(3) Way Of Love

1485 Words
        Perut sudah terisi cukup kenyang, dan argument sudah habis untuk dibicarakan, akhirnya Gibran dan Selma kembali melanjutkan perjalananya ke Islamic national Center.          Hujan deras masih mengguyur daerah sekitar, dan jalan menuju ke sana masih sangatlah jauh. Kilat petir masih mengisi langit malam kali ini.          Setelah masuk mobil tadi, sepanjang perjalanan, Selma menutupi telinga dengan tangannya. Jika ada kilatan petir, ia pasti menutupi seluruh wajahnya dengan selimut. Gibran yang melihat itu sedari tadi, sudah biasa dengan kelakuan Selma. Ia kasihat melihat Selma seperti itu. Namun bagaimana lagi? Ia tidak bisa melakukan apa-apa.          Duar!!         “Aaaaa!” teriakan Selma memenuhi gendang telinga Gibran, yang membuatnya reflex memberhentikan laju mobil.        Selma terus menutup wajahnya dengan selimut, ia enggan membukanya. Bahunya kembali bergetar, namun kini lebih parah situasinya, terdengar suara tangis kecil di telinga Gibran.          Gibran menghela napasnya, ia bingung harus melakukan apa. Gibran sudah memanggil Selma berkali-kali, namun Selma tidak merespon suaranya.          “Selma?” panggil Gibran.          “Selma?” panggil Gibran kembali.          “kalau kamu tidak membuka selimutnya, saya pergi.”   Ajaib, Selma langsung membuka Selimutnya, dengan wajah ketakutan dan mata yang memerah Selma menatap kearah Gibran.   “INC atau pulang?” tanya Gibran.   “Lanjut saja kak,” ucapnya sambil bergetar.   Hujan masih mengguyur dengan sangat-sangat deras kali ini. Gibran sedikit khawatir dengan kondisi Selma yang sangat takut sekali dengan petir.   “Tidak usah takut,” ucap Gibran sambil memberikan tissue kepada Selma.   “Maaf, Aku ngerepotin Kakak …” lirihnya.   Gibran mengangguk. “kamu tidak perlu takut, ada saya di sini.”   Selma melirik kearah Gibran. Apakah benar ini sosok Gibran yang ia kenal? Biasanya ia tidak seperti ini, bagus deh jika Gibran sudah bisa merubah sedikit sikapnya menjadi hangat.   Jam sepuluh malam, Selma dan Gibran sampai di Islamic National Center. Langit masih setia menurunkan airnya dengan jumlah yang sangat banyak.   Gibran mengetuk pintu rumahnya yang ada di Islamic national Center ini. Tak lama Fatma, ibundanya membukakan pintu. “Astagfirullah, Nak … kenapa baru sampai sekarang, kenapa tidak dari sore saja kamu kesini?” Fatma yang melihat wajah ketakutan Selma, ia langsung menggandeng Selma menuju sofa ruang keluarga. Di sana sudah ada Haidar dan Nafasya.   “Assalamualaikum …” salam Gibran.   “Waalaikumsalam,” jawab mereka.   “Baru sampai?” Gibran mengangguk dan duduk di sebelah adiknya.   Fatma berjalan bersama Selma, lalu mereka duduk di sofa. “Nak, kamu kenapa? Kok matanya merah, kamu habis nangis?” tanya Fatma.   Selma menggeleng lemah. “Enggak apa-apa, Umi,” kata Selma dengan bibi yang pucat tersenyum kearah Fatma.   “Kamu sakit, Nak?” tanya Haidar yang memperhatikan Selma juga.   “Enggak, Abi,” gelengnya.   Haidar melirik Gibran yang sedang merebut toples yang ada dipangkuan Nafasya, adiknya. Serasa di perhatikan, Gibran melirik kearah Haidar. Gibran sudah tau arti lirikan Abinya yang menanyakan ‘Selma kenapa?’   Suara gemuruh petir kembali terdengar kencang, Selma langsung memeluk Fatma yang ada di sebelahnya. Fatma terkejut dengan pelukan tiba-tiba dari Selma, dan sekarag ia sudah menyadari jika, sepertinya Selma takut dengan gemuruh petir.   Haidar melirik Gibran yang sedang mengambil makanan yang dipegang oleh Nafasya. Gibran merasa Haidar tengah memperhatikannya, ia pun langsung tersadar dengan tatapan Haidar yang bisa diartikan menanyakan keadaan Selma.     Kilatan petir kembali terdengar, Selma memeluk Fatma dengan cepat, sehingga mengundang respon semua orang yang ada di sana, Fatma lebih terkejut melihat tingkah laku Selma yang seperti ini.   Fatma mengusap kepala Selma dengan penuh kelembutan. “Sudah tidak apa-apa, Nak. Ada Umi disini,” katanya.   “Maaf Umi,” ucap Selma sambil menghapus air matanya.   “Tidak apa-apa, sayang … sekarang lebih baik kamu tidur di kamar Nafasya, biar nanti kalau terjadi apa-apa ada Nafasya yang bantu kamu.”   “Iya, Sel. Tidur di kamar aku aja,” tambah Nafasya dengan senyum lembutnya.   Selma tersenyum kearah Fatma dan Nafasya. “Emm … Selma mau tidur di kamar aja, enggak apa-apa kok, Umi.”   “Yasudah ... kamu sudah shalat?” tanya Fatma.   Selma menggeleng pelan, “aku lagi halangan,” katanya. Terdengar dengusan kasar dari Gibran. Ia sering mendengar hal-hal seperti ini dari teman-temannya di kantor, jika menceritakan pacar mereka masing-masing, yang ia tanggapi adalah seorang perempuan akan berubah sifat jika sedang menstruasi, dan sekarang Gibran paham, yang terjadi kepada Selma saat ini.   “Kamu sudah makan?” tanya Fatma kembali.   Hendak Selma ingin menjawab, Gibran terlebih dahulu berbicara ,”sudah, Umi.”   “Ya sudah … sekarang Selma lebih baik tidur, sudah malam. Nak, antarkan Selma keatas,” ucap Fatma dan daingguki oleh Nafasya.   ….   Alunan suara adzan subuh yang sangat merdu, terdengar di telinga Selma. Udara pagi pun terasa lebih dingin kali ini, mungkin karena hujan deras semalam. Selma mengerejapkan matanya, tak lupa sebelum bangun ia membaca doa di dalam hatinya.   “Enggak biasanya udara dingin kaya gini,” kata Selma sambil membereskan tempat tidurnya. Hanya melipatkan selimut tebal dan menyusun barang-barang yang terdapat diatas tempat tidurnya. Lalu ia bergegas membersihkan dirinya.   Jam sudah menunjukan pukul 5 pagi, biasanya sepagi ini Umi Fatma sedang berada di dapur untuk memasak.   Dengan gamis hitam dan kerudung hitam, Selma turun dari lantai tiga menuju dapur. Ternyata benar, ada Fatma yang sibuk dengan bahan masakannya seorang diri.   “Assalamualaikum, Umi. Selamat pagi,” sapa Selma dengan senyum ramahnya.   “Waalaikumsalam, Nak, sudah rapi ternyata …” kata Fatma.   “Iya Umi, aku lagi halangan jadi langsung turun kesini. Nafasnya ngajar ngaji ya?” tanya Selma yang sambil memperhatikan Fatma yang sedang membumbui ikan.   “Iya, dari jam 4 tadi. Pantas saja Umi tidak lihat kamu,” ucapnya.   “Umi sendiri aja? Bibi kemana?” tanya Selma, biasanya Umi memasak di bantu oleh Bibi pengurus tempat ini.   “Bibi kelihatan tidak sehat tadi, jadi lebih baik Umi masak sendiri. Umi suruh Bibi istirahat dikamarnya,” kata Fatma.   Selma mengangguk. “Semoga Bibi cepat sembuh ya, Umi … Biar Selma bantu,” kata Selma.   Fatma mengangguk, dan mengeluarkan beberapa bahan sayuran dari kulkas untuk di olah. Ada beberapa sayur wortel, brokoli, kentang dan sayur-sayuran yang Selma tidak tahu namanya.   “Selma, tolong kupas kulit wortel dan kentang ini tipis aja, ya … lalu kamu potong dadu,” kata Fatma sambil menjelaskan cara-cara untuk memotong sayuran, Fatma yakin Selma belum terbiasa memasak, jadi lebih baik ia jelaskan terlebih dahulu.   “Untuk mengupas kulitnya kamu pakai ini saja,” ucap Fatma sambil memberikan alat untuk mengupas kulit sayuran.   Selma mengangguk paham. “Selma paham Umi, akan Selma kerjakan,” katanya sambil mencoba mengupas kulit wortel.   “Umi goreng ikan dulu ya.”   