"Ada apa?" Tiara menatap heran kepada ibunya.
"Cepat masuk kamar. Pakai baju dulu," timpal wanita setengah baya iu sambil mendorong punggung putrinya.
Kemudian ia melenggang ke dapur dan membuat teh panas manis untuk menyuguhi tamunya. Wajah wanita itu terlihat sumringah.
Sementara itu, Attaya duduk di ruang tamu yang sempit dengan hati berdebar-debar. Ia sangat khawatir mendapat penolakan dan pengusiran dari gadis yang sangat berani membangkang dan tidak peduli padanya.
Alih-alih menenangkan dirinya, Lelaki itu berdiri dan mulai melihat-lihat beberapa poto usang dalam bingkai murah, bahkan ia menemukan poto-poto Tiara di masa kecil. Ia mendengus dan terkekeh kecil. Wanita yang telah memporak porandakan hatinya itu, ternyata sangat culun saat ia masih kecil.
"Silakan diminum tehnya, Pak Atta ...." Suara Ruby tercekat melihat pemuda tinggi yang necis itu tengah terkekeh sambil memandangi poto Tiara saat berumur satu tahun.
"Yang ini ... dia baru saja merayakan ulang tahunnya yang pertama. Saat itu ia protes karena tidak memiliki kue besar seperti temannya yang berulang tahun satu hari sebelumnya." Ruby tersenyum mengenang masa lalunya bersama Tiara.
Attaya menoleh pada wanita yang berdiri di sebelahnya. Ia menatap wanita itu dari samping. Wanita setengah baya yang sangat cantik. Ternyata memang Tiara mewarisi kecantikan ibunya dan juga, mungkin ayahnya. Tapi, ia tidak menemukan satu pun poto lelaki di sana.
Attaya tersenyum tanpa mengucapkan apapun. Ia kembali memandangi poto-poto yang memang menarik perhatiannya itu. Terutama masa tumbuh kembang Tiara dari mulai usia satu tahun sampai dewasa, ada di sana. Tanpa disadarinya, Attaya tersenyum simpul menyaksikan transformasi tersebut. Bagaimana Tiara tumbuh dari anak kecil yang culun menhadi gadis dewasa yang begitu sempurna.
"Silakan duduk, Pak. Di minum tehnya. Mohon maaf tidak ada suguhan lain." Ruby mengangguk kecil sambil menoleh ke arah tamunya yang tampan itu.
"Kamu?!" Tiba-tiba, Tiara berada di sana dengan reaksi terkejut dan seketika pucat pasi melihat Attaya beserta ibunya sedamg berdiri melihat-lihat poto dirinya.
Attaya dan Ruby, serentak menoleh ke asal suara. Gadis itu telah mengenakan baju tidur dan tampak polos tanpa riasan sama sekali denga rambut masih basah dan terurai. Tampak dangat seksi dan menggoda di mata Attaya.
"Ehem ..., Tiara ...," sapa Attaya dengan gugup dan salah tingkah. "Tolong jangan menghilang lagi, Ara. Aku mencarimu kemana-mana dan hampir putus asa," ujar Attaya tanpa merasa canggung karena berbicara seperti itu di depan Ruby.
Wanita itu tertegun, ia mulai meraba-raba bahwa telah terjadi sesuatu antara putrinya dengan lelaki yang mengaku sebagai atasannya tersebut. "Eh ... silakan kalian ngobrol, sa--saya ... ke belakang dulu," ujar Ruby seraya bergerak cepat meninggalkan keduanya di tuang tamu yang sempit itu.
Attaya mebelan salivanya berulang kali sambil menatap Tiara tanpa berkedip. Gadis itu masih terbengong-bengong karena terkejut dan tidak habis pikir, bagaimana caranya lelaki itu tahu alamat rumahnya dan telah berdiri di sana.
"Da--dari mana kamu tahu rumah ibuku?" tanya Tiara tercekat. Ia tidak menyangka harus bertemu lagi dengan lelaki yang telah mengirimnya pergi bersama supir dan kepala rumah tangga villa lelaki itu.
"Entahlah, Ara. Aku tidak tahu caranya menemukan rumah ini, yang jelas, aku terus mencarimu. Tiara ... tolong jangan terus berlari untuk menghindariku. Bukan aku tidak sanggup berlari untuk mengejarmu, tapi aku hampir kepayahan karena penderitaanku sendiri. Tolong ...," rengek Attaya sambil mendekati gadis yang masih terpaku di tempatnya berdiri.
"Hm, jujur aku tidak peduli dan tidak ingin mengerti kenapa kamu menderita. Kamu punya segalanya, Bos. Untuk apa mencariku? Bagaimana kalau aku tidak mau dicari? Kenapa kamu hanya memikirkan dirinu sendiri? Bagaimana jika aku tidak menyukaimu?" Tiara nyerocos mengeluarkan kalimat-kalimat yang menusuk perasaan.
"Kenapa kamu terus menyakitiku dengan kata-katamu? Apakah aku bersalah jika menyukaimu? Apakah aku telah berbuat jahat padamu?" sergah Attaya tidak memahami mulut tajam gadis itu, seolah-olah dia telah melakukan kesalahan fatal sebelumnya.
Tiara tergugu mendengar ucapan Attaya. Seletika ia merasa rikuh dan malu. Memang benar, lelaki dihadapannya itu tidak berbuat jahat padanya secuilpun. Tapi ia tidak menyangka jika penolakannya sangat kejam dan menyakiti perasaan orang lain.
Gadis itu menundukkan wajahnya dalam-dalam. "Maaf, bukan maksud hati ingin menyakiti siapa pun, tapi ... bisakah kamu berhenti mencariku?" Tiara tidak berani mengangkat wajahnya.
"Ya setelah tahu keberadaanmu, aku tidak perlu mencarimu lagi, yang akan aku lakukan adalah menemuimu. Aku tidak sanggup menahan kerinduanku, Tiara ...," jawab Attaya dengan sungguh-sungguh.
Tiara terdiam kembali. Bukan begitu maksud hatinya. Tapi, jelas-jelas dia menolak didekati oleh Attaya. Kenapa lelaki itu tidak mengerti?
"Tiara, jika merasa terganggu, mohon maafkan aku. Hanya saja, aku pantang mundur jika menemukan apapun yang sangat kusukai dan sangat kuinginkan. Maafkan aku. Tolong, cobalah beri aku kesempatan mendekatimu, satu bulan saja, Tiara. Bagaimana? Jika dalam satu bulan ternyata kamu masih membenciku, aku akan pergi, Tiara ...."
Gadis itu termenung. Ia masih menunduk sambil mencerna kalimat Attaya. "Satu bulan? Terlalu lama bagiku. Bagaimana kalau dua minggu?" Tiara mengajukan penawaran.
"Baik. Dua minggu. Deal. Aku akan terus menemuimu selama dua minggu dan memperlakukanmu sebagai kekasihku. Kalau diakhir waktu kamu ternyata semakin membenciku, aku mundur dan janji, bahwa aku tidak akan pernah muncul kembali di hadapanmu," janji Attaya dengan serius.
Gadis itu mengangguk sambil bertanya, " Mulai kapan?"
"Mulai besok pagi ya, malam ini tidak termasuk. Mari kita ngobrol hal lain, Ara ...," tukas Attaya seraya tersenyum.
◇◇◇◇