seven : punishment

1559 Words
"Anak-anak mana?" itulah yang pertama kali ditanyakan oleh Hamdan begitu ia masuk ke dalam rumahnya pagi ini dengan menggeret satu koper besar di tangan. Pertanyaan itu diajukan oleh Hamdan kepada Harlan dan Gema yang kebetulan dilihatnya pertama kali begitu ia masuk rumah karena pasangan suami-istri itu sedang berada di ruang keluarga rumah Hamdan. Dua-duanya masih pakai piyama. Hamdan tidak kaget mendapati mereka ada di rumahnya sekarang karena memang Hamdan sengaja menyuruh keduanya menginap setelah membereskan urusan di kantor polisi, selagi menunggu Hamdan pulang. Setelah apa yang terjadi, Hamdan tidak mau lagi meninggalkan Jala dan Lara hanya berdua saja di rumah. Harlan sendiri spontan geleng-geleng kepala melihat kondisi kakaknya yang baru sampai. Rambut berantakan, kemeja berantakan, wajah terlihat lelah, lalu tidak lupa pula garis hitam di bawah mata yang mengindikasikan kalau kakaknya itu kurang tidur. "Nggak tidur ya semaleman?" tanya Harlan yang sama sekali tidak menjawab pertanyaan Hamdan tadi. "What do you think? How am I supposed to sleep after the news that I got last night?" Harlan berdecak dan menggelengkan kepala. Sebagai gantinya, Gema yang menjawab, "Mereka masih tidur, A. Kecapekan karena semalam kita baru sampai rumah jam tiga pagi. Mending sekarang Aa istirahat dan sarapan dulu aja." Hamdan menggelengkan kepala. Ia tidak akan bisa melakukan itu sebelum bertemu dengan anak-anaknya, sebab perasaan Hamdan sekarang masih belum tenang. Hanya saja, ia juga tidak tega jika harus membangunkan mereka yang pasti sedang kelelahan. Jadi, Hamdan pun memilih untuk mendudukkan diri di sofa ruang keluarga seperti Harlan dan Gema. Ia menyandarkan kepala pada sandaran sofa, kemudian menarik napas dalam dan mengeluarkannya. Sepasang mata Hamdan pun memejam sejenak. Jujur saja, Hamdan lelah bukan main sekarang. Tubuhnya serasa akan remuk akibat kurang istirahat. Setelah kemarin bekerja seharian, ia sama sekali belum sempat beristirahat dengan benar. Semalaman ia terjaga karena memikirkan anak-anaknya. Tidak hanya itu, Hamdan juga sibuk meminta back up dari perusahaan untuk menggantikannya di sisa acara yang tidak bisa diikutinya sampai selesai. Pagi-pagi buta Hamdan pergi menuju bandara untuk terbang pulang. Selama di pesawat pun, ia sama sekali tidak bisa beristirahat. Walau Harlan sudah mengabari bahwa situasinya sudah aman dan anak-anaknya telah pulang ke rumah, tetap saja Hamdan merasa tidak tenang. Begitu kembali membuka mata, Hamdan menoleh pada Harlan dan Gema, kemudian bertanya, "Jadi anak-anak semalem gimana, Lan, Gem?" "Ya gitu, mereka yang dirazia dikumpulin di kantor polisi dan harus dijemput sama orangtua atau wali. Dikasih pembinaan, terus disuruh bikin dan tanda tangan surat pernyataan supaya nggak diulangin lagi," jelas Harlan. "Terus, kalian tau nggak pas di club itu mereka ngapain aja?" Kali ini Gema yang menjawab, "Lara udah jelasin, A, katanya mereka nggak ngapa-ngapain disana, pure cuma datengin temannya Jala yang ulang tahun dan kumpul-kumpul aja. Mereka sama sekali nggak minum, atau melakukan hal yang lebih buruk daripada itu." "Glad to hear that." "Jangan glad dulu lah," ujar Harlan. "Soalnya Ibu mau kesini." Mendengarnya membuat Hamdan langsung duduk tegak. "Lo kasih tau Ibu? Kan udah gue bilang jangan bilang-bilang, Lan." "Sorry, A...tadi Ibu telepon dan aku nggak sengaja bilang kalau kita berdua nginep di rumahnya Aa. Terus Ibu nanya ngapain tiba-tiba kita nginep, jadi ya...mau bohong juga nggak bisa..." Gema berujar, menjelaskan kepada Hamdan perkaranya. Hamdan pun memijat pelipisnya karena tiba-tiba didera oleh pusing. Jika ibunya sudah tahu dan dalam perjalanan kesini, maka sudah bisa dipastikan beban pikiran Hamdan akan kian bertambah. Menyadari itu, Harlan pun mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk pundak sang kakak. "Sabar ya...lu pasti bakal tambah disuruh nikah dah." *** Satu jam kemudian, Jala dan Lara bangun, dan secara bersamaan mereka turun ke bawah. Keduanya sama-sama merasa canggung sekaligus takut begitu melihat papi mereka sudah berada di ruang keluarga dan menunggu mereka. Hanya sendirian, sementara om dan tante mereka sudah pulang karena memiliki kesibukan masing-masing. Sedari awal Jala dan Lara menuruni tangga, Hamdan yang bisa melihat mereka dari ruang keluarga pun menatap mereka lekat dengan ekspresi yang tidak terbaca. Jala dan Lara sadar diri kalau mereka harus menghampiri sang papi. Ada beberapa hal yang perlu disampaikan, terutama maaf. Semalam Jala dan Lara sulit untuk tidur nyenyak karena keduanya memikirkan harus bagaimana ketika menghadapi papi mereka pagi ini. Mereka semata tidur semata hanya karena tubuh yang kelelahan setelah melewati malam yang panjang. Itu pun tidurnya tidak nyenyak dan beberapa kali terbangun karena alam bawah sadar mereka tidak tenang. Karena itu, mereka jadi bangun siang. Untungnya hari ini Sabtu, jadi mereka tidak perlu pergi ke sekolah. Setelah sampai di bawah, dua-duanya langsung mengambil posisi duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan sofa tempat papi mereka duduk. Keduanya menundukkan kepala, sama sekali tidak berani menatap papi mereka, terutama Jala yang menyadari bahwa dirinya lah yang paling bersalah disini. Ruang keluarga itu pun jadi hening selama sekian menit. Jala dan Lara terlalu tidak berani untuk bicara, sementara Hamdan masih memilih diam. Hingga akhirnya, keheningan itu dipecahkan oleh suara helaan napas Hamdan. Tanpa perlu melihat, Jala dan Lara tahu kalau mereka masih dipandangi secara lekat oleh sang papi sekarang. Hamdan pun berujar, "Papi kecewa banget sama kalian." Nyesssss, begitulah kira-kira rasanya hati Jala dan Lara setelah mendengar penuturan Hamdan. Kepala mereka kian tertunduk dalam. "Maaf, Papi..." gumam keduanya bersamaan. "Kalian sadar kan kalau yang kalian lakuin itu menyalahi aturan? Nggak cuma aturan yang Papi buat, tapi juga aturan yang legal," ujar Hamdan. Walau semua perkataannya ini bisa dikategorikan sebagai omelan, namun ia masih mengucapkannya dengan nada tenang dan lembut. Selama ini, Hamdan memang tidak pernah benar-benar marah pada Jala dan Lara, bahkan membentak dan meninggikan suaranya pada mereka pun tidak pernah dan tidak mau. "Iya, Papi, kita berdua sadar. Terutama aku, udah sadar banget kalau salah," balas Jala. "Aku minta maaf banget, Pi...ini semua karena aku. Awalnya aku yang mau ke pesta itu, Lara udah ngelarang, tapi akunya tetap ngotot dan berujung Lara malah ikut karena mau jagain aku. Maaf ya...Pi..." Hamdan menghela napas. "Jala, sebagai kakak harusnya kamu tau mana yang benar dan mana yang salah untuk dilakuin. Walau yang ulang tahun ini teman akrab, tetap nggak seharusnya kalian yang masih anak-anak di bawah umur pergi ke kelab malam begitu. Malah harusnya kamu ingetin teman-teman kamu kalau kalian nggak boleh pergi kesana, bukannya malah nurutin mereka cuma karena atas dasar setia kawan." "Iya, Pi..." hanya itu yang bisa diberikan Jala sebagai jawaban. Kemudian Hamdan beralih pada Lara yang masih setia menundukkan kepala dan belum mengatakan apa-apa. "Papi tau kalau Jala inisiator dari masalah semalam. Tapi bukan berarti Lara nggak bersalah sama sekali. You're still wrong, you know that right, Lara?" Lara mengangguk. "Coba kasih tau Papi salah kamu dimana?" "Aku salah karena ngebiarin Aa pergi dan berujung ngikutin Aa. Harusnya, aku bisa lebih tegas untuk ngingetin Aa dan langsung kasih tau ke Papi, supaya Aa nggak jadi pergi. Karena saudara harusnya saling mengingatkan tentang kebaikan, bukan sebaliknya." "Itu kamu tau." "Maaf, Pi..." Untuk yang ke sekian kalinya pagi ini, Hamdan menghembuskan napas panjang. Dipandanginya Jala dan Lara yang masih menunduk dan tidak berani menatapnya. Mereka berdua terlihat sangat merasa bersalah. Jelas sekali kalau keduanya takut dimarahi. Padahal, Hamdan sama sekali tidak marah sekarang. Ketimbang marah, ia lebih mengkhawatirkan kondisi anak-anaknya hingga semalam rasanya Hamdan hampir gila karena memikirkan berbagai kemungkinan buruk yang bisa saja menimpa mereka. Selain itu, Hamdan juga merasa kecewa. Namun, rasa kecewa itu lebih dominan ditujukannya pada diri sendiri akibat merasa gagal mendidik dan mengawasi anak-anaknya dengan baik. "Jala, Lara, Papi sayang banget sama kalian. Tau kan kalau kalian berdua itu jantung hatinya Papi?" Kali ini Jala dan Lara mendongak untuk menatap Hamdan, keduanya sudah berkaca-kaca. "Iya, Papi, kita tau dan kita juga sayang banget sama Papi!" jawab Jala. Lara mengangguk. "Papi tuh orang yang paling kita sayang dan paling penting. Papi juga jantung hatinya kita!" "Kalau begitu janji ya, jangan buat Papi khawatir lagi kayak semalem? Just please...don't do something stupid like that again..." "Iya, Papi, kita janji!" koor Jala dan Lara. "Give me a hug, then?" Tanpa perlu disuruh dua kali, Jala dan Lara segera beranjak dari duduknya bergerak untuk mendekati Hamdan yang sudah merentangkan kedua tangan. Mereka langsung memeluk Hamdan, satu di sisi kiri, dan satunya lagi di sisi kanan. "Huhuhu, Papi kenapa baik banget baik sih? Harusnya Papi marah-marah aja. Kalau begini, kita malah tambah merasa bersalah," ujar Jala. Hamdan tersenyum, lalu diusap-usapnya punggung Jala dan Lara. "Kalian kan tau kalau Papi nggak akan pernah bisa marah sama kalian." "Kalau gitu hukum kita aja, Pi!" seru Lara. "Terserah Papi mau hukum gimana, kita terima." "Oh, kalau itu sudah pasti. Tanpa diminta juga Papi emang udah siapin hukuman buat kalian." "Hukumannya apa emang, Pi?" "Uang jajan kalian Papi potong 50% selama sebulan ya, terus selama sebulan juga pulang sekolah kalian harus langsung pulang nggak boleh main dulu. Terakhir, Papi bakal bebas tugasin beberapa pekerjaan Bibi dan sebagai gantinya, kalian yang harus kerjain. Oke?" Selama beberapa saat, Jala dan Lara tidak merespon. Lalu, Jala jadi yang pertama melepaskan pelukannya untuk bertanya, "Nggak ada keringanan, Pi?" Hamdan tersenyum dan menggeleng. "Nggak ada, Jala. Hukumannya begitu. Kalau satu hari aja hukumannya ada yang dilanggar atau nggak dikerjain, harinya bakal Papi hitung dari awal lagi." "Pi..." "Nggak apa-apa, kan? Tadi katanya Papi boleh hukum gimana aja." Jala dan Lara sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi kecuali menerima. Hamdan memang tidak pernah marah atau meninggikan suara pada mereka. Tapi bukan berarti Hamdan tidak memiliki caranya sendiri untuk tegas. Dan yah...beginilah cara Hamdan. Untuk urusan marah-marah, Hamdan serahkan kepada ibunya alias oma dari anak-anak, yang menurut perkiraannya, akan sampai sebentar lagi.          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD