TIGA BELAS

1257 Words
Happy Reading and Enjoy Sen, besok bisa bertemu? . . Bisa, ketemu dimana? Jam berapa? Pesan itulah yang masuk pagi ini, dan berasal dari Hansen. Aku mencoba menangkan diriku, aku takut kalau pada akhirnya aku akan mengecewakannya dengan jawabanku yang ku tunda waktu itu. Demi Tuhan, aku tidak ingin menyakiti siapapun. Dan disinilah aku sekarang, didalam mobil dan berusaha mencari tempat parkir karena area parkir ditempat kami akan bertemu cukup penuh karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Kami memilih bertemu disalah satu rumah makan sunda, aku pernah datang ke tempat ini, tapi tidak sering. “Hai, Gi” sapa Hansen ketika melihatku yang mendekat ke arahnya, ekspresi wajahnya agak sedikit berbeda, kantung mata terlihat jelas dan wajahnya agak sedikit lesu. Ada apa dengan pria itu? “Hai, maaf ya nunggu lama, jalanan macet” ujarku seraya duduk lesehan didepan Hansen, pria itu baru memesan es teh manis yang sudah berada dimeja kami. “Makan dulu aja ya” kata Hansen dan aku mengangguk setuju. Aku menghela nafasku pelan ketika rasa canggung kembali melingkupi kami. Aku juga Hansen layaknya orang asing yang baru saja dipertemukan secara paksa.   “Kenapa ngajak ketemu?” Tanya Hansen ketika kami baru saja menyelesaikan makan siang kami, tapi Hansen langsung berdiri untuk mencuci tangannya diwastafel sebelum aku menjawab pertanyaannya. “Masalah malam itu…..” “Nggak usah kamu jawab, kamu sekarang sama Reynald kan?” kalimatku dipotong oleh Hansen, aku terkejut akan kalimat yang baru saja pria itu katakan. Dari mana pria itu tau? “Aku kemarin liat kalian di Guardian” *** Aku menghela nafasku, dan kembali menggerakkan Mouse’ku mengedit. Sedikit kesal karena sejak chat kemarin hanya berakhir disana, Reynald tak menghubungiku lagi, dia juga tak mengirimiku pesan ketika dia sampai di negaranya. Aku memang tak mengharap banyak dengan hubungan ini. Tapi, tetap saja aku seorang wanita yang gampang baper. Karena sudah tidak tahan, aku mendial nomornya dan menunggu beberapa saat karena tak juga dia angkat aku hanya mendengus lalu meletakkan kembali phonselku di atas meja, meninggalkan studio untuk ke dapur, mengambil minuman. Kalau untuk cemilan aku pantang membawa masuk ke dalam studio, karena pernah lupa membuang bungkus makanan ringan dan menimbulkan studioku diserang ratusan bahkan ribuan semut sampai laptop harus diservis karena rusak. Kalau Amel dan Jeremy itu karena mereka nggak bisa dibilangin, asal semua kembali di bersihkan dan tidak meninggalkan remahan remahan masa lalu… em, remah-remahan manakan ringan maksudku. Kembalinya aku ke dalam studio dengan membawa jus alpukat kesukaanku lalu membuka phonselku dan ada 2 panggilan tak terjawab disana, nomor asing. Phonselku kembali berdering, nomor yang sama. Diseberang sana terdengar berisik, penuh u*****n menggunakan bahasa inggris yang cukup aku paham, juga suara yang familiar ditelingaku. “Hallo, kamu ngomel sama siapa deh” gerutuku yang akhirnya sebal juga. “Aduh… maaf Gi, berisik, saya sedang ada acara” aku mendengus, lalu kenapa dia telfon coba kalau lagi sibuk. “Gi… maaf, nanti saya telfon lagi” aku kembali mendengus dan langsung mengakhiri sambungan telfon tanpa mengatakan apapapun. *** Aku memasang background baru untuk bahan video selanjutnya setelah menyelesaikan beberapa lembar naskah untuk n****+ selanjutnya. Kali ini aku akan membuat tutorial make up yang sangat sering diminta, tutorial make up wisuda karena beberapa bulan mendatang akan ada wisuda SMA atau SMP atau bahkan Wisuda untuk kuliah. Namun kali ini aku menggunakan produk-produk local, berkualitas, dan juga pas dikantong. Setelah menyiapkan alat make up, merekam untuk bahan video, tidak selama untuk video daily Vlog karena memang tutorial make up seperti ini akan lebih simple dan lebih singkat nantinya. Setelah semuanya selesai, aku kembali mengembalikan alat make up ku ketempat semula dan kembali menghapusnya. Biasanya kalau memang tidak mau pergi kemanapun, aku selalu menghapus make up’ku, ya memang untuk apa menggunakan make up di rumah, toh aku tak melakukan apapunn. Salah satu cara menjaga wajah agar tetap sehat dan tidak berjerawat adalah rajin menghapus make up, atau membasuh wajah setelah bepergian dari manapun. Supaya kotoran-kotoran itu tidak mengendap dipori-pori dan akhirnya menimbulkan komedo maupun jerawat. Jujur saja aku memang sering ke salon kecantikan atau hanya untuk sekedar konsultasi pada dokter agar wajah tetap lembab, dan tidak berjerawat. Kebanyakan orang mengatakan bahwa krim dokter itu menimbulkan ketergantungan dan lain sebagainya. Tapi tentu saja itu harus diimbangi dengan perawatan-perawatan herbal seperti aloe vera agar wajah tetap netral, itu sih wajahku karena memang aku selama ini cocok dengan ritual-ritual itu. Dan juga apakah dokter yang mereka datangi sudah memiliki izin untuk membuka klinik, karena satu hal itupun sangat diperlukan. Karena tidak pergi kemanapun, aku memilih berenang walaupun diluar cukup mendung dan sudah sore juga. Dulu, sewaktu aku masih kuliah berat badanku pernah sampai 67 kg, cukup gendut, dan pernah waktu SMA aku sampai 72 kg. Sampai sekarang aku 52 kg tentu bukan sesuatu hal yang mudah, apalagi aku adalah penggila junk food. Bukan untuk agar lebih terlihat cantik atau bagaimana, tapi karena aku lebih mementingkan kesehatan, terlalu gemuk juga tidak baik untuk kesehatan, dan aku sempat sampai malas untuk berjalan waktu itu. Mama tidak mempermasalahkan kalaupun aku gemuk, asal sehat dan untuk kurus tidak mengonsumsi obat pelangsing. Mama menentang dengan keras gagasan itu. Aku juga mengerti kalau itu semua tidak baik. Ketika aku memulai membangun Channel beauty ini aku mulai berolahraga rutin, godaan sungguh banyak tapi tetap harus aku lalui. *** Sehabis berenang, Mama menelfon seperti biasa, menanyakan kabarku juga Amel, tapi karena sekarang Amel sudah bersama sang suami, jadilah Mama harus menelfon dua kali padaku juga adikku, Amel. Regina datang kerumah sehabis pulang kantor main-main katanya, apalagi ini adalah jum’at sore yang artinya besok adalah hari libur. Aku sempat memesan makanan agar dibelikan dulu olehnya. Ketukan pintu membuatku beranjak dari sofa di mana aku sedang menonton tv. “Hai” sapaku pada Regina, matanya memutar pertanda bosan, aku memang hanya basa-basi menyapanya karena tujuanku adalah makanan yang dibawanya. “Nih, kalau ada maunya aja ramah banget lo mbak” gerutunya dan aku tertawa. Aku mengajaknya masuk, lalu menuangkan pesananku pada piringku juga piring untuk Regina karena ternyata dia beli 2 porsi makanan. “Nih makanan lo” ujarku yang meletakkan makannya diatas meja, dia sedang duduk di atas karpet, aku sangat jarang menggunakan meja makanku, lebih suka makan sambil nonton. “Kenapa lo, suntuk banget” ujarku seraya menggigit ayam bakar pesananku. “Bete gue Mbak, Chiko nyebelin gitu akhir-akhir ini” yang aku tau adalah Chiko itu pacarnya sejak 2 tahun yang lalu, aku tak mengerti kenapa diusia mereka yang sudah matang seperti ini malah menunda nunda pernikahan. “Lo sama Chiko kenapa dah, kan udah lama pacaran, kenapa nggak nikah aja, umur lo kan udah cukup” ujarku heran. “Kasian sama Lo mbak, nanti fans lo pada nanyain kapan lo nikah lagi” ujarnya sambil tertawa, tapi aku tau dia hanya melontarkan candaan. “Sialan lo” dengusku lalu mencocol ayam bakarku dengan sambal ekstra pedas. “Nggak deng, dia belum ada kode-kode gitu sih mbak, kalo gue sih udah siap lahir batin yah, apalagi orang tua udah nanya-nanya gitu, tapi ya balik lagi ke cowoknya lah, masa gue yang nglamar dia” katanya panjang lebar dengan makanan yang masih tersisa dimulutnya, uhhh dia agak sedikit jorok. “Lah lo jangan nunggu kode lah, tanyain, kan kalian udah lama juga, pacaran lama-lama juga buat apa coba kalau akhirnya nikah juga kan” kataku realistis. “Lah lo kapan mbak” aku mendengus tanpa menjawab pertanyaanya. Dia hanya belum tau kalau aku sudah dilamar, dan biarlah ini menjadi rahasia dulu, karena aku tengah menikmati hubungan yang entah apa namanya ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD