Chat dan Foto Mesra

1074 Words
Bagian 5 Sebelum menikah denganku, Mas Mulya dan Ibunya dulunya bekerja untuk keluargaku. Ibu mertua adalah asisten rumah tangga, sedangkan Mas Mulya adalah supir pribadi ayahku. Saat tragedi naas itu terjadi, aku sedang berkunjung ke rumah temanku. Saat itu, Ayah, Mama dan Kakakku akan pergi ke acara pernikahan anaknya rekan Ayah. Ayah memilih menyetir sendiri karena saat itu Mas Mulya sedang cuti. Ada urusan yang harus diselesaikannya, sehingga Mas Mulya mengambil cuti mendadak. Saat dalam perjalanan, tanpa diduga mobil yang dikendarai ayahku mengalami rem blong hingga mengakibatkan mobil tersebut masuk ke dalam jurang dan langsung terbakar. Seketika, Ayah, Mama dan Kakakku tewas dalam peristiwa itu. Aku terpuruk dan hampir stress karena kejadian itu. Ingin rasanya menyusul mereka orang-orang yang kusayangi. Datanglah Mas Mulya dan ibunya yang bak pahlawan, menyelamatkanku dari keterpurukan dan keputusasaan. Mas Mulya memberikan perhatian penuh padaku, selalu ada saat kubutuhkan. Mas Mulya juga menghibur hatiku yang kesepian. Hingga akhirnya aku jatuh cinta padanya. Sat Mas Mulya menyatakan cintanya, aku langsung menerimanya karena aku juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Menurutku, Mas Mulya adalah laki-laki yang baik. Ditambah, ibunya juga sangat menyayangiku, memperlakukanku seperti putri kandungnya sendiri. Ibu mertuaku mencurahkan kasih sayang kepadaku, layaknya kasih sayang ibu kandung kepada anak kandungnya sendiri. Akhirnya, Mas Mulya melamarku, dan digelarlah pesta pernikahan mewah. Setelah beberapa bulan pernikahan, Mas Mulya mulai memperlihatkan sikap aslinya. Mas Mulya pun mengambil alih semua usaha peninggalan ayahku. Ayahku memiliki rumah kontrakan yang berjumlah dua puluh unit, serta toko roti yang sudah memiliki tiga cabang. Letaknya di pusat kota. Mas Mulya lah yang mengelola toko roti. Sedangkan rumah kontrakan, ditangani oleh Ibu. Ibu yang selalu menagih uang kontrakan dan tidak pernah memberikan hasilnya kepadaku sepeserpun. Mas Mulya tidak pernah memberikan uang lebih kepadaku. Aku hanya menerima uang belanja dengan jumlah pas-pasan. Jika aku meminta uang lebih, Mas Mulya selalu beralasan bahwa uang yang ia dapat dari toko roti akan dipakai untuk membangun cabang toko roti yang baru. Aku tahu berapa penghasilan dari ketiga toko roti tersebut, tapi aku diam saja karena Mas Mulya sangat keras kepala. Jika aku protes, pasti Mas Mulya akan marah-marah. Untungnya, suami dan mertua tidak mengetahui bahwa ayahku masih memiliki sebuah toko roti yang berada di luar kota. Toko roti tersebut dikelola oleh orang kepercayaan ayahku. Tiap bulan, hasil keuntungannya ditransfer ke rekening pribadiku. Tentunya tanpa sepengetahuan Mas Mulya dan ibu mertuaku. Suami dan ibu mertua tidak boleh mengetahui jika aku mempunyai simpanan pribadi. Jika sampai mereka tahu, maka mereka akan mengambil alihnya dariku dan aku tidak akan mendapatkan apa-apa. Hanya dari penghasilan toko roti yang berada di luar kota tersebut, aku bisa menabung untuk masa depan anak-anakku. *** Saat Mas Mulya tiba, ia langsung mencari Ibu. Aku yang sedang berdiri di hadapannya dan menunggunya dari tadi pun dilewatinya begitu saja. "Bu … Ibu! Aira, Ibu mana?" "Ibu ada di kamarnya, Mas!" "Oh," jawabnya cuek sambil berjalan menuju kamar Ibu. Mas Mulya sibuk mencari ibu. Sedangkan aku yang sudah dari tadi menunggunya, diabaikan begitu saja. Aku memang dari tadi menunggunya karena sudah tidak sabar ingin menanyakan perihal cincin dan kalung emas tersebut. "Bu … Ibu, aku masuk, ya!" Mas Mulya pun langsung membuka pintu, lalu masuk ke kamar ibunya dan kembali menutup menutup pintunya. Aku tidak tahu apa yang dilakukan oleh