Bagi Ara, pernikahan adalah hal sakral yang tidak bisa dibuat main-main. Bahkan di agama yang dianut Ara, menikah adalah menyempurnakan separuh agama, Ara tidak mau kalau menikah dengan Kakaknya hanya untuk upaya menyaingi mantan. Lagipula Ara tidak suka Arsel, Ara suka Taehyung dan berencana mengejarnya sampai ke negeri seberang, tetapi halu duluan, entah kenyataannya kapan.
Saat ini Ara mengurut keningnya yang sakit, jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas, jam pelajaran kelas dua SD juga sudah berakhir, pun dia yang sudah membubarkan kelas, tetapi Ara tidak ada niatan untuk beranjak dari kursi gurunya. Ara tengah memikirkan cara agar Kakaknya tidak lagi mendesaknya menikah.
“Kalau aku kabur, pasti Mas Arsel bisa menemukanku,” ucap Ara dalam hati.
“Ya Allah … aku harus gimana?” tanya Ara menengadahkan kepalanya ke atas.
“Tahap larva dari nyamuk adalah jentik, makanan jatuh jadi susah, hai bu guru cantik, apa yang membuat bu guru resah?” Seorang bocah gembul berpantun tepat di samping Ara.
Ara terkesiap, gadis itu menatap muridnya yang paling super yang saat ini tersenyum cerah padanya. Dia adalah Alfath, bocah berusia delapan tahun yang saat ini kelas dua SD, murid idola guru karena pintar meski kadang tingkahnya sangat ajaib. Bocah yang gembul dan berisi, anak orang kaya tapi tidak sombong, bahkan orang tuanya baik hati.
“Hai Alfath, kenapa kamu tidak pulang?” tanya Ara.
“Tadi aku mau pulang, tapi melihat Bu guru merenung jadi ke sini deh. Bu guru kenapa?” tanya Alfath.
“Ohhh … manis sekali kamu. Kamu murid yang paling perhatian,” ucap Ara.
Alfath tersenyum menatap gurunya. “Bu Guru jangan sedih-sedih, nanti cantiknya ilang. Kalau ada masalah, cerita sama aku. Aku tidak akan memberi solusi,” ujar Alfath yang membuat Ara tertawa.
“Dasar kau ya. Sana pulang!” titah Ara.
“Gak mau pulang kalau Bu Ara belum pulang,” jawab Alfath.
“Ibu masih ada urusan, kamu pulang dulu!” pinta Ara.
“Enggak, Bu. Aku akan menemani Bu guru. Katanya kalau orang sedang sedih harus ditemani,” jawab Alfath kukuh.
“Alfath, kalau nanti Ibu punya anak, Ibu ingin anaknya kayak kamu,” kata Ara tertawa.
“Kalau begitu menikah saja sama Daddyku, nanti anaknya kayak aku!” pinta Alfath.
“Heh sembarangan kalau ngomong!” pekik Ara segera berdiri. Gadis itu tidak habis pikir dengan kepolosan Alfath.
“Ayo pulang saja. Ibu sudah gak sedih lagi,” ujar Ara segera menarik tangan si gembul untuk pergi.
Alfath mengangguk dan menurut untuk pulang. Sesekali bocah itu akan menatap ke arah gurunya.
Ara bingung harus kemana lagi asal tidak pulang, gadis itu tidak siap untuk bertemu Arsel. Namun kalau dia terus di sekolahan, Alfath juga kukuh tidak mau pulang. Lagi pula sebentar lagi sekolahan juga tutup.
“Kan, Bu Ara melamun lagi,” keluh Alfath. Ara gelagapan mendengar ucapan muridnya.
“Enggak, Alfath. Ibu hanya berpikir sedikit,” jawab Ara.
“Alfath, itu orang tua kamu. Sana sama Daddy kamu!” titah Ara menunjuk laki-laki muda yang menaiki motor.
“Tapi aku gak mau meninggalkan Bu Guru dalam keadaan sedih,” kata Alfath dramatis.
“Itu Daddymu bawa makanan. Sana!” titah Ara membuat Alfath berbinar. Kalau soal makanan, Alfath tidak akan berpikir ulang.
“Bay bay Bu Guru cantik. Besok kita ketemu lagi!” pekik Alfath segera berlari menghampiri Daddynya.
Ara tertawa kecil melihat Alfath yang lucu. Cita-citanya kalau punya anak memang seperti Alfath, tetapi tidak dengan genitnya.
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan Ara. Buru-buru Ara membalikkan badannya dan kembali masuk ke sekolahan. Arsel membuka kaca mobilnya dan melihat Ara yang masuk sekolah.
“Ara!” panggil Arsel berteriak.
“Aku bukan Ara,” jawab Ara.
“Kalau kamu gak kesini, aku buang semua koleksi foto Taehyungmu!” ancam Arsel.
Ara segera berbalik dan menghampiri Arsel, “Jangan, Mas!” pinta Ara.
“Makanya masuk!” titah Arsel.
“Terus kita mau kemana?” tanya Ara.
“Mau daftarin pernikahan kita lah. Memangnya mau kemana lagi?” tanya Arsel balik. Cowok itu tidak bisa kalau bicara kalem, bicaranya pakai otot dengan mata melotot.
“Mas jangan bercanda. Kamu ngajak nikah kayak ngajak beli gorengan, mudah banget lambenya ngomong. Aku gak mau, pokoknya gak mau, karena itu merampas hak kebebasan menikahku,” jelas Ara.
Arsel yang tidak bisa sabar pun keluar dari mobil, cowok itu menarik tangan Ara dan memasukkan ke mobilnya paksa, setelahnya pria itu kembali ke bangku kemudi.
“Kebebasan-kebebasan, kamu itu gak tau diuntung ya jadi orang. Dulu aku anak tunggal kesayangan Ayah Ibu, tapi tiba-tiba Ayah dan Ibuku mengangkat kamu jadi anak. Aku selalu baik sama kamu, berbagi mainanku, berbagi makananku dan berbagi kasih sayang orang tuaku. Aku juga gak pernah minta apa-apa sama kamu, tapi saat aku minta kamu menikah denganku saja kamu gak mau,” oceh Arsel seraya menjalankan mobilnya menjauh dari area sekolahan.
Ara membulatkan matanya mendengar ucapan Arsel, dia tidak menyangka kalau Arsel akan mengatakan hal demikian. Namun, yang diucapkan pria tampan itu ada benarnya. Meski dia sering bertengkar dengan Arsel, tetapi Arsel tidak masalah kalau mainannya Ara pakai, Arsel kecil juga selalu membagi makanan untuk Ara.
“Mas, bukan maksud aku gak mau menuruti permintaan kamu. Tapi sadarlah! Menyaingi mantan itu tidak perlu, toh pernikahan mantan kamu belum tentu bahagia. Kamu yang legowo dong jadi orang, kalau kamu legowo suatu saat nanti kamu akan menemukan wanita yang bisa mencintaimu dengan tulus,” jelas Ara.
“Aku gak percaya sama wanita mana pun lagi. Hanya kamu wanita terdekatku dan gak akan menghianatiku, jadi aku maunya menikah sama kamu,” jawab Arsel kukuh.
“Daripada mendaftarkan pernikahan, lebih baik kita ke Pak Ustadz untuk mendaftarkan ruqyah kamu!” ajak Ara.
“Ya sudah ayo ke Pak Ustadz!” jak Arsel balik.
“Kamu beneran mau?” tanya Ara.
“Ya, mau meruqyah Pak Ustadnya,” jawab Arsel.
Ara kesal bukan main mendengar ucapan Arsel yang sangat menyebalkan. Ara pun memalingkan wajahnya tanda tidak mau bicara lagi dengan pria di sampingnya.
“Sialan, lampu merah lagi,” ketus Arsel saat dia harus menghentikan mobilnya di lampu merah. Perkara lampu saja dia harus marah-marah.
Arsel menoleh ke kanan, matanya membulat sempurna saat melihat mantan kekasihnya juga berhenti di lampu merah dan tepat di samping mobilnya. Hasrat untuk menabrak mantannya sangat menggebu-gebu. Arsel menurunkan kaca mobilnya.
“Ekhem.” Pria itu berdehem. Wulan dan suaminya menoleh menatap Arsel, pun dengan Ara yang juga menatap Kakak angkatnya.
“Hai Wulan,” sapa Arsel sok beramah tamah.
“Hai,” jawab Wulan canggung.
“Mas, masih miskin ya? Istrinya sudah jelek malah diajak panas-panasan naik motor. Kayak aku dong, naik mobil,” ujar Arsel menaik turunkan alisnya mengejek.
Suami Wulan yang diejek pun tidak terima, dia tau betul Arsel adalah mantan wulan. “Orang miskin mati, orang kaya mati, semua orang mati, harta dan kekayaan tidak ada gunannya!” seloroh Vino, suami Wulan.
“Siapa bilang harta tidak ada gunanya? Harta bisa digunakan membahagiakan istri, menyekolahkan anak sampai tinggi, bersedekah, membantu yang tidak mampu,” jelas Arsel semakin tersenyum bangga.
Wulan mengusap lengan suaminya agar sabar, hal itu sukses membuat Arsel tambah kesal.
“Percuma banyak harta kalau jomblo,” ejek Vino.
“Siapa bilang jomblo? Ini calon istriku!” sentak Arsel sekaligus menarik tangan Ara dan menciumnya bertubi-tubi. Ara tercekat saat Arsel menciumnya, bahkan saat ini punggung tangannya basah karena Arsel bukan seperti menciumnya, melainkan ingin memakannya.
Andai Arsel melakukan ini atas dasar suka, pasti Ara akan baper. Sayangnya Arsel melakukannya demi menyaingi mantannya.