Bab 5. Tidak Punya Pilihan

1097 Words
Arka membuka kunci pintu di sebuah apartemen. Mentari, ada di belakang Arka, menunggu pintu dibuka. Setelah pintu terbuka, Arka minggir memberi jalan agar Mentari masuk lebih dulu. Satu Minggu yang lalu, Arka menikahi Mentari, sesuai rencananya. Pernikahan itu sangat sederhana. Mentari sendiri memang tidak punya pilihan lain, untuk menerima status pada calon janin yang dikandungnya. Setelah menikah, Arka memutuskan membeli apartemen baru untuk tempat tinggal mereka berdua. Karena Mentari tidak ingin tinggal di rumah Arka. Ia sudah memiliki citra yang tidak baik oleh para tetangga-tetangga di sana. Mentari masuk menuju ruang tamu dengan menyeret kopernya. Diikuti Arka yang ada di belakangnya. Arka juga menyeret kopernya dan berjalan mendekat ke arah Mentari. Mentari menyapu pandangan melihat keseluruhan di dalam apartemen. Apartemennya lumayan bagus dan cukup luas. Sayangnya, bagi Mentari tetap terasa seperti tempat sunyi. Di mana-mana, tempat baru memang butuh adaptasi. Namun, sepertinya adaptasi kali ini adalah adaptasi yang paling sulit baginya. Arka lalu berjalan dengan mengangkat kardus-kardus perabotan yang baru ia beli untuk kebutuhan tempat tinggal barunya. Karena baru pindah, ia akan mulai menata perabotan sesuai tempatnya. Sedangkan Mentari, hanya berdiri di tempat dan terus diam. "Mana kamarku?" tanya Mentari. Membuat Arka terhenti selagi mengangkat perabotan dari luar. "Di sana," jawab Arka sembari menunjuk ke dalam satu kamar. Setelah tahu, Mentari pun membawa kopernya ke dalam kamarnya. Sedangkan Arka, kembali mengangkat perabotan dari luar, lalu dibawa ke dalam apartemen. Arka lalu mulai membuka satu persatu kardus berisi perabotan barunya. Ia juga mulai menatanya. Sekian detik kemudian, Mentari kembali keluar lagi dari kamar. Arka menoleh ke arah Mentari yang baru keluar kamar. Mentari yang ada di luar kamar, menutup kembali pintu kamarnya. Setelah itu, ia berjalan menuju ke arah pintu keluar. Membuat Arka menautkan kedua alisnya heran. "Mentari, semua perabotan rumah sudah aku bawa masuk, kok. Di luar sudah tidak ada," ujar Arka pada Mentari. Mentari lalu terhenti dan berbalik ke arah Arka. "Aku memang tidak berniat mengambilnya. Jangan harap aku akan membantu!" jawab Mentari dengan nada ketus. Mentari lalu kembali melanjutkan jalannya menuju pintu apartemen untuk keluar. "Ini sudah malam. Mau ke mana kamu?" tanya Arka, yang membuat Mentari terhenti kembali. Mentari lalu menoleh ke arah Arka lagi. "Aku mau ke mana saja itu urusanku! Jangan berlagak peduli padaku. Bagiku, Kak Arka masih tetap orang yang paling jahat yang pernah aku kenal!" Setelah mengatakan hal yang menyakitkan, Mentari kembali membalikkan badan. Ia meneruskan langkahnya dan melewati pintu keluar. Ketika berada di luar, Mentari membanting pintu menutupnya dengan suara kencang. Arka yang melihatnya hanya bisa menghela nafas sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Aku menikahi Kak Arka hanya karena terpaksa. Jangan pikir, setelah kita menikah, kita bisa hidup seperti layaknya suami istri! Kita tetap orang lain yang tidak saling kenal! Aku bahkan berharap, kita tidak pernah bertemu sebelumnya!" Arka terlintas kalimat menyakitkan lain dari Mentari setelah mereka melangsungkan pernikahan mereka. Mentari sampai sekarang masih sangat membencinya. Arka pun hanya menghela nafas beratnya sembari menunjukkan raut wajah kecewa. *** "Apa?! Jadi kamu hamil dan sudah menikah dengan Kak Arka?!" Suara teriakan Amara, hampir membuat terkejut semua orang di kafe itu. Begitu mendengar kabar dari Mentari, Amara refleks bertanya dengan nada keras seperti tadi. Membuat Mentari terhenyak kaget dibuatnya. "Sssst!" Mentari menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. "Jangan keras-keras!" seru Mentari dengan suara setengah berbisik. "Sudah terlambat! Semua orang sudah melihat ke arah kita!" Amara sembari setengah menggebrak meja. "Kamu ada kabar besar seperti ini, kenapa tidak cerita padaku sebelumnya?!" tanya Amara lagi. Mentari menundukkan setengah kepalanya. "Aku ... bingung. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan." "Sejak kapan kamu hamil?" "Entahlah? Aku baru tahu satu Minggu yang lalu. Saat kamu menelponku mengajakku ke toko buku waktu itu." "Jadi, kamu baru tahu saat itu?!" "Ya. Karena aku ingat aku tidak pernah telat datang bulan. Dan ketika aku tes, ternyata hasilnya memang positif." "Lalu apa selanjutnya? Apa Edo tahu kamu hamil dengan kak Arka?!" "Dia tahu secara tidak sengaja. Tapi, dia juga diam saja saat kak Arka bilang mau bertanggung jawab untuk menikahiku." "Edo, diam saja?" "Edo, bahkan tidak bereaksi saat mengetahui kak Arka mau menikahiku. Padahal, aku pikir dia akan menyelamatkanku," ungkap Mentari sembari menundukkan kepalanya dalam. Terdapat raut kecewa yang amat besar terpancar dari sorot matanya. "Jadi, apa kamu dan Edo sudah putus?" tanya Amara yang mengembalikan Mentari dari lamunannya sejenak. "Entahlah? Tidak ada pesan apapun darinya saat ia kembali ke London. Bahkan ... sepertinya, dia terlihat tidak peduli padaku," ujar Mentari. "Aku dan Edo, menjalin hubungan lumayan lama. Selama pacaran, aku terus berusaha menjadi orang yang diinginkan Edo. Aku selalu makan makanan yang disukainya, padahal aku tidak suka. Aku juga mulai berusaha membaca buku yang dia sukai meski aku juga tidak suka. Aku selalu menemaninya menonton acara olahraga yang bagiku sangat membosankan," ujar Mentari yang tidak sadar berkaca-kaca. "Apa, semua perjuanganku untuk mempertahankan hubungan ini tidak cukup?! Kenapa dia malah meninggalkanku begitu saja?!" kata Mentari yang kali ini tidak sadar meninggikan nada bicaranya. "Sudahlah, Tari. Pahamilah Edo juga. Dia sendiri dalam kondisi sulit. Mungkin, dia juga kesal mendengar kabar kamu tiba-tiba hamil dengan kakaknya sendiri?" kata Amara. Mentari menoleh ke arah Amara sembari menyeka air mata yang menggenang di sekitar matanya. "Aku tahu dia marah. Padahal seharusnya akulah yang paling marah di sini. Kak Arka, seenaknya melakukan itu padaku, meski dalam keadaan mabuk. Edo, sama sekali tidak mengingat usahaku mempertahankan hubungan kita, dan justru meninggalkanku begitu saja. Sedangkan ayah mereka ... sangat terlihat tidak peduli padaku. Dia lebih mementingkan pekerjaannya dibanding meluruskan sikap kedua putranya. Sekarang, aku benar-benar terjebak di dalam satu keluarga egois itu." "Sudahlah, Tari. Tenangkan dirimu. Lagi pula, tidak ada gunanya kamu terus mengingat perlakuan mereka padamu. Sekarang, kamu harus kembali dalam dunia nyata. Kamu, sudah menjadi istri kak Arka. Jalanilah itu." "Bagaimana cara aku menjalaninya?! Setiap kali aku melihat kak Arka, aku selalu merasa sangat kesal dan selalu ingin marah!" "Tapi dia kan sudah bertanggung jawab, Tari! Menurutku menjadi istri kak Arka juga tidak buruk. Sekarang, Kak Arka dan Edo sama-sama pimpinan di Elme Company, di bawah naungan ayah mereka. Edo mengurus perusahaannya di London dan kak Arka di sini. Mereka sama-sama tampan dan berkharisma. Justru menurutku, Kak Arka lebih berkharisma dibanding Edo." "Tidak ada hubungannya! Aku sama sekali tidak mencintai kak Arka. Justru membencinya! Sebaik apapun kak Arka, dia sudah merusak masa depanku!" "Tari, pikirkanlah juga calon anakmu. Ingat! Bagaimanapun juga, kak Arka adalah ayah dari calon bayi di dalam kandunganmu. Apa kamu akan terus membencinya? Paling tidak, kak Arka sudah bertanggung jawab dengan menikahimu. Berikanlah kesempatan pada kak Arka." Mentari terdiam mendengar nasihat Amara. Ia sendiri tidak tahu bagaimana menghadapi perasaannya? Dan, memang ia tidak punya pilihan lain selain menjalani hidup bersama dengan kak Arka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD