Bukan Tiara

1044 Words
Wanita berpostur tinggi semampai, mengenakan pakaian yang sangat modis dan memiliki kecantikan khas, terawat sangat baik, membelalakkan matanya ketika melihat lelaki yang dicintainya tengah antri untuk memasuki pintu menuju pesawat. Wanita yang tak lain adalah Denada, juga akan terbang ke Singapura bersama kru. Attaya tergugu di tempat. Nyaris tidak mampu mengatakan apapun. Rasa terkejutnya begitu mendominasi dan merasa kesal karena dipanggil 'honey' di depan umum. "Dari mana kamu tahu kalau aku akan ke Singapura pagi ini? Harusnya kamu hubungi aku dong, Atta! By the way ... makasih ya atas surprisenya." Denada meraih lengan Attaya dan mendekapnya. Gadis itu merasa yakin kalau Attaya telah mengikuti dirinya selama ia sedang bekerja di kota Bandung. Kenyataannya, justru Attaya tidak tahu menahu tentang kegiatan Denada. Merasa risih karena di gandeng dan pusing mendengar ocehan Denada yang sangat percaya diri, Attaya melepaskan diri dari cengkraman gadis itu. "Bentar, aku kelupaan sesuatu, sekretarisku juga belum nongol." Attaya melesat pergi keluar dari antrian dan tergesa-gesa keluar dari ruang tunggu. "Eh, Atta! Mau kemana, Kamu? Ngapain nyariin sekretaris kamu, Atta?!" seru Denada yang memancing perhatian orang-orang disekitarnya. Attaya tidak menggubris teriakan Denada, ia terus mengayunkan langkahnya cepat-cepat, keluar dari ruang tunggu melalui area yang ada tulisan 'Exit'. Demi memastikan kalau dirinya tidak diikuti oleh Denada, lelaki itu masuk ke area ruang tunggu sebelah tanpa terlihat oleh Denada dan kru yang kini sudah maju mendekati pintu pemeriksaan tiket keberangkatan. Ia melihat Denada celingukan dengan wajah was-was. Tapi tidak bisa keluar dari sana karena pasti sudah terikat jadwal. Perasaan Attaya lega ketika melihat rombongan Denada telah melewati pemeriksaan tiket dan memasuki antrian menuju pesawat. "Hh ... kenapa juga harus ketemu dia sih," gumam Attaya dengan gusar. Kedua matanya terus memperhatikan rombongan Denada yang berjumlah tujuh orang tersebut. Ia harus memastikan bahwa gadis itu benar-benar telah masuk pesawat, baru perasaannya bisa lega. Sepuluh menit berlalu, dan panggilan terhadap dirinya berkumandang dari maskapai penerbangan. Ia diharuskan segera menaiki pesawat karena sebentar lagi, pesawat harus lepas landas. Telepon genggamnya berdering. Ia merogoh saku celananya mengambil gawai yang juga bergetar-getar tersebut. Kemudian melihat pada layar telepon genggam itu tertera sebuah nama 'Dena'. Attaya mendengus. Ia segera menekan tombol off dan telepon genggam tersebut mati. Sambil menghela napas panjang, lelaki itu mulai bergerak, tapi kini langkahnya terus menuju keluar dari area bandara, menghampiri mobilnya yang telah ia parkir ditempat inap mobil dengan perasaan kesal luar biasa. Ia merutuki kenyataan, kenapa harus bertemu Denada di saat yang tidak tepat? Ia menghempaskan dirinya ke dalam mobil dan mulai menyalakan mesinnya. Kemudian dengan pelan-pelan, mobil itu melaju keluar dari area parkir bandara. Tanpa di sadarinya, setelah melewati beberapa ruas jalan yang berbeda, Attaya mengarahkan mobilnya ke arah tol dan kini telag bergabung di jalan tol mengambil ruas jalur yang bertuliskan Jakarta. Lelaki otu menghela napas dalam-dalam sambil menyeringai. Betapa lucu hidupnya, niat hati membutuhkan waktu bersendiri malah bertemu Denada yang sama sekalo tidak pernah terlintas dalam benaknya, sementara wanita yang diharapkan pertemuannya justru menghilang dan sulit ditemukan. Lelaki itu mengemudi dengan sangat kencang. Ia menyalip kiri dan kanan seolah-olah sedang menghibur dirinya sendiri. Hanya dalam waktu dua jam saja, ia telah sampai di pintu tol ring road yang nantinya akan tersambung ke arah Bogor. Bahkan, mengarahkan mobilnya menuju Bogor pun, terjadi begitu saja saat ia sedang melamun dalam-dalam. Pantang menyerah mungkin merupakan motto hidup seorang Attaya. Terbukti, ia tanpa sadar justru hendak memasuko kota tempat kelahiran Tiara. Satu jam berlalu, Attaya telah bergabung dengan kemacetan panjang di kota Bogor. Ia sedang berusaha membawa mobilnya ke arah kiri dan rencananya ingin memasuki sebuah hotel dan beristirahat kembali sambil menunggu kabar tentang Tiara. "Kita berjodoh, Tiara. Tunggulah aku," desis lirih Attaya saat hendak keluar dari mobil setelah mendapatkan parkir pada halaman hotel. Dia melakukan reservasi walk in, dan beruntung masih tersisa kamar untuknya. Tanpa menyia-nyiakan waktu, Attaya segera memasuki kamar yang telah disewanya dan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, lalu menyalakan kembali telepon genggamnya. Notifikasi beruntun datang saat gawai yang dipegangnya sudah pada posisi on. Beberapa panggilan tidak terjawab adalah dari Denada, kemudian ayah dan ibunya bergantian. Attaya menyeringai sinis. Sudah pasti Denada telah menceritakan pertemuannya dan sekaligus hilangnya Attaya dari daftar penumpang yang hendak pergi ke Singapura. Dengan santai ia meletakkan telepon genggam tersebut di sampingnya kemudian memejamkan kedua matanya. Ia berharap kali ini, Tiara bisa ditemukan dan ia akan merancang sebuah skenario agar pertemuannya dengan Tiara tampak tidak disengaja. ◇◇◇ Seorang gadis cantik dengan penampilan sederhana, kontras dengan telepon genggam ditangannya yang sangat mahal, tergesa-gesa mengisi absensi kehadiran. Ia segera memasuki bilik loker dan melepaskan sweaternya. Semua gerakannya begitu cepat dan tertata. Setelah merapikan riasan, gadis itu segera menuju ke ruang dalam, tugasnya sebagai teller, harus dimulai pagi itu, meskipun, tidak banyak nasabah yang memasuki bank tersebut hingga hari-harinya nyaris tidak ada pekerjaan yang membuatnya merasa jenuh. Tapi, ia membutuhkan pekerjaan dengan gaji tetap. Betah tidak betah harus bertahan. Tepat saat pintu lobby bank di buka sebagai tanda bahwa mereka memulai kegiatan perbankan pagi hari, Tiara merasakan suatu desakan dan butuh ke kamar kecil untuk membuangnya. Dia pun beranjak dari tempat duduk dan serta merta seorang teman yang sedang berkepentingan dengan gadis yang duduk di sebelah Tiara, menghempaskan bokongnya pada kursi Tiara yang baru saja kosong. Satu menit kemudian, utusan Attaya yang telah berhasil mendapatkan info dari satpam bamk tersebut, melihat ke arah nomor teller yang tertera di atas kaca pembatas. Ya, ia menemukan di nomor berapa Tiara bertugas, tapi ... gadis yang sedang duduk di sana bukan Tiara. Berulang kali utusan tersebut mengucek matanya sendiri dan gadis yang sedang duduk di kursi yang dimaksud, bukanlah Tiara. Seketika utusan itu merasa lemas. Padahal, satpam tadi jelas-jelas mengkonfirmasi bahwa memang benar, wanita di dalam poto yang diperlihatkannya kepada satpam adalah benar-benar Tiara. Namun, kenyataan bicara lain, dan keduanya merasa depresi atas kegagalan mereka Kedua lelaki yang diberi tugas khusus oleh Attaya, merasa lemas. Mereka memutuskan keluar dari lobby bank dan menuju warung kopi di seberang gedung di mana Tiara bekerja. "Jam berapa mau bikin laporan kepada Bos?" tanya salah seorang dari mereka. "Tunggu dulu. Siapa tahu Tiara memang belum menempati biliknya. Kita akan tunggu di sini. Entah kenapa, perasaanku mengatakan bahwa Tiara berada di sini," sahut temannya. "Tapi, aku merasa ngantuk dan butuh istirahat. Bagaimana ini?" "Tidurlah sebentar di sini. Bangun akan terasa lebih segar." sahut temannya. ◇◇◇◇
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD