Bagian 3
Aku menghubungi ponsel Mas Mulya berulang kali, tetapi tidak diangkat. Pesanku juga tidak dibalas. Sudah larut malam begini, Mas Mulya belum juga pulang.
Tok tok tok!
Tiba-tiba, aku mendengar bunyi ketukan di pintu.
"Mama, kami boleh masuk?"
Aku langsung membukakan pintu dan mempersilakan anak-anak untuk masuk.
"Boleh dong sayang, masuklah! Sini sama Mama."
"Oh ya, kenapa kalian belum tidur? Ini 'kan udah malam. Nggak baik loh tidur lama-lama," tanyaku kepada anak-anak.
"Iya, Ma! Kami nggak bisa tidur. Kami mikirin Mama," ucap Naura, anak sulungku.
"Loh, kenapa mikirin Mama? Maka 'kan baik-baik saja, Sayang!"
"Tadi Nenek nampar Mama, kan? Ayah juga bentak-bentak Mama! Iya kan, Ma?"
Sontak aku terkejut mendengar anak sulungku mengatakan hal itu. Apakah anak-anak melihat kejadian tadi?
"Enggak kok' Sayang, Nenek enggak nampar Mama. Ayah juga enggak bentak-bentak Mama kok'."
"Mama enggak usah bohong, tadi kami ngintip dari pintu kamar, pas Mama dimarahin Ayah dan Nenek," ucap Naura.
"Nenek Sama Ayah jahat ya, Ma. Nenek sepertinya nggak sayang sama kami, Ma. Ayah juga. Dedek Nadia tadi minta gendong, tapi ayah nggak mau, Ma! Tadi juga Nisa mau peluk Nenek, tapi Nenek malah marah," ucap Naura lagi.
"Nggak kok' sayang, Ayah sama Nenek itu sayang sama kalian. Mungkin Ayah dan juga Nenek lagi sibuk, makanya nggak bisa main sama kalian, Nak. Oh ya, kalian nggak mau meluk calon dedek bayi?"
Aku sengaja mengalihkan pembicaraan untuk mengalihkan pikiran mereka. Anak-anak seumuran mereka tidak seharusnya memikirkan hal seperti itu.
"Mau, Ma!" Jawab mereka serentak. Kemudian bergantian menempelkan telinganya ke perutku.
Aku pun menciumi pucuk kepala mereka secara bergantian, dan membelai rambut mereka juga secara bergantian.
"Dedeknya gerak, Ma!"
"Dedek nya nendang Ma!"
Aku bahagia melihat kembali keceriaan di wajah anak-anak. Hanya mereka yang bisa membuatku melupakan semua kesedihanku.
Bagaimana mungkin, suami dan ibu mertuaku tidak menginginkan kehadiran mereka di rumah ini? Padahal mereka adalah anak-anak yang baik dan penurut. Mas Mulya dan ibu mertuaku tidak pernah menyayangi mereka. Yang mereka inginkan hanyalah anak laki-laki.
Padahal kami sudah memiliki tiga orang anak perempuan. Si sulung Naura berusia tujuh tahun, Nisa berusia empat tahun, dan si bungsu Nadia dua bulan lagi genap tiga tahun.
Suamiku tidak pernah bersyukur memiliki anak-anak yang cantik dan pintar seperti mereka. Hanya anak laki-laki lah yang ia inginkan.
Aku ikhlas untuk hamil lagi, demi menuruti keinginan Mas Mulya. Asalkan Mas Mulya berjanji untuk menyayangi mereka. Tetapi sayangnya, janji itu tidak ditepati.
"Mas janji akan menyayangi anak-anak kita dan memperlakukannya dengan baik. Asalkan kamu bersedia untuk hamil lagi dan melahirkan anak laki-laki untuk Mas," ucap suamiku kala itu.
"Aku tidak keberatan jika harus hamil lagi, Mas. Namun aku tidak dapat memastikan kalau yang akan lahir nanti bayi laki-laki, Mas. Itu semua adalah kehendak Allah. Mutlak kuasa Allah. Bagaimana jika yang akan lahir perempuan lagi? Pasti Mas tidak akan mau menyayanginya, pasti Mas akan memperlakukannya seperti kakak-kakaknya."
"Nggak lagi dong! Mas janji," bujuk Mas Mulya.
Akhirnya, aku menuruti keinginan Mas Mulya untuk hamil lagi. Mulai dari browsing internet, mencari tahu tentang bagaimana caranya untuk program bayi laki-laki. Biarpun aku mengetahui bahwa dalam hal ini si suami lah yang paling berperan penting. Sedangkan aku hanya menerima benihnya. Namun aku tetap berusaha agar impiannya tersebut bisa terwujud.
Aku juga konsultasi ke dokter spesialis SpOG. Semua makanan yang dianjurkan dokter telah kukonsumsi. Dan semua yang dilarang untuk dikonsumsi sudah kuhindari. Tetapi, semua usahaku gagal karena ulah Mas Mulya sendiri. Ia mendatangiku diluar masa ovulasi ku. Padahal, aku sudah capek-capek menghitung masa suburku. Dan ia tidak mau menjalankan pola hidup sehat serta menghindari makanan yang telah dianjurkan oleh dokter.
Mau bagaimana lagi, semuanya adalah kehendak Sang pencipta. Aku hanya bisa berusaha dan berdoa, selanjutnya Allah lah yang menentukan.
Setelah Mas Mulya mengetahui bahwa janin yang ada di dalam kandunganku ini berjenis kelamin perempuan, ia seolah tidak peduli lagi terhadapku. Padahal, Mas Mulya lah yang menanamkan benih di rahimku ini. Sayangnya, ia tidak mau tahu soal itu. Selalu saja menyalahkanku.
"Ma, Mama kok' bengong?" Tepukan Naura di pipiku, berhasil membuyarkan lamunanku.
"Ya sayang, Mama cuma lagi mikirin dedek bayi aja. Mama udah nggak sabar pengen ketemu dedek bayi." Aku sengaja berbohong. Mereka tidak boleh mengetahuinya apa yang sedang kupikirkan.
"Iya, Ma. Kami juga udah nggak sabar pengen gendong Adek bayi."
"Oh ya, ini sudah larut malah loh, sebaiknya anak-anak Mama tidur ya! Mari Mama antar ke kamar kalian."
"Oke, Ma!" jawab mereka serentak.
Setelah aku mengantar anak-anak kembali ke kamarnya, aku pun memutuskan untuk menunggu Mas Mulya di ruang tamu.
Kucoba menghubungi ponselnya kembali, tetapi kali ini suara operator yang kudengar. Nomornya sudah nggak aktif.
"Ngapain kamu mondar-mandir, udah kayak setrikaan aja," tanya Ibu yang tiba-tiba nongol di ruang tamu.
"Aira nungguin Mas Mulya, Bu! Dari tadi Aira telponin tapi nggak diangkat," jawabku yang masih sibuk menekan nomornya Mas Mulya dan mencoba menghubunginya lagi. Tetapi, tetap tidak terhubung.
"Kemungkinan malam ini Mulya nggak akan pulang," ucap Ibu.
"Ibu tahu darimana? Setahu Aira, Mas Mulya lagi nggak ada kerjaan di luar kota. Mas Mulya juga nggak bilang sama Aira, Bu!"
"Nah, itu dia. Mungkin Mulya kecewa sama kamu. Karena kamu nggak bisa menyenangkan hati suamimu!"
"Kok' Ibu ngomongnya gitu, sih? Sepertinya Ibu tidak menyukai Aira, dan Ibu juga menginginkan kehancuran rumah tanggaku. Ibu ingin Mas Mulya menikah lagi. Iya kan, Bu?"
"Kalau iya kenapa? Kamu mau apa? Memangnya, kamu bisa apa?" Ibu berucap dengan santai tanpa memikirkan perasaanku sedikitpun.
"Ibu jahat! Seharusnya Ibu jangan terlalu memanjakan Mas Mulya, jadinya begini. Tidak pernah mensyukuri apa yang telah diberikan tuhan padanya."
"Hey Aira! Kamu sudah berani membentakku, hah?" teriak Ibu.
"Aira bicara fakta, Bu! Memang itulah kenyataannya. Jika saja Ibu tidak terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga kami, Aira yakin kalau Mas Mulya tidak akan seperti ini."
"Kamu jangan menyalahkan orang lain, Aira! Ini semua adalah salahmu. Kamu tidak bisa menyenangkan suamimu. Kamu tidak bisa memberikan keturunan anak laki-laki seperti yang diinginkan suamimu. Siap-siap saja, sebentar lagi posisimu akan digantikan oleh perempuan lain," ujar ibu sambil menatapku dengan mata yang tajam.
"Cukup, Bu! Hentikan. Tolong jangan memperkeruh suasana. Jangan salahkan Aira lagi karena Aira hanya menerima benih dari Mas Mulya, Bu!"
Tanpa sengaja, aku membentak Ibu. Aku sudah tidak tahan mendengar semua kata-kata yang keluar dari mulut Ibu mertuaku. Semua kata-kata yang diucapkannya begitu menyakitkan.
"Kamu membentak mertuamu lagi? Awas kamu ya!" Ibu mendekat ke arahku Kemudian mengangkat tangannya.
Secepat kilat kutahan tangan Ibu. Kemudian kuhempaskan hingga Ibu hampir terjatuh.
"Memang dasar mantu durhaka kamu yah! Awas saja, akan kuadukan semuanya pada Mulya. Biar kamu dikasih pelajaran!"
"Silakan, Bu! Aira nggak takut sama sekali," ucapku pada Ibu, kemudian berlalu meninggalkan Ibu yang masih mengoceh di ruang tamu.
Aku memilih untuk masuk ke dalam kamar. Duduk di atas ranjang, lalu mengatur napas kembali. Aku menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Beristighfar berulang kali agar hatiku bisa tenang.
Setelah merasa sedikit lebih tenang, aku memikirkan kembali kata-kata Ibu tadi. Tega sekali ibu mertuaku berkata seperti itu.
Apakah benar jika suamiku mempunyai perempuan lain diluar sana? Apakah itu alasannya kenapa Mas Mulya belum pulang sampai selarut ini? Apakah karena aku tidak bisa memberikan anak laki-laki, lantas Mas Mulya akan menduakanku?"
Berbagai pertanyaan menari-nari di dalam otakku. Sungguh, aku benar-benar pusing memikirkan hal ini. Sesungguhnya aku tidak akan rela jika harus dimadu. Lebih baik kehilangan Mas Mulya, daripada harus diduakan.
Bersambung