Tertangkap Basah

1477 Words
Bagian 7 Setelah kepergian Ibu dan mas Mulya, Nisa masih menangis. "Nenek sama Ayah nggak sayang Nisa lagi," adunya. Nisa terlihat begitu sedih. Aku pun segera mendekapnya ke dalam pelukanku. "Nisa sayang, Nenek sama Ayah sayang kok' sama Nisa. Nenek sama Ayah hanya sedang buru-buru, makanya bersikap seperti itu," ucapku untuk menenangkan hati anakku yang sedang terluka. Bukan cuma hati anakku yang terluka, tapi aku juga. Mendapati kenyataan bahwa suamiku bersikap kasar pada anak-anak, serta telah bermain serong dengan perempuan lain, sungguh sangat menyakitkan bagiku. Melukai hati dan perasaanku. Naura, anak sulungku pun mendekatiku yang tengah memeluk Nisa. "Ma, tadi Naura udah bilang sama Nisa agar jangan ganggu Ayah sama Nenek, tapi Nisa nggak mau dengar, Ma! Nisa kangen Ayah katanya," ucap Naura. Hatiku semakin sakit mendengarnya. Mas Mulya dan Ibu memang sudah benar-benar keterlaluan. Tidak sepantasnya mereka bersikap seperti itu. Anak-anak masih sangat kecil, mereka masih membutuhkan kasih sayang dari Ayah dan Nenek mereka. Tetapi, Mas Mulya dan Ibu tidak peduli sama sekali. Apa salahnya memeluk anak-anak sebentar saja? Jika memang tangan anak-anak kotor, kan bisa dicuci dulu. Tapi, tangan yang kotor pun tidak bisa dijadikan alasan untuk menghindari pelukan dari anak-anak. Sekarang sudah semakin jelas jika Mas Mulya sudah benar-benar berubah. Tekadku untuk berpisah darinya pun semakin kuat. Untuk menghibur hati anak-anak yang sedang sedih karena perlakuan Ayah dan neneknya, aku berinisiatif mengajak mereka jalan-jalan ke mall, sekalian membeli perlengkapan bayi. Usia kandunganku sudah memasuki tujuh bulan. Aku harus membeli perlengkapan bayi untuk mempersiapkan kelahirannya. Aku mengajak Bi Inah juga untuk membantuku menjaga anak-anak. Karena aku akan kerepotan menjaga ketiga anakku, apalagi dalam kondisi hamil besar seperti ini. Sambil menunggu anak-anak selesai mengganti pakaian, aku mengirim pesan kepada Mas Mulya untuk minta izin. Mas Mulya akan marah jika aku keluar rumah tanpa sepengetahuannya. Aku harus tetap bersikap biasa kepada suamiku biarpun aku sudah mengetahui kebusukannya. *** Sesampainya di mall, aku mengajak Bi Inah dan anak-anak mengitari mall, sambil melihat-lihat sekeliling. Sejenak kuperhatikan wajah anak-anak, mereka terlihat gembira sekali. Aku jarang sekali mengajak anak-anak ke mal karena Mas Mulya selalu melarang. Jangankan untuk pergi ke mall atau pusat perbelanjaan lainnya, ke taman bermain saja dilarang oleh Mas Mulya. Jika aku memintanya untuk membawa anak-anak ke taman bermain, Mas Mulya selalu menolak dengan alasan buang-buang duit saja. Terkadang aku nekat membawa anak-anak ke taman bermain tanpa sepengetahuannya. Toh, aku juga punya uang sendiri. Pernah suatu ketika aku nekat membawa anak-anak ke pasar malam. Tanpa sepengetahuan ibu mertua dan suamiku. Sesampainya di rumah, Mas Mulya memarahiku habis-habisan karena tidak menurut padanya. Akhirnya aku pasrah, sejak saat itu tidak berani lagi mengajak anak-anak untuk bermain di luar rumah. Setelah sampai di zone bermain, anak-anak pun main dengan senangnya. Mereka memainkan semua permainan sesuka hati. "Bi, titip anak-anak ya, Aira mau ngambil duit dulu ke ATM," ucapku kepada Bi Inah. "Baiklah Non, jangan lama-lama ya Non," pinta Bi Inah. "Baiklah Bi," jawabku. Aku pun mencari mesin ATM terdekat, memasukkan kartunya, lalu memasukkan nomor PIN. Sebelum mengambil uang, aku berinisiatif untuk mengecek saldonya terlebih dahulu. Biasanya, Mas Mulya selalu memberiku ATM yang berisi paling banyak lima juta rupia dan itu pun tidak boleh diambil semuanya. Memang, suamiku sangatlah pelit. Aku hanya diperbolehkan mengambil uang sebanyak lima ratus ribu saja. Ia selalu bilang padaku bahwa hidup itu harus hemat tidak boleh boros. Makanya, ia selalu menjatah uang bulanan untukku. Saat muncul informasi saldo, mataku terbelalak melihat nominal yang tertera di layar tersebut. Bagaimana tidak, jumlah saldonya mencapai satu M. Aku berpikir sejenak, bagaimana caranya memindahkan uang tersebut ke rekening pribadiku? Sedangkan uang tersebut tidak akan bisa ditransfer dalam waktu bersamaan. ATM juga memiliki batas limit. Ya, akan kulakukan secara perlahan dan bertahap. Sampai akhirnya Mas Mulya tidak menyadari kalau ternyata uang di ATMnya sudah kukuras habis. Aku tidak ikhlas jika Mas Mulya menggunakan uang itu untuk berfoya-foya dengan perempuan selingkuhannya itu. Di dalamnya ada hakku dan hak anak-anakku juga. Jadi, aku wajib mengambil apa yang seharusnya menjadi hakku dan anak-anakku. *** Setelah selesai membeli perlengkapan bayi dengan merek yang paling bagus, aku pun kembali ke tempat anak-anak yang mungkin sudah menunggu. Aku sengaja membeli perlengkapan bayi dengan harga yang lumayan mahal karena aku tidak perlu berhemat lagi sekarang. Sekarang aku memiliki banyak uang. Selama ini, aku selalu menuruti perintah Mas Mulya agar selalu berhemat. Tetapi sekarang, aku tidak mau lagi seperti itu. Aku, istrinya sendiri harus mati-matian menghemat uang belanja. Sedangkan perempuan itu, denga mudahnya mendapatkan uangnya Mas Mulya. Mas Mulya tidak tanggung-tanggung mengeluarkan uangnya untuk perempuan selingkuhannya itu. Ia sengaja Membeli perhiasan, cincin dan kalung emas yang nominalnya mencapai puluhan juta rupiah. Sedangkan aku, tidak pernah diberikan perhiasan seperti itu. Jangankan perhiasan, uang saja dijatah. Aku yakin, bukan cuma perhiasan saja yang sudah diberikan suamiku kepada perempuan itu, pasti sudah banyak uang yang ia keluarkan untuk selingkuhannya itu. Ya iyalah, mana ada perempuan yang mau sama suami orang. Apalagi, sampai merelakan dirinya disentuh oleh lelaki yang sudah beristri. Pastinya, perempuan itu hanya mengincar hartanya Mas Mulya saja. Tetapi aku sudah tidak peduli dengan semua itu. Yang jelas, uang tabungan suamiku sudah berada dalam genggamanku. *** Setelah anak-anak selesai bermain, aku mengajak mereka untuk makan malam. Kebetulan, kami semua belum makan malam. "Ma, Nisa mau pesan ini, boleh?" tanya Nisa sambil menunjuk gambar makanan yang ada di daftar menu tersebut. "Boleh dong, Sayang! Malam ini, kalian boleh pesan apa aja." "Beneran, Ma? Asyik." Anak-anak pun bersorak gembira. "Naura juga ya Ma, mau pesan yang ini," sahut Naura sambil menunjuk gambar makanan favoritnya. "Iya sayang. Kan sudah Mama bilang, kalian boleh pesan apa saja. Oh ya, buat Dedek Nadia, Biar Mama sendiri ya yang milih menunya." Nadia hanya menganggukkan kepalanya, sepertinya ia juga sudah lapar. Setelah pesanan datang, anak-anak langsung menyantap hidangan dengan lahapnya. Kami pun Menikmati makanan masing-masing. "Ma, Mama! Lihat nggak? Ayah dan Nenek ada di sini juga," bisik Naura ditelingaku. Sontak aku pun terkejut, menaruh sendok ke atas piring, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling resto yang masih berada di kawasan mall ini. "Mana, Nak? Mama nggak lihat!" "Itu, Ma! Naura mengarahkan jari telunjuknya ke arah meja yang berada di pojokan. Ternyata benar, ada Mas Mulya, Ibu, dan seorang perempuan. Tidak salah lagi, itu adalah perempuan yang kulihat bersama Mas Mulya di kawasan hotel tempo hari. Dan foto perempuan itu juga yang kulihat di galeri ponselnya Mas Mulya. Ya, aku yakin sekali. Selera makanku langsung hilang saat melihat kedekatan ibu mertuaku dengan perempuan itu. Mereka terlihat begitu akrab, seperti sudah kenal lama. Aku langsung berdiri, kali ini akan kubongkar semua kebohongan yang telah dilakukan Mas Mulya terhadapku. Saat hendak beranjak dari kursi, tiba-tiba Bi Inah menahan tanganku. "Tahan, Non. Jangan lakukan itu," pinta Bu Inah. "Kenapa, Bi? Aira harus melabrak mereka, Bi. Aira enggak bisa dibohongi terus-menerus." "Tahan, Non. Tunggu saat yang tepat!" Aku pun berpikir sejenak, jika aku melabrak mereka saat ini juga, aku akan menjadi tontonan dan pusat perhatian. Aku tidak yakin bisa menahan emosiku saat bertatap muka dengan pelakor itu. Lagi pula, anak-anak saat ini sedang bersamaku. Jika aku menuruti emosi, maka akan berakibat buruk pada mental anak-anak. Tidak baik bagi mereka melihat orang tuanya bertengkar, apalagi di depan khalayak ramai. Akhirnya, kuputuskan untuk mengurungkan niatku. "Anak-anak Mama udah selesai belum makannya? Ayo buruan dihabisin. Sebentar lagi kita akan pulang, kan sudah malam," ucapku kepada anak-anak. Mencoba menyembunyikan gejolak amarah dan tetap tersenyum di depan mereka. "Iya, Ma!" Jawab mereka serentak. Aku mengambil sendok dan lanjut makan. Tanpa menunggu waktu lama, aku sudah menghabiskan makananku. Aku tidak boleh larut dalam kesedihan. Harus memikirkan juga janin yang ada dalam kandunganku, ia juga butuh nutrisi. Aku harus makan dan tidak boleh stress. Tiba saatnya untuk pulang. Aku buru-buru mengajak anak-anak pulang, agar tidak bertemu dengan Ayah mereka di tempat ini. Saat sedang menunggu taksi online, tiba-tiba aku melihat Mas Mulya dan Perempuan itu keluar dari mall dan Ibu berjalan di belakangnya. Mas Mulya dan Perempuan itu bergandengan tangan seperti dua sejoli yang sedang dimabuk asmara. "Ayah …." teriak Nisa. Mas Mulya terkejut melihatku dan anak-anak. Ia pun melepaskan genggaman tangannya dari perempuan itu. "Aira, ngapain kalian di sini?" tanya Mas Mulya dengan raut wajah panik. Sepertinya ia takut kedoknya ketahuan. Begitu juga dengan Ibu, beliau juga nampak terkejut. "Loh, kok' Mas nanya Aira? Seharusnya Aira yang nanya, katanya ada acara keluarga? Mana, Mas? Kok' Aira nggak lihat. Masa iya pertemuan keluarga cuma bertiga doang?" Mas Mulya gelagapan. Tampaknya ia tidak tahu harus menjawab apa. "Siapa perempuan ini, Mas? Kenapa kalian pegangan tangan segala? Kamu ada main sama perempuan ini di belakangku ya, Mas?" tanyaku sambil menatap mereka dengan tatapan tajam. "Aira, kita bicara di rumah saja ya. Ini sudah malam. Mari kita pulang," ajak Mas Mulya. Aku tahu, Mas Mulya bicara seperti itu untuk mengalihkan pembicaraan. "Ayo, anak-anak. Naik ke mobil Ayah," ajak Mas Mulya lagi. "Nggak usah Mas, kami naik taksi saja," tolakku. Aku tidak sudi satu mobil dengan perempuan pelakor itu. Lebih baik pulang naik taksi saja. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD