“Kami ingin membeli area ini. Permeternya kami hargai lima puluh ribu rupiah. Ini sudah mutlak, semua harga di sini sama. Kalian bisa pindah dan mencari tempat lain nanti dengan uang yang kami berikan,” ucapnya. Sontak darah Wira mendidih. Mendengar dengan telinga sendiri sebuah kecurangan yang ada di depan matanya.
Wira berdiri menuju gerobak berisi sampah plastik miliknya. Diam-diam Wira mengambil gawai dalam sakunya yang dibalut plastik keresek hitam agar tak mengundang kecurigaan.
Wira menyalakan mode rekam pada gawainya lalu kembali berjalan sambil mengambil beberapa botol plastik yang tergeletak tidak jauh dari rumah setengah kumuh itu. Lalu dia duduk kembali di tempat yang tadi.
“Maaf, Pak … tapi kami membeli tanah ini dengan harga lebih mahal dari itu. Lalu rumah ini kami bangun juga menghabiskan biaya yang cukup besar. Mungkin kami belum bisa melepas tanah ini.” Rinai berucap dengan jelas dan tanpa sedikitpun ketakutan terpancar dari wajahnya.
Wira sesekali melirik pada gadis itu yang tampak berani. Rinai terus mengeluarkan kalimat demi kalimat yang menentang sehingga membuat kedua orang itu semakin murka.
“Hey, gadis miskin. Kami di sini masih berbaik hati mau membayar ganti rugi. Asal kamu tahu, bisa saja kami menggusur paksa semua bangunan di sini. Kami sudah mendapatkan izin dari pemerintahan setempat dan kalian memang tidak memiliki surat-surat tanah ini ‘kan?” bentak salah satu yang Wira yakini masih team dari perusahaannya. Dia memakai seragam dengan logo Wira Eka Dharma.
Satu orang lagi berdiri, lalu menunjuk wajah Rinai dengan mata membelalak. Dia berucap dengan keras.
“Kamu pikirkan baik-baik tawaran kami! Kami akan ke sini lagi dalam kurun waktu tiga hari. Kamu mau terima uang ganti rugi ini atau kami usir tanpa sepeser pun uang pengganti,”ucapnya menyeringai.
Wajah Rinai sedikit pucat karena kedua lelaki itu membentaknya. Dia tak tahu harus meminta tolong pada siapa. Hanya ini tempat tinggal satu-satunya. Tempat bernaung bersama sang ibu yang sedang sakit-sakitan. Tempatnya berlindung dari terik panas dan hujan.
Dia tidak mungkin melawan para penguasa. Mereka pasti pandai menggunakan berbagai cara dan memutar balikan fakta. Perlawanannya pasti hanya akan berakhir sia-sia. Akhirnya Rinai memilih diam. Hanya lantunan doa dia panjatkan.
Dering gawai dari salah satu orang berseragam itu berdering nyaring. Dia mengangkatnya dan berbicara lantang di depan semua orang yang ada.
“Iya, hallo Pak Rendi. Iya, ini kami sedang menyisir para penghuni yang masih bertahan. Siap, semuanya akan kami tangani dengan baik.” Dia menjeda sejenak. Mendengarkan seseorang yang masih berbicara di seberang sana. Lelaki itu mengangguk.
“Iya, Pak!” Menjeda lagi. Lalu dia berucap lagi.
“Baik, Pak! Ada beberapa saja yang bandel. Namun sudah kita kasih pilihan, menerima uang kompensasi ini atau pergi tanpa uang sama sekali,” ucapnya sambil tertawa. Lelaki itu melirik sinis ke arah Rinai.
“Baik, Pak. Siap laksanakan!” Lelaki itu menutup panggilan. Ia lalu menoleh pada Rinai dan mendekat. Tangan usilnya menjawil dagu belah milik gadis itu yang membuat wajah Rinai tampak semakin manis dipandang. Rinai tak sempat mengelak.
Wira menatap penuh amarah. Dia sudah berdiri hendak mendekat. Namun Rinai melirik nya dan menggeleng, dia ingin menanganinya sendirian. Dia takut, jika pemulung tampan itu ikut campur hanya akan menyusahkannya di kemudian hari. Rinai tidak ingin melibatkan orang lain dalam masalahnya.
“Pikirkan baik-baik, Manis. Kecuali kalau kamu mau jadi istri simpananku? Aku akan pikirkan untuk memberimu harga lebih,” ucapnya dengan mata mengerling.
Rinai menepis tangan lelaki itu dan mundur beberapa langkah ke belakang. Hatinya sakit dan terasa pedih. Namun tak berani juga dia melawan. Dia hanya seorang perempuan dan hanya memiliki ibu yang sedang sakit. Tidak ada tempatnya berlindung. Seseorang yang dipanggilnya ayah, yang seharusnya melindunginya, bahkan tidak sudi mencantumkan nama mereka pada kartu keluarga. Hidupnya benar-benar keras dan hanya bisa berdiri di atas kaki sendiri.
Rinai menahan air mata yang hendak menyeruak jatuh. Namun dia tetap bertahan agar tampak tegar. Dia tak ingin terlihat lemah di hadapan kedua orang dari perusahaan tersebut.
“Besok kami kembali lagi, ingat … jangan sampai membuat kami kecewa. Ada tiga pilihan yang harus kau pikirkan. Satu, jual dengan harga murah. Kedua, jual dengan harga mahal tapi dengan syarat jadi istri simpananku. Ketiga, silakan bertahan dengan egomu dan kamu tidak akan mendapatkan apa-apa,” ucapnya sambil hendak menjawil dagu Rinai. Namun dengan cepat, tangan Rinai menepisnya.
“Semakin galak, semakin menggemaskan,” kekeh lelaki itu.
Wira sudah bersiaga untuk turun tangan jika kedua lelaki itu melecehkan Rinai. Namun beruntungnya keduanya tampak bersiap untuk pergi.
“Ayo Rofik, kita pergi,” ucapnya menoleh pada temannya yang tengah duduk dan menatap perlakuannya pada Rinai.
“Baik Pak Dirman,” ucap lelaki bernama Rofik itu sambil berdiri dan mengikuti langkah Dirman meninggalkan Rinai yang bergeming.
Hanya tarikan napas gadis itu sedikit tersengal menahan sesak yang menyeruak. Beruntung wanita yang dicintainya tampaknya tengah terlelap. Efek obat itu membuat ibunya tidak menyadari ada keributan terjadi di depan matanya.
Usai kedua lelaki itu menjauh dan punggung mereka menghilang karena masuk pada beberapa rumah setengah kumuh yang mereka tuju. Rinai tak kuasa lagi menahan sesaknya. Dia menjatuhkan tubuh dan memeluk lutut di lantai. Rinai mengeluarkan semua sesak melalui air mata yang terurai.
Wira yang menyaksikan hal itu tertegun. Dia sudah merekam semua kejadian tadi. Sekuat tenaga dia menahan diri agar penyamarannya tidak dicurigai.
Dia sudah mencatat dalam ingatan ketiga nama yang diduga menjadi dalang semuanya. Mereka bekerja dengan semaunya di lapangan.
Rofik, Rendi dan Dirman. Ketiga nama itu hanya tinggal menunggu waktu untuk dia lemparkan dari perusahaan. Wira berdiri lalu mendekat ke arah Rinai.
“Bangunlah! Jangan tangisi orang-orang seperti itu.” Wira menepuk bahu Rinai meski ragu. Akan tetapi bahu itu masih terus berguncang seiring dengan isaknya.
“Kami yang kecil ini bisa apa, Bang? Mereka memiliki uang. Keadilan di sini bisa dibeli pakai uang,” ucap Rinai sambil mencoba meredakan isaknya.
“Aku akan membantumu, tenanglah!” Suara bariton itu membuat netra Rinai yang sembab menatapnya. Menakar sejauh apa lelaki itu bisa diandalkannya.