Mas Mulya di kamar Ibu. Dan aku tidak bisa mendengarkan pembicaraan mereka, karena Ibu menyetel musik yang cukup kuat di dalam kamarnya. Sehingga, aku tidak bisa mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. Setelah Mas Mulya keluar dari kamar Ibu, ia langsung masuk ke kamar kami. Aku pun mengekor di belakangnya. "Mas, Aira boleh nanya sesuatu enggak?" tanyaku dengan suara yang lembut begitu kami tiba di dalam kamar. "Kamu mau nanya apa?" tanyanya balik. "Mas membeli kalung dan cincin emas, kan? Itu buat aku, ya? Tadi aku nemu nota pembelian cincin dan kalung emas di kantong bajunya Mas saat aku akan menaruh kemeja Mas yang kotor ke tempat baju kotor." Aku sengaja berkata seperti itu untuk melihat bagaimana reaksinya. "Em, a–itu– itu Ibu yang minta dibeliin," jawabnya terbata. "Oh … padahal aku pikir Mas akan memberikannya padaku," ucapku dengan memperlihatkan wajah sedih yang dibuat-buat. Aku tahu, Mas Mulya sudah berbohong. Pasti ia memberikannya kepada perempuan itu. "Tumben, Ibu nyuruh Mas buat beli perhiasan untuknya? Biasanya 'kan Ibu yang memilihnya sendiri?" "Iya! Itu Ibu yang suruh. Udah ya, Mas mau mandi dulu, gerah ni!" Sepertinya Mas Mulya sengaja mengalihkan pembicaraan. Aku tahu, pasti cuma alasan saja jika Ibu yang menyuruhnya. Ibu tidak pernah menyuruh siapapun untuk membelikan barang-barang untuknya. Biasanya, Ibu akan memilihnya sendiri. Mas Mulya mengambil handuk, kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Saat Mas Mulya sedang mandi, aku menggunakan kesempatan untuk memeriksa ponselnya. Kebetulan sekali, ponselnya tidak menggunakan kata sandi layar, sehingga mudah bagiku untuk melakukan cek dan ricek terhadap ponselnya. Aku menghidupkan paket datanya. membuka ikon berwarna hijau, kemudian memeriksa nomor kontak yang ada di w******p Nya. Kontak terakhir yang dihubungi Mas Mulya bernama Femi. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Aku harus siap melihat segala kemungkinan yang akan terjadi. Kuperiksa isi chat terlebih dahulu, banyak sekali chat dari perempuan itu. Suamiku dan perempuan itu ternyata sudah sering berkirim pesan. Aku menduga kalau perempuan yang bernama Femi itu adalah perempuan yang kulihat bersama Mas Mulya dikawasan hotel tadi. Kuscroll isi pesan tersebut sampai ke bawah. Aku memberanikan diri, membaca semua chat suamiku dengan perempuan itu. Sampailah di chat terakhir yang isinya berhasil meluluh lantakkan hatiku. "Mas, Aku ingin kita bersama selalu. Memeluk Mas saat aku kesepian di tengah dinginnya malam. Aku ingin mengulangi kembali indahnya saat kita memadu kasih. Aku menyayangimu, Mas. Sangat menyayangimu" "Iya, Sayang, Mas juga sangat menyayangimu." Aku mencengkram dadaku sambil menahan kaca-kaca yang berlomba hendak keluar . Aku tidak percaya dengan semua ini, rasanya seperti mimpi mendapati kenyataan pahit yang begitu menyakitkan.Tetapi, sebisa mungkin aku harus tetap tenang. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, kukirimkan chat tersebut ke ponselku. Suatu saat aku pasti akan membutuhkan bukti ini. Saat hendak meletakkan ponsel Mas Mulya kembali, ada lagi chat masuk dari kontak yang sama. "Semoga benih Mas yang ada di dalam rahimku ini, menjadi anak laki-laki ya, Mas! Sesuai dengan keinginan ayahnya." Degh! Jantungku berdetak lebih kencang saat membaca pesan yang baru masuk tersebut. Apa maksud perempuan itu? Itu berarti Mas Mulya sudah tidur dengan perempuan itu. Suamiku sudah berzina dengan perempuan itu? Dadaku terasa terbakar. Emosiku sudah naik sampai ke ubun-ubun. Tapi aku harus tetap tenang. Akan kuungkap semua bukti perselingkuhan dan pengkhianatan yang telah dilakukan oleh Mas Mulya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD