Pintu kamar hotel telah tertutup. Mata Gadis masih memandang Abra dengan pandangan waspada.
Apa maksudnya ngajakin gue berduaan di kamar hotel?
"Tenang, gue gak minat sama lo." kata Abra tiba-tiba yang membuat Gadis melongo dan menatapnya dengan mata yang membulat sempurna. Abra berjalan masuk ke kamar hotel dengan gaya yang sok mengacuhkan Gadis meski ya, sebenarnya semua pertanyaan di otaknya menuntut untuk dijawab, semua pertanyaan tentang siapa gadis yang dinikahinya saat ini.
"Sebenarnya gue butuh penjelasan." kata Gadis membuka suara. Abra menoleh dengan wajah yang enggan sembari membuka dasi yang mengikat kemejanya. Sebenarnya ia merasa dasi itu seperti sedang mencekiknya sekarang. Bayangkan saja, ia menikahi seorang perempuan yang ia sendiri tak tahu asal usulnya. Hari ini dan itu sah. Aneh, bukan?
"Sebenarnya orang yang kena masalah sekarang itu gue. " kata Abra malas. "Jadi gue yang seharusnya butuh penjelasan, bukan lo." kata Abra ketus dan dingin. Gadis menatap Abra dengan pandangan 'What the hell? Kenapa jadi marah-marah ke gue kalo lo gagal nikah?!'
"Oke. Lo butuh penjelasan apa?" tanya Gadis berusaha mengalah. Setidaknya ia ingat kejadian di lobi tadi atas bantuan Abra, karena jika Abra tak membantunya tadi tentu ia akan malu setengah mati karena ditagih hutang oleh para debt collector Mamanya.
"Lo dan gaun di badan lo, maksudnya apa sampai datang ke Masjid tadi lalu ada pernikahan kita yang.... " kata Abra kesal, ia menghela napas berat dan menghembuskannya. "Ya Tuhan semoga ini cuma mimpi buruk!" rutuk Abra kesal. Ia benar-benar tak habis pikir dengan hari ini. Konyol sekali!
"Gue dikejar deep collector, orang-orang yang udah lo tebak di lobi hotel tadi. Gue dikejar pas gue lagi ambil gaun ini buat temen gue yang lagi mo nikah. Buat ngehindar dari para debt collector itu gue akhirnya nyamar dengan make gaun ini. Sialnya gue ketahuan! Gue lari pake gaun ini dan nyetop taksi. Niat gue ke masjid di mana temen gue ngelangsungkan akad. Tapi sial!" kata Gadis seraya meraih ponsel di tasnya dan menunjukkannya ke Abra. "Hape gue mati kehabisan baterai!" katanya lagi."Jadinya gue gak tahu temen gue nikah di mana" rungutnya sebal."Trus gue lihat di banner ada nama temen gue "Clara" di depan masjid, gue langsung minta sopir masuk ke masjid karena gue yakin yang lagi nikah temen gue dan suaminya. Gue baru nyadar kalau gue salah masjid pas gue ngelihat lo. Gue lihat lagi di banner dan ternyata nama lo 'Abraham' sedangkan nama calon suami temen gue 'Ibrahim'." kata Gadis menjelaskan. Ia berulang kali menghela napas. "Mata gue seliwer pas baca nama kalian yang mirip!" imbuhnya tak kalah jengah.
Abra kemudian menghempaskan badannya ke salah satu sofa mewah di kamar hotel yang luasnya tiga kali lipat kontrakan Clara-kontrakan yang Gadis numpang.
"Gue udah jelasin semuanya ke lo. Gue tahu kok lo kaya makanya gue gak nolak pas lo tawarin nikah kontrak dengan bayaran yang wow."
"Kenapa lo mau kerja di tempat gue sebagai akuntan sedangkan lo dokter?" tanya Abra, dia penasaran dengan semua ini.
"Gue kuliah dokter karena nyokap gue. Kalau gak ya mana mau gue kuliah dokter yang berat itu. Gue kuliah akuntan ambil sabtu minggu, karena gue suka angka dan neraca. Lo tenang aja, gue emang punya hutang banyak ke lo, tapi gue pastiin gue bayar dengan gue kerja." kata Gadis mantap. Abra menatap Gadis dengan mata yang tajam. Ia benar-benar tak menyangka bahwa perempuan di depannya tergila-gila dengan pendidikan. "Lo tahu gaji manager akuntan berapa? Sepuluh juta lebih! Jadi gue udah bisa prediksi kerja di tempat lo selama tiga tahun kurang, hutang gue lunas." kata Gadis percaya diri sedang Abra tertawa mengejek.
"Mana mungkin gue serahin tanggung jawab yang segitu besar ke lo! Profesi lo dokter dan gue sangsi, lo gak pernah kerja jadi akuntan, kan?"
"Tapi gue udah lulus sarjana akuntansi!" seru Gadis tak ingin kalah dan terintimidasi.
"Gue percaya soal itu. Tapi untuk jadi manager Akuntan lo harus punya sertifikat Brevet Pajak, pengalaman jadi manager selama tiga tahun dan menguasai segala macam laporan keuangan." kata Abra. Gadis menelan ludah, ia sadar kalau ia belum mendapatkan sertifikat brevet pajak dan pernah jadi manager keuangan selama tiga tahun. "Gue percaya kalau lo cuma nguasai poin yang terakhir." tebak Abra. "Tapi gak masalah, asal lo mau kerja buat bayar hutang aja udah oke kok." kata Abra mengejek. Mata Gadis seketika memincing karena kesal dengan ledekan-ledekan Abra.
Tiba-tiba terbesit ide gila untuk membuat Abra kesal. Ia ingin membalas semua ejekan Abra padanya. Enak aja anak orang kok disakitin!
"Emang ke mana cewek lo, kok main gak datang aja ke nikahan? Nikahan lo ini bukan nikah-nikahan!" seru Gadis seraya tersenyum remeh. Abra berdiri dan menatap Gadis tajam.
"Gue bisa nikah sama cewek manapun yang gue mau." kata Abra dingin, ia tak suka jika ada orang yang terang-terangan mengejeknya seperti Gadis saat ini.
"Oh ya, tuan muda?" tanya Gadis tak percaya, Abra tak suka Gadis menatapnya dengan tatapan ragu sembari memanyun-manyunkan bibirnya. Hal itu membuat Abra ingin sekali merasakan bibir Gadis lagi. Ia bahkan menahannya sekarang dengan sekuat tenaga. "Aku tadi melihatmu menatap seorang perempuan dengan tatapan... You know lah, seorang pria yang memiliki rasa tapi sayang sekali, sepertinya perempuan itu sudah punya pasangan. Lelaki bertuksedo biru." kata Gadis sembari mengingat-ingat kejadian di pelataran luar masjid seraya menunggu mobilnya, perempuan yang ditatap Abra, perempuan Asia berambut blonde. Siapa dia? Kenapa Abra menatapnya seperti itu.
"Kau mulai cemburu? Ha ha ha." kata Abra mengejek. Entah mengapa ia suka sekali mengusili Gadis, ia senang ketika melihat Gadis itu mengerucutkan bibirnya yang tipis. Itu membuatnya gemas setengah mati.
"Cemburu? Sama makhluk aneh kayak lo?" tanya Gadis.
"Eh denger ya, gue gak aneh!"
"Kenapa gak aneh, lo tiba-tiba minta gue jadi istri lo bukan hanya dalam semalam kayak candi sewu, melainkan hitungan menit! Dan lagi pula ya Tuhan! Kenapa aku terjebak nikah dadakan kayak n****+-n****+ online? Apa segitu gak lakunya aku hingga harus nikah sama cowok yang..."Gadis menilai penampilan Abra dari atas ke bawah. Ia seolah menimang dengan kegedikan yang ia ciptakan sendiri kala matanya menemukan bibir Abra yang terlihat menggoda itu.
Ia ingat ciumannya yang tadi pagi menjelang siang itu. Sejujurnya Gadis menginginkan lebih...