dapat memancing amarah orang lain.
"Kerjakan. Jangan enak-enakkan saja. Mentang-mentang kesayangan si bos. Bisa santai begitu saja. Sadar diri sedikit bisa kali," cibirnya dengan wajah yang menjengkelkan.
Audya tersenyum manis dan menerimanya. Menahan diri agar tidak memaki. Ah, Audya memuji kesabarannya sendiri yang sampai saat ini belum juga terpancing amarah.
Tidak ada pilihan lain selain mulai mengerjakan. Meneliti angka-angka yang ada. Matanya takut untuk berkedip. Takut jika salah memasukan angka. Berbeda satu angka saja sudah sangat penting. Memang kalau berhubungan dengan uang itu sangat riskan. Makanya dibutuhkan ketelitian tinggi.
Sampai istirahat, Audya masih belum selesai dengan pekerjaannya. Sesuai perintah, harus selesai di jam sebelum pulang kantor. Jadi, sebisa mungkin Audya menyelesaikannya.
"Dy, mau ikut makan sama mbak enggak?" tanya Mayang yang hendak keluar.
"Enggak deh mbak. Mbak duluan saja, aku masih ada perlu habis ini," jawab Audya menolak. Kan memang tidak bohong. Masih ada urusan setelah ini. Melanjutkan meneliti laporan di depannya.
"Sok banget kan."