Bara

1431 Words
Kisya tertegun ditangga paling bawah rumahnya saat menjawab panggilan ibunya. Malam itu Mischa pulang setelah hampir satu minggu lamanya berbulan madu di Lombok. "Hai dek, kamu apa kabar? baik-baik saja bukan?" Mischa menyapa terlebih dahulu. "Baik." Kisya menjawab dengan suara lemah. "Bagus lah. Sayang, bawa semua tas aku langsung keatas saja ya? biar nggak numpuk disini," ucapnya kepada Arga yang baru selesai menurunkan tas bawaan mereka dari dalam mobilnya. "Iya," pria itu menurut. "Hai Ki?" sapanya kepada Kisya, namun gadis itu tak menjawab, dan malah menyingkir dari tangga. "Kamu sehat sayang? bagaimana keadaanmu?" Maria segera muncul menyambutnya dengan peluk cium hangat kepada anak kesayangannya itu. "Baik bu. Arga merawatku dengan baik selama disana. Dia tidak pernah meninggalkan aku sedikit pun. Semuanya dia lakukan, termasuk selalu mengingatkan aku meminum obat," jawab Mischa, seolah sedang memamerkan kisah cintanya yang berakhir manis. "Syukurlah, ibu sempat khawatir dengan keadaan kamu," ucap Sonya. "Tidak usah khawatir bu. Aku baik-baik saja." "Kamu mau pergi?" Marwan bertanya kepada Kisya yang terlihat sudah rapi. "Iya." "Mau kemana? kakakmu baru saja pulang dan kamu mau pergi?" ucap pria itu, seolah menyudutkan. "Ada keperluan, aku mau ... Dan sebuah mobil yang tak mereka kenal berhenti di pekarangan. Menyita perhatian semua orang yang berada dirumah itu. Si pengemudi terlihat membuka pintu kemudian turun. "Bara?" Kisya bergumam. "Kamu ada janji dengan Bara?" Kisya tak menjawab, namun dia segera mendekati jendela. Pria itu menyadari keberadaannya, kemudian tersenyum dengan begitu manisnya. Lalu Kisya membuka pintu, dan segera menyambutnya dengan perasaan terkejut. "Kamu sudah siap?" pria itu menatap Kisya dalam balutan dress selutut berwana navy. Gadis itu tak menjawab. "Selamat sore, Om, Tante?" Bara kemudian menyapa kedua orang tua Kisya. "Kalian mau pergi?" Marwan bertanya. "Iya. Apa boleh?" jawab Bara. Suaranya tenang dan ramah. "Mischa baru saja tiba, saya rasa kurang baik jika Kisya pergi sekarang ini." "Hmm ..." Bara menghela napas kemudian mengerucutkan mulutnya. "Kenapa kamu tidak masuk saja, Bara?" Mischa muncul dari dalam rumah. Pria itu terdiam sebentar. "Apa boleh?" ucapnya kemudian. "Tentu saja, lain kali kamu bisa membawa Kisya keluar," jawab Marwan, lalu bergeser untuk mempersilahkan tamu yang tak mereka duga itu masuk kedalam rumah mereka. *** "Jadi Bara, ceritakan tentang dirimu." Mischa memulai percakapan, kebetulan mereka dalam suasana makan malam saat itu, dan semua orang berkumpul untuk menyambut kedatangan Mischa dan Arga di rumah tersebut setelah pernikahan dan bulan madu mereka. "Cerita soal apa? aku kakak sepupunya Arga, ayahku kakaknya tante Maria, dan ya, ... aku baru saja pulang dari Turki. Tidak ada yang spesial soal itu." Bara mengunyah makanannya dengan tenang. "Sejak kapan kamu mengenal Kisya?" Mischa kembali bertanya. "Enam bulan yang lalu, seperti yang aku katakan tempo hari," pria itu melirik ke arah Kisya disampingnya yang tampak merasa gelisah. Dia lantas menurunkan tangannya kemudian meraih tangan gadis itu lalu meremat jemarinya dengan lembut seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Bukankah enam bulan yang lalu kalian baru putus sayang?" Mischa menoleh ke arah suaminya yang menyimak dalam diam. "Lalu berapa lama kalian berhubungan sampai kamu berani melamarnya di pernikahan kami waktu itu?" Mischa terus bertanya. "Sejak tiga bulan yag lalu. Bukankah aku sudah mengatakanya?" Bara melanjutkan kegiatan makannya. "Lalu kenapa kamu baru muncul sekarang?" "Tidak kenapa-kenapa." "Kami tidak pernah mengetahui jika Kisya punya teman dekat, karena dia memang tidak pernah punya teman sebelumnya. Dan Arga pun mengatakan jika kamu tidak pernah membicarakan masalah ini sebelumnya?" "Apa harus? ini urusan pribadi. Terserah aku mau membicarakannya atau tidak." Bara menatap perempuan itu dengan raut tak suka. Dia tahu, banyak yang Mischa sembunyikan dari keluarganya. "Tidak juga, itu hakmu untuk melakukannya," jawab Mischa, yang kemudian melahap dan mengunyah makanannya kemudian menelannya dengan cepat. "Sayang aku capek," keluh Mischa yang menyandarkan kepalanya pada pundak Arga dengan manja. "Kamu mau istirahat? mau ke atas?" pria itu segera merespon. "Iya, rasanya aku mau tidur awal malam ini." "Baiklah, ayo kita keatas?" Arga memapahnya yang tiba-tiba saja terlihat lemah setelah percakapan dengan Bara. * * "Maksud kedatangan kamu kesini mau apa?" mereka berbincang di halaman belakang rumah bertingkat dua itu. "Bukankah aku sudah mengatakannya tadi, jika aku ingin mengajakmu keluar? dan kamu sudah siap bukan?" pria itu terkekeh. "Aku memang ada keperluan tadi, tapi nggak tahu kalau kamu mau datang." "Well, sekarang kamu tahu." "Ya, ... "Kamu baik-baik saja?" "Aku baik." "Bagaimana dengan kepalamu? apa masih pusing?" "Sedikit. Tapi setelah minum obat yang kamu belikan pusingnya jadi hilang. Terimakasih." "Untuk apa?" "Karena membelikan aku obat. Kalau tidak, mungkin sekarang ini aku sedang tersiksa. Kebetulan obat yang aku beli sudah habis." "Itu bukan apa-apa." "Tapi itu berarti untukku." "Aku hanya khawatir dengan keadaanmu." Bara mendekat hingga jarak mereka hanya beberapa jengkal saja. Mereka saling tatap untuk waktu yang cukup lama. Cukup untuk Bara menikmati pemandangan yang selama ini hanya ada dalam gambar saja. "Mm ... kamu mau kopi? aku buatkan ya?" Kisya mulai salah tingkah. "Boleh." Dan gadis itu bergegas masuk kedalam rumah. "Ehm," suara Arga terdengar ada dibelakangnya, membuat Bara memalingkan perhatian. "Istrimu sudah tidur?" pria itu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Baru jam delapan malam. Arga menatap wajah kakak sepupunya itu dengan penuh selidik. "Ada apa? ada yang salah?" Bara bereaksi. "Apa semua yang kau katakan tadi itu benar kak?" Arga penasaran. "Tentu saja, untuk apa aku berbohong?" "Kenapa aku tidak tahu? yang aku tahu kau sedang mencari gadis pujaanmu." "Tidak apa-apa, kau tahu aku tidak terlau suka mengumbar urusan pribadi." "Dan gadis itu bagaimana?" "Tidak bagaimana-bagaimana. Aku sudah menemukan seseorang." "Kisya?" "Kau tahu ... "Kenapa harus Kisya?" "Kenapa tidak Kisya?" "Kau sudah tahu kalau dulu aku berhubungan dengannya?" "Harus aku katakan dengan jujur bahwa aku memang tahu." "Tapi kenapa?" "Tidak apa-apa." "Kenapa Kisya kak?" Arga mendekati kakak sepupunya hingga mereka berhadapan. "Kenapa tidak? dia lajang, dia juga gadis yang bebas." "Tapi kenapa Kisya ku?" Arga dengan nada frustasi. "Kisya mu? mungkin yang kau maksud adalah Kisyaku? Ingat kau telah menikahi Mischa, gadis pujaan hati yang membuatmu berpaling dari Kisya." Arga menutup mulutnya rapat-rapat. Apa yang dikatakan kakak sepupunya benar juga. Dia sudah meninggalkan Kisya dan menikahi Mischa, tapi mengapa rasanya dia menyesal? "Sebaiknya kau urus istrimu sendiri, Arga. Tidak perlu lagi memusingkan kehidupan orang lain. Apalagi gadis lain." Bara melirik jendela di lantai dua yang tirainya terlihat disingkap. "Apa gadis yang kau cari itu sebenarnya Kisya?" Arga bertanya lagi. "Seandainya aku jawab iya?" "Kenapa kau tak mengatakannya kepadaku kak?" Arga dengan suara sendu. "Kenapa aku harus mengatakannya kepadamu?" "Kau kakakku, aku sudah menganggapmu seperti itu." "Maka tetaplah seperti itu." "Tapi kau bersama Kisya-ku, kak!" "Ralat, dia sekarang Kisya-ku. Sejak kau memutuskan untuk berpaling dan memilih Mischa." "Tapi kak!" "Dewasalah, apa kau mau memiliki semuanya? sedangkan kau tidak mampu, dan malah menyakiti satu diantara mereka. Kau sadar telah menyakiti Kisya, kau tahu itu. Dan kau masih menginginkannya?" Arga kembali terdiam. "Dimana hatimu?" "Ini kopinya, maaf aku lama. Aku nggak tahu kamu sukanya kopi yang bagaimana," tiba-tiba Kisya muncul dengan secangkir kopi di tangannya. "Tidak apa-apa, semuanya aku suka." Bara menerimanya dengan suka cita. "Kamu disini, Arga? tadi Mischa mencarimu." ucap Kisya kepada kakak iparnya. "Ya, baiklah," lalu pria itu melenggang kedalam rumah. Tahu dia akan menerima amukan Mischa jika tak segera mendatanginya. Perempuan itu sudah mulai menyebalkan, padahal mereka baru menikah selama satu minggu. Dia selalu ingin menguasainya, dan segala keinginannya harus selalu dituruti. "Selamat malam, Arga." Bara sambil menyeruput kopi miliknya. "Apa yang kalian bicarakan?" Kisya kembali dusuk di kursi taman tepat di samping Bara yang tengah menikmati kopi buatannya. "Tidak ada, hanya obrolan biasa." "Hmm ... "Jadi bagaimana?" "Apanya?" "Kapan kita akan menikah?" "Itu lagi?" "Ya, ... karena memang itu tujuanku menemuimu." "Kamu serius, Bara?" "Aku tidak pernah seserius ini." "Tapi aku tidak mengenalmu." "Kita akan saling mengenal setelah menikah." "Kamu gigih sekali, kita bakan baru bertemu seminggu yang lalu." Kisya terkekeh pelan. "Begitulah, ... Gadis itu terdiam. "Ayolah, ... "Tidak sekarang." Kisya menggelengkan kepala. "Kapan?" "Nanti." "Nantinya kapan?" "Kalau aku sudah merasa mengenalmu." "Dan selama itu, apakah aku boleh sering menemuimu?" "Entahlah, apa itu hal baik atau ... "Cara yang bagus untuk saling mengenal ya bertemu setiap hari." "Apa? memangnya kamu nggak ada kerjaan ya?" "Pekerjaanku santai." "Baiklah, apa pekerjaanmu? sepertinya hal pertama yang aku harus tahu dari pria yang mengajakku menikah adalah pekerjaannya." "Serius?" "Ya, tentu saja. Itu penting." "Ayo kita pergi besok, aku akan menunjukan pekerjaanku kepadamu." "Besok?" Bara mengangguk. "Tapi aku harus ke kampus, ada yang harus aku urus soal kelulusanku." "Aku sekalian antar." Kini Kisya yang terdiam. "Baiklah, aku harus membiarkanmu istirahat untuk besok," pria itu menghabiskan kopinya, dan menyerahkan cangkirnya kepada Kisya. "Aku pamit," katanya, yang kemudian bangkit, dan setelah berpamitan kepada penghuni rumah yang lain, Bara pun meninggalkan tempat tersebut. * * * Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD