“Astaghfirulloh!” Rinai memekik kaget. Dirinya pun hampir saja terserempet hingga terjatuh. Beruntung tidak apa-apa.
Tasya dan Tisya turun sambil melipat tangan di d**a. Menatap nyalang pada Rinai yang tengah memunguti dagangannya. Keduanya tak sadar. Ada sepasang mata Elang menatapnya penuh kemarahan. Sepasang mata dari pemulung tampan yang tengah mendorong gerobak ke arah mereka.
Rinai menatap bungkusan rempeyek miliknya yang berserakan, setengahnya hancur karena terinjak mobil. Rinai memungutinya satu-satu. Pungguh ringkihnya membuat hati Wira terasa sesak. Namun jarak dia lebih jauh dari pada Tasya dan Tisya yang sudah melenggang mendekatinya.
“Hey, anak pelakor! Kasihan banget, sih. Peyek sudah hancur juga masih kamu pungutin. Semiskin itukah hidup kalian sekarang?” Tisya yang sama bermulut pedas berdiri sambil memicing merendahkan. Diinjaknya bungkusan rempeyek yang sedang Rinai punguti oleh heelsnya.
Tasya ikut tergelak melihat kelakuan kakaknya. Dia menatap wajah Rinai yang menatap mereka tajam. Tak ada sedikitpun kilat takut terpancar.
“Kalian kenapa, sih? Apakah hidup kalian tidak tenang jika tidak mengganggu orang?! Tolong pergi dari sini,” hardik Rinai. Tangannya mengepal menahan kesal.
“Mbak, kita disuruh pergi,” kekeh Tasya sambil melirik Tisya.
“Ya pastilah, Sya. Kita juga mana mau berlama-lama tinggal di tempat kumuh seperti ini. Jijik, penuh kuman, bisa-bisa kulit kita nanti gatal-gatal kalau kelamaan. Kita di sini Cuma mau bilang, kalau kami anak dari ibu yang pernah disakiti oleh ibumu itu hidupnya pasti lebih senang dan bahagia. Hmmm, asal kamu tahu … Tasya sekarang sudah punya mobil sendiri. Tuh, kamu bisa lihat! Kalian, jangankan punya mobil, rumah saja kayak kandang bebek,” celoteh Tisya panjang lebar.
“Kadang aku bingung dengan pola pikir orang yang merasa kaya seperti kalian. Apa untungnya ngerecokin hidup orang? Kami tidak pernah merepotkan kalian lagi. Aku bahkan tidak pernah menuntut lelaki yang kalian panggil ayah untuk datang ke sini sekadar memberi nafkah. Aku tak pernah ingin berurusan dengan kalian, kenapa kalian selalu ingin berurusan denganku?!” Rinai memandang penuh kemarahan.
Wira yang tadi sudah mempercepat langkahnya berhenti beberapa meter. Perempuan yang disangkanya lemah dan tak berani melawan itu ternyata begitu menakjubkan. Kedua netra Wira menatap lekat wajah Rinai yang tengah berbicara panjang lebar.
Tasya dan Tisya saling melempar pandang. Keduanya kembali mendekat dan menyisakan jarak beberapa langkah.
“Gadis udik ini ternyata begitu pandai bersilat lidah. Cih!” ucapnya sambil meludah ke arah tumpukkan rempeyek baru beberapa bungkus Rinai susun kembali. Rinai mengatur napas turun naik. Mencoba tidak terpancing oleh provokasi mereka yang semakin menjadi.
“Jangan kepedean kamu, Nay! Aku juga malas berurusan dengan orang miskin sepertimu. Kami di sini datang hanya untuk mengingatkan jika sakit hati ibu kami tak akan pudar oleh waktu. Selain itu, kami hanya ingin bilang ke kamu … kalau kehidupan kami selalu jauh lebih baik dari kamu. Duhai anak pelac*r!” celoteh Tasya.
Amarah Rinai kembali memuncak setiap kali ada seseorang yang menghina ibunya. Dia mengulangkan tangan untuk menampar mulut Tasya yang tak bosan-bosan menghina ibunya. Namun kali ini Tisya menghadang. Dia menangkap tangan Rinai dan melipatnya ke belakang.
Tasya maju menarik kerah baju Rinai. Tangannya mengulang hendak menjatuhkan tamparan. Namun sebuah tangan kekar menangkapnya lalu menepisnya kasar hingga tulang kering di pergelangan tangannya terasa ngilu.
“Hentikan! Hentikan perbuatan kalian!” suara berat seorang lelaki dengan nada sedikit tinggi.
Tasya dan Tisya menoleh. Tampak lelaki dengan caping kain tengah berdiri. Handuk yang sudah lusuh tersampir di bahunya. Wajahnya tampak kotor meskipun tidak menutupi garis ketampanannya.
“Siapa kamu? Kenapa ikut campur masalah kami?!” Tasya memekik sambil menatap lekat wajah itu.
“Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Jika dia Rinai, maka aku adalah Badai dan kami bisa menghancurkan kalian,” ucap Wira dingin. Sorot matanya penuh kemarahan.
“Bisa apa kamu? Cuma seorang pemulung rupanya,” kekeh Tisya ketika menoleh gerobak berisi botol-botol bekas terparkir tidak jauh dari sana.
Wira menyeringai. Lalu memutar tubuh dan menjauh dari mereka. Wira mengambil sebuah dahan patah yang tergeletak tidak jauh dari sana. Lalu mendekat ke arah mobil yang terparkir. Tanpa kedua perempuan itu duga, Wira mengangkat kayu itu tinggi-tinggi dan memukul bagian depan mobil itu hingga penyok.
“Astagaaa! Hentikan kamu!” Tasya berlari terbirit-b***t menghampiri Wira yang tengah mengangkat potongan dahan kayu yang cukup besar itu. Tisya mendorong tubuh Rinai sebelum mengejar adiknya, akan tetapi Rinai menghindar sehingga tubuhnya oleng dan membentur tepi meja kecilnya.
“Kamu, ya!” Tisya melotot yang dijawab oleh senyum miring Rinai. Perempuan itu pun menyusul adiknya yang hendak memaki lelaki yang telah merusak mobilnya.
Tasya mendorong tubuh Wira, akan tetapi tidak tergeser sama sekali. Lelaki itu menatap kedua perempuan itu dengan mata penuh kemarahan.
“Kalian mau pergi sekarang? Atau mau saya hancurkan benda kesayangan kalian ini?” ucap Wira sambil melirik kembali ke arah mobil.
“Awas, ya! Kami akan melaporkan perbuatanmu ke kantor polisi. Dasar orang miskin nggak tahu diri,” ucap Tasya dengan penuh kemarahan.
“Heh, asal kamu tahu. Adik saya ini calon istri dari Pak Rendi---kerabat dekat pemilik perusahaan Dharma Grup yang cabang perusahaannya di mana-mana. Kamu siap-siap dijadikan peyek oleh calon suami adikku nanti. Dasar orang miskin,” bentak Tisya pada lelaki bercaping yang masih berdiri tak jauh dari mereka.
Wira mengernyit. Sejak kapan dia memiliki kerabat bernama Rendi. Kepalanya menggeleng-geleng pelan. Rupanya banyak orang yang menjual namanya di luaran. Lalu dia menatap kembali Tasya dan Tisya bergantian.
“Pergi sekarang atau mobil ini saya hancurkan!” ucapnya dingin sambil mengangkat kembali dahan yang cukup besar itu.
Tasya dan Tisya saling melempar pandang. Lalu keduanya bergegas masuk ke mobil karena takut lelaki itu kembali memukul mobilnya.
“Awas, ya! Besok Mas Rendi ke sini dan bawa polisi buat nangkep kamu. Siap-siap hidup di penjara!” teriak Tasya sambil terburu-buru melajukan mobilnya.