Mischa

1101 Words
Kisya tertegun diambang pintu, saat melihat kedua orang tuanya bersama Mischa sang kakak perempuan, menerima kunjungan dari Arga, dan kedua orang tuanya tepat dihari kelulusannya. Mereka bahkan seakan lupa jika hari itu merupakan hari penting bagi Kisya. Tak ada sambutan ataupun minimal sapaan. Apalagi pertanyaan mengenai apa yang di dapatkannya hari itu. Apakah dia lulus dengan nilai sempurna, ataukah menjadi salah satu lulusan terbaik. Tidak ada yang peduli. Selembar surat kelulusan Kisya genggam erat di tangannya, dengan hati remuk dan perasaan hancur. Melihat kedua orang tuanya yang lebih memilih mengadakan pertemuan dengan keluarga Arga, calon kakak ipar sekaligus mantan kekasih yang dia relakan untuk Mischa, sang kakak. Tepatnya mereka memaksanya harus merelakan sang kekasih yang telah dipacarinya selama dua tahun itu demi kebahagiaan Mischa, yang mengidap penyakit yang cukup parah sejak dia kecil. Yang menyebabkannya tak bisa melakukan banyak hal selain berdiam diri dirumah. Semua orang bahkan memanjakannya seperti putri raja, dan selalu berusaha membuatnya bahagia demi kesehatannya. Tak ada yang mampu menolak permintaannya sekalipun itu mungkin akan menyakiti orang lain, termasuk merebut Arga dari Kisya. Semuanya demi Mischa, dan untuk Mischa. Sekalipun hal tersebut membuat anak lain harus tersisihkan demi kebahagiaannya. Mischa selalu jadi yang utama, dan ini demi kesehatannya. Penyakitnya akan segera kambuh jika keinginannya tak di turuti, dan sebagaimana biasanya, dia akan berakhir di ranjang perawatan rumah sakit dan butuh waktu yang cukup lama untuk membuatnya kembali pulih. "Ki? Kamu sudah pulang?" Micha menjadi orang pertama yang menyadari kehadirannya. Dan membuat semua orang mengalihkan perhatian. "Ya." jawab Kisya, datar. Dia menatap Arga yang tetunduk lesu, entah sedih atau malu, tapi sejak hubungan mereka berakhir dan pria itu yang memutuskan untuk memilih Mischa, Arga pun mulai berubah. Dia tak lagi berbicara kepadanya walau hanya sekedar menyapa. Padahal Kisya tidak pernah memusuhinya. Dia hanya merasa kecewa. "Kisya, apa kabar?" Maria, ibu dari Arga yang memang sudah sangat mengenalnya menyapa. "Baik tante. Tante sendiri bagaimana?" Jawab Kisya. "Baik juga. Kamu habis kuliah?" Maria pun bertanya. "Nggak tante. Kuliahnya udah selesai. Hari ini malah hari kelulusan, dan aku lulus dengan nilai terbaik," gadis itu menunjukan surat kelulusannya dihadapan semua orang. Dengan senyum getir dan perasaan sakit karena tak seorangpun yang mengingatnya. "Oh, … selamat sayang. Maaf, tante tidak tahu," ucap Maria. "Nggak apa-apa tante, cuma hari kelulusan. Nggak penting," katanya, lebih ke sindiran untuk kedua orang tuanya yang terkesan tak peduli. "Kalau sudah lulus, Kisya sebentar lagi wisuda dong?" sahut Rendra, ayah dari Arga. "Satu atau dua bulan kedepan Om," jawab Kisya lagi sambil melirik kedua orang tuanya yang terdiam. "Ya udah, om, tante, silahkan dilanjutkan. Kisya keatas dulu ya?" gadis itu berpamitan. "Ya sayang." "Nggak ikut kumpul dulu dek? Sekalian kita berunding untuk pernikahan kakak," ucap Mischa, dengan wajah biasa saja, seolah dia tak tahu apa yang terjadi. "Nggak kak, makasih. Aku mau beresin barang aku. Setelah ini sepertinya akan ada banyak barang yang aku buang," tolak Kisya, yang kemudian segera berlari ke kamarnya. Dia menghindari susana seperti ini untuk tetap mempertahankan kewarasannya. Karena bisa dipastikan emosinya akan segera meledak jika dirinya tak segera melakukannya. *** "Ki?" suara Sonya, sang ibu menginterupsi kegiatan Kisya saat itu. Semua barang yang kemungkinan tidak terpakai lagi diturunkan dari raknya. Kisya menoleh tanpa mengeluarkan suara, lalu dia kembali pada pekerjaannya. "Maaf." Sonya mendekat kepada putrinya. "Kenapa ibu minta maaf?" tangannya masih menurunkan benda-benda dari raknya. "Karena ibu lupa dengan hari kelulusanmu." Kisya terdiam. "Oh, … udah biasa. Bukan cuma sekarang kan? Dari sejak SD pun ayah dan ibu selalu lupa," katanya, saat ekor matanya menangkap kedatangan sang ayah di ambang pintu kamarnya. Dia teringat hari-hari penting dalam hidupnya, di mana para orang tua yang biasanya hadir dengan semangat namun dirinya selalu sendirian. "Bukan begitu Ki, ibu minta maaf," ucap Sonya lagi. "Nggak usah minta maaf terus bu. Udah selesai kok kuliahnya, nanti aku nggak akan memerlukan kehadiran ayah dan ibu lagi. Kecuali untuk wisuda nanti. Aku harap kali ini ibu dan ayah datang. Se nggaknya aku nggak malu, karena di saat semua temen-temen aku wisudanya dihadiri keluarganya, aku malah sendiri," gadis itu terkekeh. "Itu sih kalau ibu bisa ya, tapi kalau nggak bisa nggak apa-apa, aku mau sewa orang untuk pura-pura jadi orang tua aku." "Kisya!" Marwan, sang ayah sedikit membentak. "Nggak usah bentak-bentak yah, itukan baru rencana. Nggak tahu akan terealisasikan atau nggak nya." Kisya dengan tenang dan suara datarnya. "Dengar Nak, kamu tahu keadaannya seperti apa. Kamu tahu bagaimana keadaan kakak kamu, itu yang membuat kami sedikit kurang memperhatikan kamu." Marwan pun mendekati putri keduanya itu. "Sedikit ya?" cibir Kisya. "Sedikit aja udah gitu, apalagi kalau banyak? Bisa-bisa aku nggak diakuin anak lagi?" katanya lagi. "Kisya, kami mohon kamu mengerti. Kesehatan kakak kamu yang terpenting sekarang ini. Dia tak bisa diabaikan," sela Sonya, dia berusaha menjelaskan. "Aku ngerti bu, aku sangat ngerti. Selama ini kurang pengertian apa aku sama kak Mischa? Semuanya aku kasih kok, bahkan hingga milik aku yang paling aku sayang sekalipun aku kasih. Apalagi yang harus aku kasih sama kak Mischa? Nggak sekalian aja ambil hidup aku gitu? Biar sekalian nggak ada sisa nih. Ibu ambil jantung aku biar jantung kak Mischa sehat. Biar dia tetep ada." "Kisya! Jaga ucapan kamu!" sebuah tamparan mendarat di pipi mulus gadis itu. "Ayah!" Sonya memekik. Kisya memejamkan mata, dia tak percaya hal ini terjadi juga. Bertahun-tahun menahan perasaan tanpa memikirkan dirinya sendiri karena tak ingin berdebat lebih jauh dengan keluarga yang dimilikinya. Namun apa yang dia dapat? hanya perlakuan menyedihkan seperti ini. Dan hal itu tidaklah adil baginya. Kisya menatap wajah sang ayah tanpa gentar. Tamparan pria itu di wajahnya membuatnya menyadari banyak hal. "Sebenarnya, aku ini anak kandung ayah sama ibu bukan sih?" dia bertanya. Suaranya terdengar bergetar karena mati-matian menahan tangis. "Ki!" sang ibu bereaksi. "Aku kadang merasa kalau aku ini bukan anak kalian. Aku merasa kalau mungkin aku berasal dari tempat lain, karena pada kenyataannya memang aku nggak merasa hidup dengan keluarga aku sendiri. Melainkan dengan orang asing yang selalu memperlakukan aku dengan tidak semestinya," gadis itu tertawa. "Nggak gitu dek!" Mischa menerobos masuk kedalam kamarnya yang berantakan. "Kamu tahu, ayah dan ibu nggak bermaksud begitu. Kakak saksinya." Mischa mulai tersengal. "Percaya sama kakak, ayah dan ibu ngggak seperti yang kamu pikirkan. Hanya karena kakak sakit dan memberi perhatian lebih, membuat ayah dan ibu seperti melupakan kamu. Tapi kenyataannya nggak begitu." "Ini salah kakak. Maaf, maafkan kakak. Karena kakak yang sakit-sakitan jadi membuatmu tidak terlalu diperhatikan. Maaf." napas Mischa semakin tersengal, dan tubuhnya meluruh ke lantai. "Mischa!" Marwan segera meraih putri pertamanya. "Maafkan kakak, dek. Kakak nggak bermaksud seperti itu. Maaf." dia meracau dalam tangisnya, kemudian jatuh tak sadarkan diri. * * Bersambung... minta tap love nya ya reader tersayang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD