Kenzo menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Ia menggerutu dalam hatinya. Ia marah pada Windy, sangat marah. Bocah yang sudah dicuci otaknya itu oleh Ita, semakin membenci Windy saat ini.
Dasar wanita sialan! Mama dan papaku saja tidak pernah menamparku seperti ini. Berani-beraninya ia melakukan hal ini kepadaku, batin Kenzo.
Bocah itu langsung menggambil gawainya dan mulai menghubungi seseorang. Ia menghubungi Ita, ibunya.
“Halo, ada apa, Kenzo?” tanya Ita.
“Ma, mama harus tahu satu hal,” balas Kenzo dengan suara meninggi.
“Ada apa, Nak? Kamu baik-baik saja’kan di sana?”
“Baik bagaimana, wanita itu sudah menamparku dengan sangat keras.”
“Apa?! Windy menamparmu? Kenapa ia melakukan hal itu?”
“Kenapa lagi? Pasti karena ia tidak suka aku di sini. Aku hanya tanya di mana papa, jawabannya sangat ketus. Lalu tiba-tiba ia menamparku begitu saja. Ma, aku tidak suka di sini. Aku sangat membenci wanita itu. Ternyata mama benar, ia adalah wanita yang jahat.”
Tanpa disadari oleh Kenzo, ibunya malah tersenyum senang di seberang sana. Ia sudah berhasil menciptakan suasana keruh di rumah Windy.
“Ma, kenapa mama diam saja? Mama nggak kasihan sama aku?”
“Bukan begitu, Sayang … Mama malah berpikir justru bagus kamu ada di sana.”
“Kok malah bagus? Mama nggak lihat kalau aku ditampar sama wanita itu. Ini baru hari pertama, Ma. Bagaimana hari-hariku selanjutnya di sini nanti?”
“Justru itu bagus, Sayang … Kamu harus ngadu sama papa kamu. Kamu bilang semuanya pada papa. Kapan perlu, kamu tambah-tambahin bumbu drama. Kamu ngga maukan kalau papa bahagia sama wanita jahat kayak gitu? Apa lagi papa kamu malah lebih sayang pada anak-anak tirinya itu dibading sama kamu. Kenzo, kamu harus bergerak maju, Nak. Rebut kembali apa yang seharusnya memang milik kamu, Sayang … rebut kembali papa kamu, rebut hartanya dan rebut semua uangnya. Jangan biarkan papa kamu malah menyenangkan anak-anak tirinya itu.”
“Iya, Ma,” balas Kenzo.
“Kenzo, kamu nggak mau melihat papa kamu pontang panting cari uang hanya untuk anak-anak tirinya itu’kan? Malah kamu sebagai anak kandung malah diabaikan?”
“Itu namanya tidak adil. Lagi pula aku juga tidak suka dengan anak-anak dari wanita itu.”
“Justru itu, kamu harus dengar kata mama. Kamu harus tetap di sana. Ciptakan drama di sana. Kamu harus buat papa kamu membenci wanita itu. Kalau kamu memang sayang pada mama dan ingin mama kembali bersatu dengan papa, kamu harus lakukan hal itu. Kamu harus kembalikan keutuhan keluarga kita.”
“Baiklah, Ma.”
“Bagus, Sayang … Jangan lupa kabari mama setiap waktu. Mama akan hubungi papa kamu dan akan sampaikan semuanya pada papa kamu.”
“Iya, Ma.”
“Sekarang kamu tenang saja. Ambil salap dingin, lalu oles saja pada pipimu. Atau kompres saja dengan air hangat. Nanti juga sakitnya hilang.”
“Baiklah, Ma.”
“Mama tutup dulu teleponnya ya. Mama akan hubungi papa kamu dan akan katakan semua yang kamu sampaikan kepadanya. Kamu istirahata saja dulu.”
“Iya, Ma ….”
Panggilan suara itu pun akhirnya terputus. Ita yang memutusnya lebih dahulu.
Di tempat berbeda, Ita tersenyum senang. Bukan senang karena putranya dapat penganiyaan, tapi senang karena punya bahan untuk menghasut sang mantan suami. Tanpa pikir panjang, Ita langsung menghubungi Irfan—mantan suaminya.
Satu kali panggilan tidak dijawab, panggilan ke dua pun sama. Ita mulai kesal lalu mulai mengetikkan sesuatu di ponselnya.
Bang, telepon aku segera! Ada hal penting yang ingin aku bicarakan. Ini terkait masalah Kenzo yang dapat penganiayaan di rumah kamu! Begitulah bunyi pesan yang dikirm Ita kepada mantan suaminya.
Dua puluh menit berselang, pesan yang dikirim Ita masih saja centang dua berwarna abu-abu. Artinya, Irfan sama sekali belum membaca pesan itu. Ita masih menunggu dengan perasaan kesal bercampur amarah.
Empat puluh menit berlalu, akhirnya pesan itu centang biru juga. Ita segera menghubungi Irfan ketika pesan yang ia kirim sudah centang biru.
“Ada apa, Ita?” jawab Irfan tanpa salam pembuka.
“Bang, kamu di mana sih? Dari tadi aku hubungi tapi kamu tidak mengangkatnya.”
“Aku sedang menemui klien. Memangnya ada apa?”
“Itu, tadi Kenzo menghubungiku. Ia menangis terisak sambil bilang minta jemput. Bang, apa kamu nggak perhatiin bagaimana anak kamu di sana?”
“Maksud kamu apa, Ita? Bukankah Kenzo baru datang hari ini dan tadi ketika aku tinggal ia masih baik-baik saja.”
“Baik-baik saja bagaimana? Ia baru saja dapat penganiyaan di sana.”
“Ita, kamu jangan mengada-ngada. Lagi pula aku tidak punya waktu untuk meladeni kegilaan kamu ini.”
“Bang, aku ini nggak gila. Kenzo itu anak aku, darah dagingku. Susah payah aku mengandung, melahirkan dan membesarkannya, tapi Sekarang ia malah dianiaya oleh orang lain. Ibu mana yang mau terima begitu saja, Bang?”
“Jangan bertele-tele, Ita. Katakan saja apa yang ingin kamu katakan.”
“Kenzo baru saja ditampar dengan sangat keras oleh Windy.”
“Apa?! Itu tidak mungkin. Jangankan menampar seorang anak, membunuh seekor kecoa saja, Windy tidak berani. Kamu jangan mengada-ngada, Ita. Tolong jangan buat keruh di tengah keluarga baruku. Bukankah kamu yang minta perceraian ini? Kenapa sekarang kamu malah menciptakan keruh, ha?”
“Bang, siapa yang menciptakan keruh di tengah-tengah keluarga barumu? Lagi pula aku tidak pernah mengungkit masalah perceraian kita. Ini adalah masalah Kenzo, anak kita, anak kamu. Bagaimanapun juga Kenzo berhak dapat kasih sayang dari kamu maupun aku. Ia adalah anak kita berdua.”
“Iya, aku tahu … tapi tolong jangan buat kebohongan dengan mengatakan kalau Windy sudah menganiaya Kenzo. Aku tidak yakin Windy tega melakukan hal itu.”
“Kamu bilang apa? Aku bohong? Bang, kalau kamu tidak percaya, kamu tanya saja sama anak kamu. Kamu tanya sama istri tersayang kamu itu. Wanita yang sudah berani main tangan sama anakku. Bang, aku peringatkan kamu sekali lagi, kalau kamu tidak bisa membereskan masalah ini, maka aku sendiri yang akan datang ke sana untuk membereskannya. Sebagai seorang ibu, aku tidak terima kalau Kenzo dapat perlakuan tidak menyenangkan di sana.”
“Baiklah … nanti aku akan coba tanyakan pada Kenzo dan Windy. Kamu tenang saja.”
“Kamu memang harus melakukan hal itu, Bang. Atau aku akan membuat laporan ke kepolisian atas tuduhan KDRT terhadap anak. Aku akan bawa Kenzo visum ke dokter dan akan menyeret istrimu ke penjara.”
“Jangan, Ita … Kamu jangan lakukan hal itu. Aku akan membereskannya. Aku berjanji akan menyelesaikan masalah ini. Kalau saja apa yang kamu katakan itu memang benar, aku pastikan hal itu tidak akan terulang lagi. Aku akan beri pengertian pada Windy.”
“Ya, kamu memang harus melakukan hal itu. Ingat, Bang. Kenzo itu anak kamu, darah daging kamu. Sementara Windy dan anak-anaknya hanya orang baru yang datang ke dalam kehidupan kamu. Jangan sampai kamu mengabaikan kewajiban utama kamu. Aku tidak mau mendengar hal ini lagi. Tolong jaga anak kita dengan baik di sana.”
“Iya, Ita … Kamu tenang saja. Aku akan pastikan hal ini tidak akan terulang lagi. Setelah urusanku selesai, aku akan segera pulang dan membereskan semuanya.”
“Harus, Bang ….”
“Sudah ya, Ita. Aku harus melanjutkan pekerjaanku sebentar, setelah itu aku akan segera pulang.”
“Kamu harus pastikan Kenzo mendapatkan perlakuan baik di sana.”
“Iya aku janji … Assalamu’alaikum ….”
“Wa’alaikumussalam ….”
Panggilan suara itu pun akhirnya terputus.