Selma dan Fatma sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sampai suara telpon dari arah ruang tamu terdengar.   “Umi ada telpon,” kata Selma yang mendengar duluan suara dering itu.   “Abi belum pulang kayanya, Umi sedang goreng ikan,” ucap Fatma yang berbicara kearah Selma.   Selma merapihkan sampah bekas kulit sayuran dan membuangnya, lalu berjalan kearah Fatma. “Biar Selma yang goreng ini, Umi angkat saja telponya.”   Fatma mengangguk, “sebentar ya, Nak.” Lalu ia pun pergi menuju ruang tamu.   Beberapa menit terlewati, warna ikan yang ada dipenggorengan sudah berubah warna, namun Fatma belum juga kembali menuju dapur.   Selma mencoba mengambil spatula untuk membalik ikan yang sedang di goreng itu. Tidak memperhatikan minyak panas yang banyak, dan ia kurang lihai dalam memasak, “aww!! Astagfirullah.” Selma terkena cipratan minyak panas di tangan kirinya, karena posisi yang sangat dekat dengan penggorengan.   Gibran yang kebetulan sedang mengambil gelas di dapur mendengar teriakan Selma, ia langsung menghampiri Selma dan mematikan api yang menyala. Lalu membawa tangan Selma menuju wastafel.   “Maaf saya lancang,” kata Gibran dengan suara dingin andalannya ia pun mengalirkan air ke tangan Selma yang terkena cipratan minyak.   Selma menahan perih akibat luka ditangannya, sampai-sampai matanya sedikit memerah. “Ceroboh,” kata Gibran dan menyuruh Selma untuk duduk di kursi.   Fatma datang dari arah ruang tamu dengan terburu-buru. “Ya Allah, Nak, kamu kenapa?” tanya Fatma yang langsung mengahmpiri Selma.   “Kena cipratan minyak, Umi,” ucap Gibran yang menjawab.   “Subhanallah … lebih baik kamu obati di ruang tamu, Gibran,” suruh Fatma.   “Maaf Umi, masakannya jadi kacau gara-gara Selma,” kata Selma yang tak enak dengan Fatma karena telah membuat ulah.   “Tidak apa-apa, Nak. Namanya juga belajar, lain kali kamu harus hati-hati. Sekarang, lebih baik kamu obati dulu lukanya.”   “Selma minta maaf ya, Umi,” katanya sekali lagi.   Dengan senyum di bibirnya, Fatm amengusap lembut kepala Selma yang dibalut jilbab hitam. “Umi maafkan, sayang. Tidak apa-apa.”   “Obati,” kata Gibran yang sekarang berjalan menuju ruang tamu. Selma mengangguk dan berjalan mengikuti Gibran.   Selma duduk di sofa, dan Gibran datang dengan membawa kotak obat.   “Obati,” titah Gibran sambil memberikan kotak obat itu.   Selma menggeleng. “Biarin, nanti juga sembuh sendiri, kok,” katanya sambil meniup-niup lukanya.   “Obati,” katanya dengan nada memerintah sambil berkacak pinggang dihadapan Selma.   “Lukanya perih, Kak … nanti makin sakit,” kata Selma dengan nada kesal.   Gibran merendahkan dirinya dihadapan Selma, membuka kotak obat dan mengambil sebuah krim untuk luka. “Tangan,” kata Gibran yang ujung jarinya sudah terdapat krim tersebut.   Suasana wajah Gibran sudah terlihat ingin marah, tidak mau terjadi apa-apa lagi, Selma meletakkan tangan kirinya diatas meja. “Kalau aku pingsan, Kak Gibran harus tanggung jawab ya,” katanya yang sangat ragu dengan obat itu.   Tanpa mendengarkan ucapan Selma, Gibran mengoleskan sedikit-sedikit krim kearah sela-sela jari Selma. “Nanti akan terasa perih. Jika masih terasa sakit, kita kedokter,” katanya sambil membereskan kotak obat itu.   “Kak Gibran lebay, masa Cuma luka segini harus ke dokter. Nanti sore juga sudah sembuh,” kata Selma.   “Saya tidak mau kamu kenapa-kenapa,” kata Gibran sambil melenggang pergi menuju tangga.   Selma mematung mendengar ucapan Gibran. Betulkah tadi Gibran yang berbicara kepadanya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD