nine : pros and cons

2398 Words
"Maksud lo apa sih, Ra, masa ngomong kayak gitu tadi sama Papi?" Lara berdecak karena Jala yang tiba-tiba masuk ke kamarnya setelah mereka sarapan dan langsung menanyakan itu padanya. Terlihat sekali Jala sebal, sebab kakaknya itu berkacak pinggang di tengah kamar Lara yang didominasi oleh warna merah muda. Tidak berbeda dengan Jala, Lara pun menunjukkan kalau ia juga kesal dan ia bersidekap di depan d**a, mendongakkan kepala dan memberikan Jala tatapan menantang. "Emangnya kenapa? Gue cuma ngomong apa yang gue mau kok! Nggak boleh?" "Geez...are you out of your mind?!" "Excuse me? Why are you saying that?!" "Emangnya lo mau Papi selamanya nggak punya pasangan hidup apa?!" Lara tidak lekas menjawab. Selama beberapa saat ia terdiam dan memandang Jala dengan tatapan yang menyiratkan kesal, kemudian hanya bisa berdecak dan mendengus merespon perkataan Jala itu. Mereka baru saja selesai sarapan di teras belakang bersama dengan papi mereka. Selama sarapan, suasananya tidak bisa dibilang menyenangkan, bahkan tergolong canggung karena mereka bertiga jadi tidak banyak bicara. Semua itu disebabkan oleh celetukan Lara sebelum mereka sarapan tadi, setelah ia menguping percakapan antara Jala dan Hamdan tanpa sepengetahuan mereka. Situasinya benar-benar canggung usai Lara bilang begitu. Terutama Hamdan yang bingung bukan main harus merespon bagaimana ultimatum dari putri kesayangannya. Ujung-ujungnya, Hamdan hanya menyuruh Jala dan Lara untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Tapi mana bisa? Jala sudah terlanjur berharap, sementara Lara pun sudah terlanjur tidak senang mendengar informasi yang didapatnya. Tidak, sampai kapanpun Lara tidak akan rela jika papinya menikah. "Gue emang nggak mau punya mami. I don't need mother's existence, karena selama ini kita tumbuh tanpa itu dan fine-fine aja, kan?" Jala tertawa sarkastik. "Fine darimana sih? You know it's not fine at all, Laraaaa." "It is!" Lara berseru. "Buktinya hidup kita nggak ada masalah kok. Masih bisa makan enak, tidur nyenyak, dan bahagia meski cuma ada Papi doang." "Terus Papi gimana? Kita emang punya Papi, tapi Papi punya siapa? Kamu tuh harusnya ngerti lah kalau Papi udah banyak berkorban selama ini. Oma sendiri sampe capek bilangin Papi yang nggak pernah mau nikah. Sekarang Papi udah mempertimbangkan buat nikah, harusnya kamu dukung, bukannya malah bilang gitu dan bikin Papi jadi ragu lagi." Lara melengos. Ia paling malas kalau Jala sudah mengajaknya bicara aku-kamu seperti ini, karena itu tandanya Jala sedang serius. Sesuatu yang sesungguhnya jarang terjadi sebab Jala sendiri merupakan tipikal orang yang selalu bercanda dan paling susah diajak serius di rumah ini. "Lo nggak ngerti, A." Hanya itu yang pada akhirnya mampu dikatakan oleh Lara sebagai balasan. "Kamu juga nggak ngerti, Ra. Aku mau Papi punya pasangan dan nggak terus-terusan sendiri. Dan asal kamu tau, aku juga mau tau gimana rasanya punya mami." Usai mengatakan itu, Jala berjalan keluar dari kamar Lara dan menutup pintu dengan nyaris dibanting. Lara hanya bisa berjengit ketika mendengar suara pintu yang tertutup itu. Padahal ini masih pagi, tapi rasanya Lara sudah pusing bukan main. Ketika baru