Episode 7

1056 Words
21 juli 2020 Pemilikku selamanya Episode 7             “ Dia kenapa?” tanya petugas kesehatan saat melihat calon mahasiswa baru membawa seorang gadis yang terluka parah dalam gendongannya, mahasiswa itu juga terlihat sangat panik serta cemas. “ Saya tidak tau, dok. Tadi seseorang membawanya, lalu saya ambil alih dan segera membawanya kemari, tolong selamatkan dia!” pintanya khawatir.   Maulana POV Kakiku terasa lemas seperti tidak bertenaga, dadaku gemetar setiap tarikan nafasku terasa sangat sesak, baru saja beberapa menit yang lalu mataku masih melihatnya dalam keadaan baik-baik saja, tanganku dapat menggenggam tangannya yang lembut, baru beberapa menit yang lalu kujadikan dia kekasihku dan berjanji untuk selalu setia serta menjaganya selalu.  Tapi kini , tubuh kecil miliknya terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang ruang kesehatan, darah terus mengalir dari kepalanya. Rasanya ketakutanku tak terbendung lagi, harusnya tadi aku lebih perduli padanya, tidak membiarkannya pergi dengan hati terluka, mungkin sekarang diriku tidak akan melihatnya kembali dengan tubuh yang berdarah. Matanya masih terpejam, bibirnya memucat membuatku semakin ketakutan, meski baru sekali bertemu dengannya tapi rasanya aku sudah ketakutan kehilangannya,” Ma, sebaiknya gadis ini segara dilarikan kerumah sakit saja, peralatan disini tidak memadai. Aku takut dia kehabisan darah,” ucap dokter yang memang bertugas di ruang kesehatan itu.             Kepalaku terasa penuh dengan irama lagu kematian, aku segera mengangkat tubuhnya kembali dan ku peluk ia dengan erat. Aku ingin dia tau bahwa aku sangat taku kehilangannya, hatiku sangat mencintainya,” Maafkan aku, Fir. Sungguh aku minta maaf, aku mohon jangan tinggalkan aku, jangan begini, Fir. Kau boleh marah padaku, tapi jangan tinggalkan aku,” batinku ketakutan. “ Mas, cepatlah bawa kerumah sakit! Jika mas memang sayang padanya. Mas harus segera menolongnya,” ucap dokter itu lagi. Aku baru sadar, karena terlalu ketakutan diriku sudah membuatnya semakin sakit. Kepalaku mengangguk lalu segera menggendongnya keluar dari ruang kesehatan, aku tidak perduli saat  banyak orang bertanya ini dan itu padaku, yang ada dalam pikiranku sekarang hanyalah keselamatan kekasihku, otakku bahkan sampai melupakan kalau kini diriku sedang berpura-pura menjadi orang kismin saat telpon kugunakan untuk menghubungi rumah sakit Mahardika, rumah sakit milik keluargaku. “ Hallo, cepat antarkan ambulance ke universitas negri Madangkara sekarang!” perintahku pada petugas ambulance disana. Aku yakin meraka pasti langsung bergegas kemari, diriku bahkan tidak perduli saat para mahasiswa yang lain sekarang mengerumuniku yang masih menggendong kekasihku, bahkan saat dosen menawarkan bantuan untuk menggendongnya, hatiku tidak akan menyerahkannya. Aku merasa ini semua salahku, meski hingga kini aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi padanya,” Maulana, apa kau sudah menelpon rumah sakit?” tanya dosen itu yang juga terdengar khawatir. “ Sudah, pak. Saya sudah menelpon ambulance rumah sakit Mahardika. “ Bagus, itu termasuk salah satu rumah sakit yang terbaik di kota ini,” balasnya. Aku menmgangguk, sengaja ku pilih rumah sakit yang di pimpin oleh kakakku, dengan begitu diriku bisa leluasa untuk memintak perawatan yang terbaik disana, tidak lama kemudian bunyi sirine mobil ambulance telah tiba, beberapa orang perawat segera turun sambil membawa brangkar, aku pun meletakkan tubuh ringkih itu dengan hati-hati, aku tidak mau tubuh yang sudah sakit itu bertambah sakit jika menerima goncangan terlalu keras,” Ayo! Cepat!” perintahku. “ Ivan.” Oh ternyata kakakku bahkan langsung datang kemari, dia pasti tadi panik saat mengetahui diriku yang menelponnya, ku tau dia sangat sayang padaku dan selalu mengkhawatirkanku, bahkan kadang aku diperlakukan seperti anak kecil. “ Semua akan baik-baik saja,” ucapnya berusaha menenangkanku. Aku hanya mengangguk, dia menepuk pelan bahuku dan memberi isyarat agar diriku segera naik kedalam mobil ambulance agar mobil itu segera berangkat. “ Pak, saya pergi dulu,” pamitku pada dosen. “ Iya, hati-hati, bapak akan meghubungi keluarganya,” jawab dosen tersebut. Ku anggukkan kepalaku dan segera masuk kedalam mobil. Uing… Uing… Uing… Sirine ambulance sengaja dibunyikan untuk memberi isyarat bahwa dalam mobil itu sedang membawa pasien dalam kedaan gawat darurat, serta untuk memintak pengertian kepada pengguna jalan raja untuk mebiarkan kami lewat lebih dulu. Mataku memperhatikan perawat yang khusus ditugaskan dalam ambulan itu, mulai dari memasang infus pada tangannya, hatiku bersukur karena cukup sekali jarum dimasukkan langsung bisa, karena memang disediakan perawat khusus untuk menangani pasien dalam kondisi darurat semacam ini, tanganku terus menggenggam tangannya yang semakin dingin, dalam hati tidak hentinya ku panjatkan doa semoga dia segera sadar, setelah jarum infus dipasang dan dilakukan pertolongan pertama padanya, ku rasakan sebuah genggaman ditanganku, mataku teralih pada tangannya yang seperti ingin meremas tanganku, aku tak keberatan jika untuk menahan sakitnya tanganku yang jadi korban,” Aku tak mau, hiks… hiks…” Telingaku tersihir saat mendengar suara penolakan dan isak tangis dari bibirnya, segera ku dongakkan pandanganku memandang matanya. Ya, Tuhan, dia menangis, aku tau rasanya pasti sangat sakit, diriku pun mencoba untuk menenangkannya,” Sst, tenanglah sayang, aku disini, kau pasti akan baik-baik saja,” ucapku. “ Aku tak mau disuntik kak Lana, aki nggak mau kerumah sakit. Aku takut,” isaknya. Apa? Dia menangis karena takut disuntik dan dibawah kerumah sakit, apa dia yang dalam keadaan sakit seperti itu masih sempat untuk bercanda? “ Fir, kau menangis karena takut suntik, dan dibawa kerumah sakit?” tanyaku memastikan. Gadis itu menganggukkan kepalanya, rasanya aku ingin sekali tertawa, langsung saja ku peluk tubuh ringkihnya, air mataku menetes tanpa kusadari, rasanya diriku tidak percaya disaat hatiku ketakutan dia justru membuatku tertawa dengan ketakutannya yang sangat tidak masuk akal. “ Lepaskan dia, Van!” aku lupa kalau didalam mobil ini juga ada kakakku, dia pasti melihatku memeluk pasiennya terlalu erat, tapi aku juga khawatir, bagaimana kalau kakakku akan melaporkanku pada ayah dan ibu. “ Akum au pulang, kak, Lana. Antar aku pulang saja,” rengeknya. Air matanya terus membuatku tak tega melihatnya, aku pun menghapus air matanya, lalu menatapnya penuh kasih. “ Fir, kau harus dibawah kerumah sakit, karena kau sedang sakit,” ucapku berusaha menangkannya serta membujuknya. “ Tapi aku takut,” ucapnya. Rasanya diriku curiga mungkinkah dia pernah diperlakukan secara tidak baik saat berada dirumah sakit. Aku pun mencoba mencari tahu apa yang membuatnya sangat ketakutan saat mau dibawa kerumah sakit tanpa perduli kondisinya sekarang. “ Kenapa kau sangat takut dibawa kerumah sakit?’ tanyaku pelan-pelan. Diriku tidak ingin memaksanya karena ku tak mau membuatnya semakin ketakutan. “ Aku tidak mau bertemu dengan para perawat yang selalu saja marah-marah, orang sakit itu maunya diperhatikan dan dimengrti bukan dimaki-maki,” jawabnya. Mungkinkah dia pernah masuk rumah sakit, lalu mendapatkan perawatan yang tak baik, bibirku tersenyum, tanganku terulur untuk mengusap lembut kepalanya yang sudah ditutupi perban tersebut, aku berharap dia akan tenang dan tidak ketakuatan lagi. “ Tidak aka nada perawat yang berani memperlakukanmu seperti itu disana, karena aku pasti akan langsung membunuh mereka,” ucapku berusaha menenangkannya, hingga akhirnya dia pun tidak menangis dan ketakutannya juga mulai memudar. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD