Kali Kedua

1044 Words
~Jika luka ini masih akan berlanjut, jauhkan lah dia dariku. Selamanya. Walau harus menderita tanpanya, tak mengapa, daripada kehadirannya hanya semakin menambah goresan luka mendalam.~ ***** 'Ni perempuan sepertinya memang rada gila,' batin si pria dengan dahi yang mengkerut. "Noni..." teriak Dhira yang tengah berlari menghampiri Noni. "Lo enggak apa apa kan?" ucapnya dengan wajah panik. "Nona Dhira," ucap pria itu sembari menundukkan sedikit kepalanya. Dhira lantas menoleh kesamping saat namanya di ucap oleh pria yang hampir menabrak sahabatnya itu. "Angga..." ucapnya saat melihat wajah sekretaris Tama itu. "Jadi lo kenal sama si b******k ini Dhir?" celoteh Noni semaunya. Dhira membulatkan matanya memberi isyarat pada Noni agar menjaga ucapannya. Tapi sayang nampaknya sang sahabat tak mengerti isyarat yang diberikan Dhira. Angga menaikkan pandangannya, menatap tajam pada Noni. "Tolong jaga ucapan anda," ucapnya tegas dengan wajah yang tegas pula. Noni memutar bola matanya malas, "Jadi mau dipanggil apa? Malaikat gitu?" Dengan wajah nyalangnya Noni sungguh berani menantang seorang sekretaris Tama. "Malaikat pencabut nyawa lebih pastinya. Bukannya minta maaf, lo malah nuding gue gila lah mau bunuh dirilah. Sakit jiwa benar lo ya," ucapnya lantang. Angga menggeram hingga rahangnya tampak mengetat sempurna dengan sorot mata yang hendak membunuh. "Nona, jaga sikap anda atau anda akan me-". Noni menarik nafas panjang. "Apa? Atau apa? Lo mau ngancam gue? Hah?" Dengan keberanian penuh Noni kini menguasai dirinya. "Gue bisa laporin lo kepolisi saat ini juga. Cepat minta maaf dengan gue," sambung Noni tanpa kendor. "Noni, sudah deh jangan berlebihan gitu. Lagian kan lo enggak kenapa napa juga." Dhira menarik tubuh Noni yang semakin maju menantang Angga. Ia tahu betul bagaimana sifat sahabatnya satu ini. Angga mengepalkan kedua tangannya, wajahnya kini telah memerah degan sorot mata yang dikilati percikan api di dalamnya. Sementara dari dalam mobil mewah yang hampir menabrak Noni, terlihat seorang pria yang tengah duduk santai seperti sedang menonton sebuah pertunjukkan komedi yang membuatnya terbahak bahak mendengar percakapan Noni dan sekretarisnya hingga menggoyangkan tubuhnya. "Baru kali ini aku melihat ekspresi lucu diwajah Angga," ucap Tama terkekeh. Tapi saat matanya mendapati sosok perempuan cantik yang tengah mengisi kekosongan hatinya menampilkan wajah sendu dan sembab itu membuat lengkungan di bibirnya menghilang. "Apa yang terjadi padamu, bidadari? Apa kamu telah mendapat kenyataannya?" ucapnya pelan. Tama membuka pintu mobilnya dan segera berjalan mendekati ketiganya. "Dhira, ada apa ini?" tanyanya pura pura tak mengetahui perdebatan yang telah terjadi. Angga yang melihat kehadiran sang bos, segera mundur satu langkah dari hadapan Tama lalu menundukkan pandangannya. "Maafkan saya tuan. Teman dari Nona Dhira tampaknya telah kehilangan akal sehatnya," ucap Angga cepat tanpa berbelit. Noni yang mendengar itu, kembali tersulut emosi. "Apa lo bilang? Lo yang sakit jiwa." Sambil berkecak pinggang Noni mendongakkan kepalanya menatap nyalang pada Angga. "Hei, Tama. Sopir lo ini yang enggak bisa nyetir. Mata dan hatinya enggak dipake dengan baik dan benar. Hampir saja gue mati ditabraknya. Kalo gue mati, nyokap gue enggak ada temannya di rumah," cerocos Noni pada Tama tanpa henti. "Bagus kalau mati," ucap Angga dengan suara yang cukup pelan namun masih terdengar dengan jelas di telinga Dhira, Noni dan Tama. Noni sudah bersiap untuk mengeluarkan semua sumpah serapahnya pada Angga, namun tak kalah cepat dengan Tama. "Aku akan pulang bersama Dhira," ucap Tama yang telah menarik pinggang Dhira hingga menempel sempurna di tubuhnya. "Kamu tolong antarkan Noni sampai tujuannya. Ingat, jangan beraninya menurunkan dia sendirian tanpa permintaannya," titah Tama pada Angga. Angga dan Noni terperangah bersamaan, tak menyangka jika Tama mengambil keputusan seenak jidatnya. "Eh, enggak enggak enggak. Gue enggak mau. Gue tetap pulang sama Dhira." Noni mencoba menarik tangan Dhira. Namun dengan cepat Tama melempar tatapan mematikan hingga Noni mengurungkan niatnya. Setelah perdebatan yang cukup panjang, akhirnya mereka meninggalkan parkiran bawah tanah itu. Tama dan Dhira pergi bersama menggunakan mobil Dhira, sementara Angga bersama Noni menggunakan mobil Tama. ***** Tak ada kata-kata dari kesunyian yang lebih indah dari perjalanan Tama bersama Dhira, hingga keramaianpun terasa hampa jika tanpa mereka. "Kenapa kesana lagi?" ucap Tama memecah keheningan beberapa saat sejak kepergian mereka dari hotel itu. Dhira menggeleng, wajahnya menghadap kesisi kiri luar jendela. "Iseng saja." Tanpa berniat menoleh pada Tama. Tama masih terfokus pada kemudi setir yang berada pada kendalinya, sesekali matanya melirik sang bidadari hati untuk memastikan keadaannya. "Apa kumu sudah melihat kenyataan mengerikan?" ucapnya tanpa ekspresi. Seketika tangis Dhira pecah, air mata yang sejak tadi menggenang dipelupuk mata sembabnya kini jatuh berderai. "Pengkhianatan kedua kali dengan orang yang berbeda," sahutnya dalam isakan tangis. Rasanya tak cukup satu kali Dhira yang seorang perempuan baik merasakan pengkhianatan dari orang orang terkasihnya. Luka perih yang belum terobati kini kembali menganga dengan luka robek yang sangat besar. Tama menghentikan mobil yang dikendarainya, menatap wajah sedih sang bidadari hati dengan hati yang tergores pula. "Aku tidak mengkhianatimu Dhira," ucapnya seolah menyalahkan tuduhan Dhira yang pernah dilayangkan untuknya. Dhira hanya tersenyum getir, dirinya tak ingin lagi menjadi bodoh akibat rasa cintanya pada seseorang. "Aku punya mata, hati dan telinga. Semuanya masih berfungsi dengan baik mas." Menatap lurus ke depan tanpa menoleh sedikitpun pada sosok pria yang kini tengah memandanginya penuh arti. "Dan pula semua sudah jelas, Elindra sendiri yang telah mengatakan jika kalian akan segera menikah." Dhira menyeka kembali air matanya, entah kenapa saat mengatakan itu seperti ada perasaan lain yang dirasakannya. Tama merebahkan tubuhnya di kursi pengemudi, menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. "Jika itu menurutmu, baiklah. Aku enggak akan menyangkal apapun," sahutnya dengan tenang. Hancur, itulah yang dirasakan oleh Dhira. Tak ada lagi harapan untuknya membangun kisah lama yang tak pernah terlupakan bersama masa lalu indahnya, bersama seorang pria yang telah lama dinantikan kehadirannya. Seorang pria yang sesungguhnya ada didalam hatinya sejak lama, bahkan tubuh kecilnya rela menyelamatkan nyawa seseorang yang hampir tertabrak walaupun tubuhnya sendiri yang menjadi gantinya. Dhira menghadap ke sisi kiri bagian jendela mobil itu, bukan untuk menikmati pemandangan jalanan dari arah samping. Melainkan untuk menutupi deraian air mata yang berontak keluar tanpa aba aba darinya. Menangis tanpa suara, dalam diam hatinya begitu terluka, bagaikan luka yang di siram perasan air jeruk nipis. Perih, sangat perih hingga tak ada ruang walau untuk tersenyum. Terjebak dalam perasaan yang nyatanya tak pernah berubah sedikitpun membuat Dhira menjadi semakin larut dalam kesedihan. 'Pergilah menjauh dariku mas, berada di dekatmu membuatku semakin terluka. Walau harus melupakanku, aku tak keberatan,' batin Dhira menangis, menangis dalam diam, menangis dalam kesedihan yang tak berujung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD