Sebuah ruangan luas tapi penuh nuansa gelap dapat membuat nyali siapapun ciut tatkala sedang dalam kesendiriannya, terkecuali bagi pria yang tampaknya lebih suka dengan kegelapan itu. Kedua kakinya tertumpu pada meja kaca dihadapannya, mata elangnya menipis tatkala mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekati posisinya. Pintu abu-abu terbuka secara perlahan, masuklah seorang pria bertubuh tegap dengan menunduk hormat, dengan perlahan ia mendekati pria yang duduk di kursi kebesarannya.
“Maaf mengganggu waktu anda Tuan, saya membawa informasi penting.” Pria yang menjadi sang Tuan dari bodyguard meniup asap rokok dengan santainya, sementara ada ketakutan yang dikubur dalam-dalam dari orang yang kini menunduk hormat.
“Informasi apa yang kau dapatkan, Julio?” Ujarnya sembari menatap lurus pria dihadapannya.
Pria bernama Julio menyerahkan foto-foto yang diambilnya secara diam-diam, foto seorang gadis yang sangat digilai oleh sang Tuan.
“Saat ini Nona sedang makan siang bersama kakaknya disebuah kedai, yang saya dengar bahwa mereka berencana mengunjungi keluarganya yang berada di Indonesia saat liburan nanti.”
Pria itu mematikan rokoknya, membalikkan badan menatap foto-foto lain yang terpasang rapi di album yang kini tergantung di dinding, ia menyentuh deretan huruf yang membentuk rangkaian kalimat.
'Jaden and Lili'
Begitulah kiranya, pria itu adalah Jaden. Ia tidak berhenti untuk mendapatkan Lilinya kembali, sudah cukup satu tahunnya terbuang sia-sia. Kini ia harus bisa merebut sang pemilik hati, Lilinya tercinta.
“Informasi yang bagus, aku akan mencari tahu sendiri kapan tepatnya Liliku pergi.”
Tatapan Jaden berubah sendu saat matanya mendapati foto Lili dengan senyum indahnya ketika mereka sedang berada disebuah taman, Lili memegang kucing berbulu seputih salju, sedangkan Jaden berusaha menjauhi binatang yang baginya menjijikkan itu.
“Kudengar motif si penculik gadisku kemarin adalah rasa cemburu, perempuan jalang itu menganggap Liliku sebagai saingan. Benar begitu?” Jaden mengubah eskpresi menjadi datar saat mengatakan hal itu, tangannya terkepal erat, sorot mata tajamnya mampu menghunus siapapun yang ada didepannya saat ini.
“Benar, Tuan. Nona berhasil kabur dari Griselda, bahkan bodyguard Griselda itu ditemukan dalam keadaan babak belur.” Julio mengatakan hal yang ia lihat, sejujurnya pria itu juga sampai di sana saat Nonanya sedang diculik, tapi ternyata Lili sudah lebih dulu menghajar penculiknya. Alhasil, Julio hanya menonton pertarungan antara Nonanya dengan para musuhnya, tepat saat itu juga Anderson datang, maka tak ada alasan bagi Julio untuk mendekati ke arena pertarungan karena Nonanya sudah aman, dan Julio juga diwanti-wanti Jaden agar tidak ketahuan Lili karena telah membuntuti gadis itu. Lili akan marah-marah dan semakin membenci Jaden bila itu terjadi.
Senyum menyeringai nampak disela bibir Jaden, gadisnya memang luar biasa.
“Kau sudah tahu apa yang harus dilakukan, Julio?” Ucap Jaden dengan nada rendah penuh peringatan.
Julio mengangguk hormat. “Saya tahu, Tuan.”
“Bagus, lakukan sekarang!”
Pintu berwarna biru terang tertutup dengan sempurna, warna yang sama sekali bukan tipe Jaden. Hanya saja warna itu adalah pilihan dari sang pemilik hati saat berniat mengubahnya, tapi kini warna itu perlahan memudar seiring perginya sang gadis.
Setetes air mata jatuh dipipinya, jangan heran jika pria arogan sepertinya bisa menangis. Hanya disaat dirinya sedang sendirilah Jaden baru menumpahkan air matanya, ia tidak ingin terlihat lemah dihadapan orang lain.
“Apakah aku terlalu egois untuk memaksakan dirimu berada disisiku? Aku sangat mencintaimu, tolong jangan menjauhiku.”
Jaden mencium dahi Lili, merasakan jika gambar itu adalah Lilinya secara nyata. Bukankah ia sudah terlihat gila saat ini? Tertawalah, karena Jaden memang pantas untuk ditertawakan atas sikap bodohnya.
Sejurus kemudian ia menyeka air mata di pipi, bibirnya membentuk sebuah seringaian khas.
Ini adalah sisi lain dari seorang Jaden, ketika ia lemah, maka ada sosok lain yang bersemayam di dirinya agar membuatnya bangkit. Hanya Lili lah yang bisa meredakan sisi lain itu, Lilinya yang tercinta.
Rasa sakit yang amat terasa selalu menghantui Jaden dan sisi lainnya, seringnya sisi lain yang mendominasi mengakibatkan beberapa tubuh anak buahnya menjadi korban serangannya. Mereka akan dijadikan teman berlatih hingga babak belur guna memenuhi hasrat yang terpendam, karena salah satu hal ini lah Lilinya memilih pergi darinya. Jaden membenci sisi lainnya, Jaden membenci dirinya.
Maaf pun terasa mustahil ia dapatkan, namun ia pantang menyerah agar mendapatkan hati Lili kembali. Tapi otaknya mempunyai berbagai rencana yang bagus untuk mendapatkan gadisnya walau dengan cara paksaan, mau tak mau Lili memang seharusnya terikat dengan Jaden.
Hanya Jaden seorang!
Ia tersenyum penuh kemisteriusan, sesaat setelah memikirkan rencana yang bagus untuk kedepannya.
***
Disebuah aula dengan luas yang cukup mumpuni untuk menampung puluhan orang yang berdiri berentangan, disana berdiri orang-orang kompak berseragam putih dari usia muda sampai paruh baya. Sekitar pinggangnya ada sabuk yang menandai sampai mana tingkatan materi yang dikuasai, beberapa orang lainnya memilih pemanasan diatas matras guna menghindari cidera serius.
Ada pula yang melakukan pemanasan dengan meliuk-liukkan badan sembari berhitung dari satu sampai delapan, berjongkok lalu berdiri hingga hitungan selesai.
Di tengah arena beberapa orang mulai berkumpul setelah latihan, mereka menselonjorkan tubuhnya di atas matras. Sesekali menyeka keringat yang menetes, sungguh hari yang melelahkan.
“Ughh! Badanku terasa remuk setelah kau banting, seharusnya kau bisa mengira-ngira siapa yang menjadi lawanmu.” Pemuda bersabuk biru mengaduh kesakitan sambil sesekali memegangi pundaknya yang hampir patah, hei ia hanya ingin berlatih tapi kenapa lawannya serius menanggapi tantangannya.
“Salah sendiri menantangku. Aku tidak peduli kawan atau lawan, selama sudah berada di arena maka orang tersebut adalah lawanku.”
“Dasar kejam!! Kalau begini terus, kau akan jomblo seumur hidup.” Deliknya lalu pergi untuk mengobati pundaknya, Lili jadi menyesal karena tidak mematahkan pundak pria itu sekalian.
Sedangkan suara cekikikan terdengar dibelakangnya, sudah bisa dipastikan bahwa teman-temannya yang lain akan menertawakan Lili. Usai makan siang bersama sang kakak, Lili memutuskan untuk ke tempat latihan guna mengasah kembali kemampuannya agar tidak tumpul.
Margrit menyodorkan sebotol air mineral untuk meredakan kekesalan sahabatnya, Lili menerimanya dengan senang hati. Margrit memang baru bergabung di klub bela diri Taekwondo yang ia ikuti, mungkin sekitar satu bulan lalu ketika gadis itu tertarik mengikuti olahraga.
Sedangkan Lili sudah mengikuti klub itu sejak usia sepuluh tahun, tetapi sempat terputus karena kesibukannya. Lalu memilih melanjutkan olahraga favoritnya pada satu tahun lalu, tepatnya ketika ia mulai menginjakkan kaki ditanah ini lagi. Lili meneguk air mineral hingga tandas, lalu matanya menoleh kearah Margrit.
“Bulan depan kau ujian mendapatkan sabuk putih, apa kau sudah mempersiapkan dirimu?” Tanya Lili pada sahabatnya.
Margrit mengangguk pelan, tapi dalam hatinya masih tersimpan keraguan. “Tapi aku takut, bagaimana jika Master tidak meloloskanku? Bagaimana--”
“Okay, Stop! Jangan diteruskan. Kau ini mampu, hanya saja kurang percaya diri. Margrit, pokoknya aku ingin kau mendapatkan sabuk permulaanmu itu.” Lili mengangkat telunjuknya ke arah sahabatnya, tidak ingin mendengar alasan pesimis apapun.
Ingin rasanya Margrit berteriak lalu menarik telinganya sendiri, sudah latihan berkali-kali namun ia tidak percaya diri pada hasil yang telah ia perjuangkan selama ini. Sungguh, bahkan momen inilah yang paling mendebarkan sepanjang ia hidup. Rileks Margrit, Rileks.
Margrit juga masih takut ketika mendapat serangan dari teman berlatihnya, misal ketika tubuhnya ditendang atau dibanting walau itu pelan sekalipun. Oh ayolah! Memikirkan itu dapat membuatnya semakin deg-degan.
“Aku akan mempersembahkan sabuk pertamaku untukmu, doakan aku semoga bisa berhasil.” Ujar Margrit setelah dapat menguasai dirinya, ia gugup seperti anak muda yang jatuh cinta.
Lili tersenyum cerah, sahabatnya juga perlu berlatih untuk membela diri dari kejahatan. Apalagi wanita adalah target yang banyak di incar, ia tahu bahwa Margrit mempunyai semangat belajar yang tinggi.
Usai mengganti Dobok, seragam Taekwondo dengan pakaian harian biasa, keduanya keluar dari gedung latihan. Biasanya jam seperti ini Sabeum ‘pelatih’ tidak bisa datang dikarenakan ada jadwal pertandingan olimpiade, lalu menyuruh mereka untuk latihan sendiri-sendiri. Tentu saja Lili memilih berangkat latihan lebih awal, agar bisa memakai waktunya dengan sebaik mungkin.
Gedung latihan memang tidak berada dipusat kota, tapi jalanan disana cukup ramai jika dikategorikan sebagai wilayah terpencil. Nyatanya masih banyak klakson mobil bersahutan, padatnya jalan hingga beberapa pengendara tak sabar untuk menunggu traffic hijau.
Udara dingin menyerbu kulit putih Lili, ia mengernyitkan dahi tatkala melihat awan yang membumbung tinggi.
“Sepertinya akan hujan lagi, lebih baik kita segera pulang.” Lili menatap awan dengan mendongakkan kepala ke atas, ia suka mendung, tapi tidak suka hujan dan angin lebat, baginya itu mengerikan.
“Tapi sayangnya aku ingin menikmati secangkir kopi panas dikedai, dan kau tidak boleh menolak.” Tukas Margrit yang tidak mau ditolak, dasar gadis pemaksa.
“Jika kau lupa, aku tidak terlalu suka dengan kopi.” Ujar Lili yang memang begitulah faktanya, ia lebih suka meminum teh.
Margrit menggeleng kuat-kuat. “Aku tidak lupa, Jils. Kedai juga menjual teh hangat, kan? Aku akan mentraktirmu.”
Tidak buruk, seharian ini ia mendapatkan traktiran dari Anderson dan Margrit tentu saja bisa menyelamatkan beberapa lembar uang didompet agar terjaga keutuhannya.
“Okay, deal!” Seru Lili pada akhirnya.
Mereka berjalan menuju parkiran, disana mobil Margrit terparkir dengan rapi. Keduanya agak tergesa karena rintik hujan mulai tumpah.