"Pagi bu bos cantik," sapa pak Sarmin salah satu security di perusahaan Dhira.
"Pagi pak Sarmin," balas Dhira dengan bibir yang mengembang di wajahnya.
Semua karyawan yang melintas di depan Dhira menyapanya dengan penuh ceria, ada yang memuji secara terang terangan karena parasnya yang cantik dan tubuh yang menggoda, ada juga yang berbisik bisik bersama karyawan lain.
Dhira merupakan sosok pemimpin yang sangat berjiwa besar, tak sekali pun ia menunjukkan keangkuhan dihadapan karyawannya, namun tetap berada dalam zona wibawanya sebagai pemimpon yang harus di segani bukan di takuti.
"Hai bu bos ku..." suara cempreng milik sang manager marketing menggema saat mereka sama sama memasuki lift yang sama. Dhira sengaja tidak menggunakan lift khusus dirinya.
"Hai bu manager," balas Dhira tersenyum manis.
"Kenapa naik lift ini? Tumben banget sih. Kan lift lo ada tu di sana," ucap Noni, yang tampak seperti teman biasa. Bukan Noni tak sopan pada Dhira sebagai atasannya. Tapi, Dhira lah yang meminta pada Noni agar bersikap sewajarnya jika mereka sedang berdua. Dan akan menjadi formal jika ada karayawan lain.
"Pengen saja sih," sahut Dhira santai.
Mereka mengobrol seperti biasa menyanyakan hal apa yang telah terjadi pada keduanya. Tak lama pintu lift terbuka, Noni keluar terlebih dahulu. Setelah melewati beberapa lantai akhirnya Dhira tiba di lantai tempat ruangannya.
Dhira melenggang santai menuju ruang kerjanya, di depan ruangan tampak mbak Dina telah berdiri menyandar menanti kedatangan Dhira.
'Kenapa mbak Dina di luar?' Dhira membatin.
Tepat di depan ruangannya, mbak Dina tersenyum renyah pada sang bos, seperti sedang memenangkan sebuah lotre besar.
Dhira mengangkat kedua alisnya seakan bertanya ada apa ini pada mbak Dina.
"Maafkan saya bu, tapi dia selalu memaksa menerobos masuk, sama seperti pertama kali ke sini," ujar mbak Dina menundukkan kepalanya.
Dhira yang tidak terlalu paham, mengerutkan dahinya. "Siapa?" tanya Dhira pada mbak Dina.
Mbak Dina hanya tertunduk tak bersuara, ia tengah menyadari jika sang bos tampak menerka nerka dengan apa yang terjadi.
Dhira memutuskan untuk segera memasuki ruangannya. Saat pintu ruangan terbuka, Dhira melihat dengan jelas siapa yang dimaksud oleh mbak Dina.
Seketika raut bahagia di wajahnya berubah menjadi guratan kekesalan.
"Ada perlu apa kemari?" tanya Dhira ketus sambil menutup pintu ruangnya.
"Beginikah cara seorang pemimpin menyambut tamunya?" Tama balik bertanya dengan senyum sinis di wajahnya.
Dhira memutar mata malas, ia tak punya niat untuk basa basi pada Tama. Rasanya hatinya masih tergores oleh sebuah pengkhianatan yang di lakukannya.
"Bapak Pratama Agung Mawadi yang terhormat, ada tujuan apa yang membawamu hingga memaksa menemuiku seperti ini?" Dhira menekankan perkataannya.
"Bagaimana kabarmu bidadariku? Rasanya sudah sangat menggunung rinduku padamu," ucap Tama santai sambil duduk di sofa tamu dengan kaki yang bersila menatap Dhira.
"Sudah lah mas. Ada apa sebenarnya mas menemuiku?" Dhira sudah tak bisa berpura pura lagi.
Sebenarnya ada rasa rindu yang mendalam menggelayut di benaknya, ia tak tahu harus bersikap seperti apa saat ini. Ingin sekali rasanya ia memeluk dan mencium aroma maskulin yang tak pernah bisa terlupakan itu.
"Tak ada alasan yang lain selain merindukan kamu, bidadariku," sahut Tama jujur.
"Stop memanggil aku bidadari," bentak Dhira pada Tama.
Tama tersenyum simpul, matanya terus menyoroti Dhira yang tengah menatapnya kesal.
"Kenapa?" tanya Tama datar.
Dhira menghela nafas kasar, ia sebenarnya tak ingin mengatakan tapi rasanya sudah cukup jengah melihat Tama yang selalu memanggilnya dengan sebutan bidadari.
"Hanya seseorang yang boleh memanggilku dengan sebutan itu?" Dhira menatap ke sembarang arah. Matanya seakan terlempar pasir, hingga perih yang terasa.
Tama berjalan mendekati Dhira yang tengah berdiri di depan jendela menatap pemandangan ibu kota dari jarak ketinggian. Lalu berdiri tepat di belakang Dhira, dan mendekatkan bibir di telingan Dhira. "Bidadari, kau boleh memanggil ku bidadari kak, dan hanya kau yang boleh memanggilku dengan sebutan itu," ucap Tama penuh kelembutan.
Deg...
Dhira terkejut, matanya membulat sempurna. Ucapan Tama sunguh membuatnya berdebar. Perkataan itu? membuat ingatan Dhira kembali pada lima belas tahun silam.
Tama membelai lembut rambut Dhira dari belakang, dirinya begitu sangat rindu pada bidadari kecil yang telah menyelamat kan jiwanya.
Dhira membalikkan tubuhnya hingga berhadapan dengan Tama dengan jarak dekat.
"Kk..ka..kamu? Kakak tampan?" ucap Dhira terbata dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata indahnya.
Tama menatap hangat pada wajah sendu yang di tampilkan oleh perempuan yang di cintainya itu. Sungguh ia sudah tak tahan untuk berlama lama menyembunyikan semua kenyataan dari Dhira.
Perlahan, tangannya membelai lembut wajah mulus Dhira. "Yes, i'm." sembari mengangguk perlahan.
Kini air mata yang menggenang itu telah berhasil menerobos keluar, di iringi gelengan pelan dari Dhira.
"Enggak, enggak mungkin. Kamu bohong mas, bohong." Dhira memukul kuat d**a bidang Tama yang tertutupi oleh setelan jas berwarna maroon itu berulang kali.
Tama membiarkan dadanya sejenak merasakan sakit akibat pukulan Dhira yang tak seberapa, tak lama ia meraih tubuh ideal itu mendekap dalam pelukannya.
Rindu, hanya itu yang Tama rasakan saat ini. Dirinya tak ingin kehilangan bidadarinya untuk yang kedua kalinya. Tama telah bersumpah pada dirinya sendiri untuk dapat melindungi sang bidadari walau harus nyawa taruhannya.
"Kamu jahat. Jahat..." Dhira berontak mencoba melepaskan tubuhnya dari pelukan Tama.
"Aku benci kamu, lepasin," ucap Dhira dalam isakannya.
Cup...
Tama mendaratkan bibirnya pada bibir Dhira, mencecapnya penuh kelembutan. Menyalurkan rasa rindu yang telah membuncah selama dua bulan tak bertemu, menahan rasa bersalah selama belasan tahun, berada di dekatnya tapi tak dapat memilikinya.
Semakin dalam lumatan itu hingga membuat keduanya terhanyut dalam lumatan penuh kerinduan, sampai Dhira pun mengalungkan kedua tangannya di leher Tama.
Lumatan hangat itu, berubah menjadi semakin panas saat Dhira menarik tengguk Tama untuk memperdalam gerakan keduanya.
"Aku merindukan mu kakak tampan," ucap Dhira di sela sela lumatan mereka.
Perlahan Tama melepaskan bibirnya, meraup wajah cantik itu begitu lembut, tatapan keduanya seakan menyampaikan kerinduan mendalam.
"Maafkan aku, bidadari ku. Aku mencintaimu."
Tama kembali menautkan bibirnya pada Dhira, bibir manis yang telah menjadi candu baginya, hingga tak ingin melepaskannya sedetik pun.
Dhira memejamkan kedua matanya, merasakan lumatan lembut dari bibir kenyal Tama. Dhira selalu nyaris kehilangan kewarasannya saat berada bersama Tama. Berbeda dengan Arjuna dan Vero, hanya Tama yang bisa membuatnya seperti ini. Mungkin hanya Tama seorang yang ada di hatinya saat ini dan mampu membuatnya tenang dan nyaman saat bersama.
'Aku akan mendapatkanmu kembali Dhira, bidadariku. Janjiku untuk terus melindungimu, mencintaimu sampai tuhan yang memisahkan kita,' batin Tama di sela lumatannya.