bangun tadi, ia sudah harus mendengar percakapan Jala dan papinya yang membahas tentang pernikahan dan mami baru untuk mereka. Sekarang, ia malah ribut dengan Jala. Lara menghempaskan diri ke atas tempat tidurnya yang berlapis bed cover merah muda. Ia berdecak keras dan wajahnya tertekuk masam karena memikirkan masalah per-mami-an ini. Lara tidak mengerti kenapa Jala masih menginginkan sosok mami dalam hidupnya, sementara Lara sendiri sudah terlampau kecewa dan sakit hati. Tidak berlebihan kan jika Lara merasa begini? Ia tidak mau punya mami dalam hidupnya, setelah tahu kalau mami kandungnya sendiri sama sekali tidak menginginkan kehadiran mereka sedari awal mereka lahir ke dunia. Karena itu, Lara tidak butuh dan tidak mau sosok mami dalam hidupnya. Lara cuma mau ada papi sebagai orangtua satu-satunya. *** Keesokan harinya, Hamdan bisa merasakan ada hawa tidak enak di antara kedua anaknya. Walau tidak menyaksikan mereka bertengkar secara langsung, namun mudah bagi Hamdan untuk mengetahui kalau mereka sebenarnya memang sedang bertengkar. Atau mungkin lebih tepatnya dikatakan peran dingin. Hamdan sudah menyadarinya sejak kemarin. Biasanya, di hari libur mereka berkumpul di ruang keluarga, entah itu untuk menonton serial Netflix bersama, main monopoli, atau sekedar mengobrol dan tidur-tiduran di atas sofa. Tapi kemarin, keduanya lebih memilih mengurung diri di kamar setelah sarapan hingga malam hari. Keduanya hanya keluar ketika jam makan siang dan makan malam. Jala bilang, dia lagi sibuk main game karena mau turnamen dengan teman-temannya, sedangkan Lara berkilah kalau ia sibuk belajar karena keesokan harinya akan ada kuis Matematika. Hamdan bisa saja percaya dengan alasan itu. Namun, melihat keduanya sama sekali tidak bertegur sapa ketika mereka makan bersama, bahkan hal itu berlanjut hingga sekarang.  Dari mereka sarapan hingga sekarang ketiganya berada di dalam mobil menuju sekolah Lara dan Jala, suasana mobil nyaris hening. Hanya ada suara berita lewat radio yang menemani, ditambah lagi suara Hamdan yang sesekali mengajak anak-anaknya mengobrol. Namun, mereka berdua hanya menjawab pendek-pendek dan tidak mau berinteraksi satu sama lain. Sebelumnya Hamdan hanya mengamati saja, tapi kali ini ia sudah tidak tahan menghadapi kecanggungan di antara anak-anaknya. Satu prinsip yang selalu diterapkan Hamdan, jika Jala dan Lara bertengkar dalam kurun waktu lebih dari dua puluh empat jam dan tidak bisa berbaikan sendiri, maka Hamdan akan turun tangan untuk membuat mereka berbaikan. Berhubung seingat Hamdan keduanya sudah bersitegang sejak kemarin pagi, tentu saja Hamdan tidak bisa membiarkannya lagi. Maka ketika mobil berhenti di lampu merah, secara bergantian Hamdan memandang Lara yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya dan Jala yang ada di kursi belakang. "Kalian berantem ya?" tanpa basa-basi, Hamdan langsung menanyakan itu. "Kayaknya dari kemarin Papi liat-liat kalian berdua nggak teguran." "Enggak, Pi." Jala dan Lara menjawab secara bersamaan. Sebelah alis Hamdan terangkat. "Kalian tuh anaknya Papi, jelas Papi udah hapal sama kelakuan kalian. Nggak usah bohong juga Papi tau kalau kalian berdua pasti habis ribut. Kenapa coba?" Jala dan Lara bungkam, enggan menjelaskan apa-apa pada Hamdan. Keduanya pun secara kompak memilih memandang ke luar jendela, pada jalanan yang padat di lampu merah ini. "Ingat nggak apa peraturan Papi? Kalian nggak boleh berantem lebih dari dua puluh empat jam. Nggak baik lama-lama sedieman begitu." "Tapi kan emang kita nggak berantem, Pi," ujar Lara berkilah. "Oh ya? Terus apa namanya?" "Lagi males aja ngomong sama Lara." Kali ini Jala yang berujar. "Males ngomong juga bukan berarti berantem ya kan, Pi?" "Mana ada begitu, Jala. Kalau kalian udah saling males ngomong begini, berarti masalahnya serius, bukan sekedar berantem adu mulut kayak kalian biasanya. Jadi, ayolah bilang sama Papi, apa masalah kalian berantem kali ini?" "Pi, udah dibilangin kita ng-" "Lara bilang dia nggak mau punya mami karena ngerasa nggak butuh dan aku nggak setuju. Soalnya aku mau punya mami dan aku juga mau Papi punya pasangan, nggak sendiri lagi." Lara langsung menoleh ke belakang dan memelototi Jala yang bisa-bisanya membeberkan masalah di antara mereka berdua kepada sang papi. Padahal, Lara masih berusaha untuk berkilah kalau mereka tidak bertengkar. Jala hanya memiringkan kepala dan tersenyum menyebalkan untuk membalas pelototan tidak terima dari kembarannya. "Please, Papi, kasih tau Lara kalau pikiran dia yang begitu tuh egois dan nggak bagus." Jala menambahkan. "Apaan sih," dengus Lara kesal. Ia sudah kembali menghadap depan bersidekap di depan d**a. "Emang salah kalau mikir begitu? Toh selama ini hidup nggak punya mami juga bahagia. Terus pikir aja deh, kalaupun ada yang mau nikah sama Papi itu karena dia maunya sama Papi doang! Mau tampangnya Papi, statusnya Papi, duitnya Papi! Nggak akan mungkin ada yang benar-benar tulus mau jadi maminya kita dan sayang sama kita! Jadi mending lo nggak usah banyak ngarep deh, A." Jala sudah siap untuk membalas omongan Lara itu, namun perkataannya diputus oleh klakson yang bersahut-sahutan dari beberapa mobil di belakang mobil mereka. Hamdan yang sedaritadi terdiam karena mendengar perdebatan antara kedua anaknya pun tersadar kalau lampu sudah hijau dan mobil di belakang mendesak mereka untuk segera jalan. Dengan sigap Hamdan kembali mengendarai mobilnya, meski kini pikirannya sudah sukses dibuat bercabang akibat Jala dan Lara. Perdebatan itu pun masih berlanjut, walau Hamdan sendiri belum mengatakan apa-apa. Jala membalas, "Mikir dong, Papi juga nggak akan sembarangan milih istri! Pasti Papi pilih istri yang baik, yang nggak cuma bisa sayang sama Papi, tapi bisa sayang sama kita juga!" "Halah! Lo nggak bisa benar-benar tau isi hati orang gimana. Bisa aja siapapun itu cuma pura-pura baik sebelum nikah sama Papi, eh giliran udah nikah bisa aja malah jadi jahat dan mau nyingkirin kita!" "Otak lo tuh kebanyakan nonton Drama Korea!" "Lah, daripada otak lo nggak pernah mikir panjang! Cetek!' "LARAINA!" "APA JALANDRA?!" Perdebatan itu pasti akan terus berlanjut andai saja Hamdan tidak menghentikan mobil secara tiba-tiba ke tepi jalan. Apa yang dilakukan oleh Hamdan itu sukses membuat Jala dan Lara langsung bungkam dan tidak berani lagi mengatakan apa-apa. Hamdan menghembuskan napas lelah, namun masih bisa memandang anak-anaknya dengan tenang tanpa merasa emosi sama sekali. "Udah belum berantemnya? Kalau belum selesai, kalian boleh lanjut lagi dan mobil kita berenti disini dulu. Nanti kalau udah selesai, baru Papi jalan antar kalian lagi." Jala dan Lara sama-sama melengos, tidak berani menatap papi mereka, pun tidak pula berani untuk berdebat lagi. "Gimana? Masih mau berantem nggak?" Kali ini, keduanya menggelengkan kepala secara bersamaan. "Bener ya? Kalau nanti pas jalan lagi kalian masih lanjut berantem, mending kalian ke sekolah naik angkot aja." "Enggak, Pi," jawab Lara cepat. "Kita nggak akan berantem lagi. Aku nggak mau naik angkot." "Aku juga nggak mau," sahut Jala di belakang. "Bagus kalau begitu." Hamdan mengangguk puas, lalu beralih pada Lara. "Sekarang kamu pindah ke belakang ya, Lara." "Loh, kenapa gitu, Pi?" "Iya, Papi mau kamu sama Jala pelukan sampai kita tiba di sekolah. Itu hukuman buat kalian karena udah berantem di sepanjang jalan." "Piiiiii, masa begitu sih?! Ogah banget!" tolak Lara "Siapa juga yang mau pelukan sama lo!" Jala tentu saja ikut menolak. Hamdan tidak mengatakan apa-apa, namun anak-anaknya tahu kalau lewat tatapan mata yang diberikan Hamdan sekarang, itu berarti keputusan papi mereka tidak bisa diganggu gugat dan mau tidak mau mereka harus menerimanya. Dengan sangat terpaksa, Lara pun keluar dari mobil untuk berpindah ke kursi belakang. Hamdan hanya mengawasi hingga Lara telah duduk tepat di sebelah Jala dan keduanya pun saling merangkul. "Stay like that sampai kita sampai di sekolah, oke?" Jala dan Lara hanya mampu mengangguk. "Inget ya, jangan lagi berantemin sesuatu yang belum pasti terjadi kayak tadi. Papi nggak suka liat kalian berantem gitu." Sekali lagi Jala dan Lara hanya mampu menganggukkan kepala dan bergumam, "Iya, Pi." *** Sejujurnya, Hamdan kepikiran dengan pertengkaran yang terjadi antara anak-anaknya tadi pagi. Mau berusaha untuk tidak memikirkannya pun Hamdan tidak bisa karena mereka berdebat dengan jelas di hadapan Hamdan. Karena memikirkan itu, Hamdan sempat tidak begitu fokus pada pekerjaannya, bahkan beberapa kali ia kedapatan melamun oleh Rafael saat sedang meeting beberapa saat yang lalu. Pikiran Hamdan benar-benar dibuat bercabang oleh pendapat pro dan kontra kedua anaknya mengenai rencana pertimbangan Hamdan untuk segera mencari istri. Tidak Hamdan sangka, ketika pada akhirnya ia mulai mempertimbangkan keputusan untuk mencari pasangan, ia justru dihadapkan dengan keinginan anak-anaknya yang ternyata berbeda dengan alasan masing-masing. Jala yang ternyata menginginkan sosok ibu dalam hidupnya selama ini, sementara Lara justru menolak. Namun, ada satu hal yang dengan sendirinya bisa Hamdan simpulkan dari reaksi pro dan kontra anak-anaknya. Mereka berdua sama-sama terluka karena selama ini tidak memiliki ibu, namun cara mereka menghadapinya menimbulkan persepsi yang berbeda. Sekarang jam makan siang. Seharusnya Hamdan keluar untuk makan atau memesan makanan untuknya siang ini. Namun, di saat semua karyawannya pergi keluar untuk makan dan istirahat, Hamdan justru memilih mendekam di ruang kerjanya sendirian. Ia sama sekali tidak nafsu makan. Untuk beberapa alasan, perasaan Hamdan sekarang jadi melankolis. Hamdan membuka dompetnya. Ketika benda itu terbuka, yang akan terlihat pertama kali adalah foto Hamdan bersama Jala dan Lara yang masih balita di selipan yang ada khusus untuk foto di dompet itu. Semua orang yang mengenal pasti tahu jika sejak dulu, Hamdan memang selalu menyelipkan foto anak-anaknya di dalam dompet. Namun, yang tidak mereka ketahui adalah rahasia bahwa ada satu foto lagi di balik foto tersebut, yang tersembunyi, namun selalu ada di dalam dompet Hamdan, dan hanya ia sendiri yang tahu. Hamdan mengambil foto yang ada di belakang fotonya dan anak-anak di dompet itu. Begitu sebuah foto berukuran kecil dan sudah lusuh karena dimakan usia itu ada di tangannya, napas Hamdan terhela berat. Foto itu merupakan foto hasil photobox yang saat itu sedang ngetren. Ada sosok Hamdan yang jauh lebih muda di foto tersebut, tersenyum dan berpose manis bersama seorang perempuan yang dirangkulnya. Perempuan itu cantik dan senyumnya manis. Bahkan semua itu masih terlihat jelas meski foto tersebut sudah tidak bisa dibilang bagus lagi. Ibu jari Hamdan mengusap wajah perempuan di foto itu yang garis-garis wajahnya mirip dengan Lara. Jelas saja, perempuan itu adalah ibu kandungnya si kembar. Perempuan yang entah bagaimana kabarnya sekarang, apakah masih hidup atau tidak, bahagia atau tidak, Hamdan tidak tahu. Sebab perempuan itu menghilang bagai ditelan bumi dan tidak bisa dicari bahkan dihubungi sejak lima belas tahun yang lalu, tepatnya setelah ia melahirkan Jala dan Lara. Hati Hamdan rasanya selalu sakit setiap kali melihat foto itu. Entah karena ia masih mencinta, atau karena ia sakit hati dan kecewa, Hamdan tidak benar-benar tahu. Yang pasti, Hamdan mengakui kalau hatinya yang masih terluka adalah alasan mengapa ia masih memilih untuk sendiri hingga saat ini. Tatapan Hamdan baru beralih dari foto tersebut ketika ponselnya di atas meja berbunyi. Hamdan terlebih dahulu menyimpan foto itu ke tempatnya semula sebelum mengangkat telepon yang ternyata dari ibunya. "Halo, Bu." "Dan!" Suara sapaan ibunya yang bersemangat langsung memenuhi indera pendengaran Hamdan. "Iya, Bu, kenapa?" "Kamu hari ini pulang kantor jam berapa, Nak?" "Ya, kayak biasanya aja, Bu." "Nggak ada kerjaan lain kan abis jam kantor kamu selesai nanti?" "Nggak ada." "Kalau gitu ketemu sama anak teman Ibu ya, Dan! Yang kemarin Ibu bilang mau kenalin ke kamu itu lohhh." Hamdan jelas kaget akan permintaan ibunya yang tiba-tiba itu. "Astaga, Bu, kok mendadak gini sih? Hamdan nggak siap, Bu. Ini tiba-tiba banget." "Hush, mana ada mendadak, kan Ibu udah bilang mau ngenalin kamu ke anak teman Ibu. Nggak boleh nolak loh ya, karena kemarin kamu udah ngeiyain." "Bu, tapi kan-" "Lebih cepat lebih baik loh, Dan. Ibu sama teman Ibu udah ngatur pertemuan kalian. Nanti Ibu infokan lagi tempat pertemuan dan jamnya. Awas kalau kamu nggak datang ya!" "Ya ampun, Bu! Masa begini sih, aku-" Hamdan tidak melanjutkan kata-katanya karena sadar kalau sang ibu sudah terlebih dahulu memutuskan sambungan telepon mereka. Yang bisa dilakukan Hamdan sekarang hanyalah berdecak dan mengacak rambutnya sendiri. Kalau ibunya sudah mengatur sesuatu seperti ini, maka tidak akan ada jalan bagi Hamdan untuk kabur atau menolak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD