"Atta?!" teriak Elaina melihat putranya tiba-tiba muncul dengan wajah kusut masai.
Mahendra memalingkan wajahnya dari depan televisi, menoleh ke arah Attaya.
"Hei! Dari mana kamu? Dua minggu menghilang tiba-tiba muncul dengan wajah mengerikan seperti itu?"
"Hush, Papa nih ah, mengerikan gimana, orang dia cuma lesu doang," sergah Elaina sambil bangkit berdiri dari sofa nyamannya, lalu menghampiri putranya.
"Ma, Pa ..., Atta capek mau istirahat." Pemuda itu pamit pada ayah ibunya.
"Kamu sudah makan?" Elaina masih mengejar dengan pertanyaan.
Attaya melambaikan tangannya tanpa menoleh, ia terus melangkah menaiki tangga menuju lantai dua.
"Sudahlah, Ma. Yang penting dia pulang dan kamu harus lega dong, gak marah-marah lagi kan ya, he he he," kekeh Mahendra.
"Tapi kondisinya kaya gitu, Papa lihat sendiri kan? Tuh anak kaya abis kesamber sesuatu," timpal Elaina merasa cemas.
"Biarkan saja, anak udah dewasa, punya masalahnya sendiri. Udah ah, papa mau tidur sekarang. Besok mau geret Atta ke kantor." Mahendra bangkit dan berlalu dari hadapan istrinya tanpa menoleh lagi menuju kamar pribadinya.
Elaina menghela napas panjang. Perasaannya lega melihat Attaya pulang, tapi sesuatu yang meresahkan mengganggu hatinya. Ia ingin menyusul ke kamar Attaya tapi anak itu pasti menolaknya. Akhirnya, ia pasrah, mematikan televisi dan berlalu ke kamarnya sendiri.
Attaya merasakan patah hati yang luar biasa menyakitkan. Malam itu juga ia bertekad untuk melupakan Tiara dan mencoba mengalihkan pikirannya dengan tidur. Tapi ia tidak berhasil membawa dirinya ke alam mimpi. Bayangan kebersamaan bersama Tiara selama dua minggu, terus terbayang-bayang.
Ia merindukan gadis itu, senyumnya, kerling matanya, galaknya, judesnya, omelannya dan hal lain, cara ia bicara kepadanya, caranya menatap, semuanya membuat Attaya tidak ingin lepas dari Tiara.
Alih-alih tidur, Attaya justru hanya berguling-guling di atas kasur dengan gelisah. Kalau saja ia seorang wanita, tentu sudah menangis meraung-raung. Karena ia tidak menangis, beban hatinya terasa semakin berat.
Menjelang subuh, tubuhnya memaksa untuk tidur dan lelaki itu pun jatuh ke dalam pelukan mimpi.
Pagi harinya, Attaya menolak bangun saat Elaina membangunkannya untuk sarapan. "Ma, Atta baru tidur subuh. Please, masih ngantuk berat ini," rengek Attaya.
"Tidak bisa, kamu sudah tidak ngantor dua minggu. Ayo bangun!" seru Elaina mulai kesal.
"Atta pergi hotel aja deh, dan gak akan pulang-pulang sekalian kalau dipaksa kaya gini." Attaya menggerutu dalam kekesalannya.
Elaina terkejut mendengar perkataan putranya. Ia ingin membantah, menghardik atau apapun kepada Attaya, tapi semua kalimatnya menggantung di dalam tenggorokannya. Ia mundur beberapa langkah menjauhi ranjang sambil berpikir. Lebih baik dia mengalah dari pada kehilangan putranya lagi tanpa kabar berita.
Wanita itu menutup pintu kamar dengan pelan-pelan. Kemudian berdiri termangu di depan pintu. Perasaannya mengatakan bahwa Attaya terlibat dalam masalah serius hingga membuatnya terlihat menderita. Ia bertekad untuk mencari tahu meskipun tidak paham harus mulai mencari tahu dari mana.
Attaya melanjutkan tidurnya dan baru bangun pukul tiga sore. Tapi ia malas untuk bergerak. Bayangan Tiara terus menari-nari di benaknya. Merasakan kesakitan yang asing, antara rindu dan patah hati. Ia mengambil keputusan. Jika rasa sakitnya lebih dominan dari rasa rindunya, maka ia akan segera melupakan gadis itu, tapi jika kerinduannya yang tinggi, maka ia akan kembali mengejar Tiara.
Perasaannya lega setelah mengambil keputusan. Ia pun bangkit dan meraih telepon genggam yang menggeletak di nakas. Beberapa panggilan tidak terangkat dari Rama dan juga pesan. Ia tercenung setelah membaca pesan dari Rama yang memberitahukan bahwa Elaina meneleponnya untuk mencari tahu di mana dirinya selama dua minggu terakhir dan Rama mengatakan kalau ia tidak tahu.
Attaya berdiri dengan kesal. Dari dulu, ia telah mengatakan berulang kali kepada ibunya kalau tidak harus melibatkan teman-temannya untuk mencari tahu tentang dirinya. Ia tidak suka seakan-akan telah kehilangan privasi.
Setelah menyegarkn diri di kamar mandi, lelaki muda itu keluar dari kamarnya. Dia berencana membuka laporan tentang pekerjaan di ruang kantor pribadi yang terletak di samping kamarnya. Namun, betapa terkejutnya dia mendapati Denada sedang rebahan di sofa panjang pada ruangan itu.
"Kamu?! Ngapain kamu di sini? Siapa yang menginjinkan kamu masuk ke ruang pribadiku?!" hardik Attaya dengan gusar.
Denada bangkit, ia menempatkan dirinya dengan duduk anggun dan menatap Attaya. "Aku mencarimu di singapura. Aku tahu, kamu ke sana karena tahu jadwalku dan ingin membuat surprise kan? Tapi kenapa kamu tidak jadi naik pesawat? Gak usah merasa malu gitu dong, Atta. Egomu terlalu tinggi. Gara-gara ketahuan, terus kamu membatalkan naik pesawat dan naik pesawat yang berikutnya kan? Tapi, aku tidak melihatmu di mana-mana." berondong Denada dengan tatapan polos.
Lelaki yang masih berdiri sambil memegang pegangan pintu itu tertegun dengan tatapan heran. Ia sama sekali tidak mengerti, dari mana pikiran seperti itu muncul pada otak Denada. Seluruh kalimatnya adalah kesalahan total. Wajah Attaya memerah menahan marah. "Keluar! Keluar!" seru Attaya dengan nada tinggi.
Denada bangkit berdiri dan mulai melangkahkan kakinya menuju pintu. Attaya telah memberinya jalan agar gadis itu segera keluar. "Ya udah, aku tunggu di bawah ya," ujar Denada menahan senyumnya. Ia tidak ingin menambah rasa malu pada lelaki itu.
Attaya membanting pintu dan menguncinya dari dalam. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan wanita yang sangat berambisi memilikinya itu. Merasa keadaan hatinya semakin buruk, Atta membanting tubuhnya pada sofa dengan mata berkaca-kaca.
"Dena?! Ada apa kok ribut-ribut?!" seru Elaina dari bawah. Ia mendengar teriakan putranya dan bantingan pintu.
Denada menuruni tangga dengan senyum menghiasi wajahnya. "Sini, Tante," ajaknya sambil meraih tangan Elaina, membawanya duduk di atas sofa.
"Gini loh tante ... dua minggu lalu tuh, kami ketemu di bandara. Ternyata Atta ada di Bandung! Dia pasti sedang mengikuti jadwalku Tante. Soalnya kami bertemu saat boarding di pesawat yang sama. Tapi, keburu aku melihatnya dan dia gak jadi masuk ke dalam pesawat. Biasa sih, Tante. Gengsi kan kepergok lagi ngikutin aku," tutur Denada menjelaskan.
"Oh, begitu? Jadi maksudmu, dia naik pesawat lain gitu?" tanya Elaina penasaran.
"Iya pastinya dong, Tante. Soalnya, tadi tuh waktu aku tanya langsung, wajahnya memerah malu-malu gitu. Ih, kok gengsinya tinggi amat ya? Padahal tinggal ngaku aja sih kan gampang ya Tante," sahut Denada dengan sorot mata yang berbinar-binar.
"Eeh, iya juga sih ...," timpal Elaina dengan perasaan super ragu. Ia tidak yakin kalau putranya sengaja mengikuti gadis itu. Ia merasa justru putranya menghindari bertemu dengan Denada.
"Lalu, selama dua minggu tidak pulang, Atta berada di mana ya?" lirih Elaina, lebih kepada dirinya sendiri.
Denada terkejut mendengar perkataan Elaina. "Apa, Tante?! Atta pulang kapan emangnya? Soalnya aku baru sampai sini kemarin sore, Tante. Kami ada tour pemotretan Singapura-Malaysia. Jadi pulang dari Malaysia. Berarti benar dong, Atta selama itu ngikutin aku!" pekik Denada dengan roman wajah bahagia.
Elaina dan Denada saling tatap. Keduanya disibukkan dengan pikiran masing-masing. Denada merasa sangat bahagia. 'Ternyata Atta mengawasiku, untung saja aku tidak jadi pergi ke club malam,' batin Denada.
Sementara, Elaina menatap Denada dengan wajah geli bercampur heran. 'Tidak mungkin Atta mengikutimu sampai tidak masuk kerja dan tidak bisa dihubungi. Semua hanya kebetulan saja,' pikir Elaina dalam hatinya.
Lelaki yang dibahas oleh kedua wanita itu, pikirannya sedang tenggelam mengenang masa-masa indah selama dua minggu bersama Tiara. "Ara, aku gak tahu kenapa perasaanku merana seperti ini? Sakit rasanya kehilanganmu," gumam Attaya dengan pilu.
◇◇◇◇