Ruang makan rumah Irfan malam ini tampak sangat berbeda. Biasanya di meja makan itu, hanya ada suasana ceria dan bersahaja. Namun malam ini, semua terkesan kaku. Kenzo hanya diam, menatap takut ke arah Windy. Windy pun sama, ia canggung di rumahnya sendiri. Selain karena rasa bersalah kepada Kenzo, ia juga kecewa dengan sikap sang suami.
Langit dan Mentari yang tidak tahu apa-apa, juga terkena imbasnya. Mereka sama-sama kaku karena suasana ruang makan yang tidak seperti biasanya. Ditambah lagi sikap ayah dan ibu mereka yang dingin dan tidak saling sapa.
“Aku tidak mau makan,” lirih Kenzo kemudian.
“Tidak mau makan? Kenapa?” tanya Irfan.”
“Aku mau makan di kamar saja, Pa. Aku tidak nyaman di sini. Mungkin karena aku belum terbiasa,” jawab Kenzo.
“Kenzo, kamu tidak boleh bersikap seperti itu. Sekarang kamu tinggal di sini bersama papa dan umi. Ada Langit dan Mentari juga sebagai teman. Bahkan ada adek Fandy juga di sana. Kenzo harus bisa berbaur dan membiasakan diri, Nak.”
Kenzo hanya diam. Ia kembali menoleh ke arah Windy sesaat, lalu menunduk.
Irfan menghela napas, “Kenzo, bukankah sudah papa katakan kalau mama Windy tidak akan menyakiti Kenzo lagi. Lagi pula itu hanya sebuah kesalah pahaman semata. Sekarang papa mohon agar kenzo mau makan bersama kita di sini.”
“Bang Kenzo, ayo makan … Nanti setelah makan, main sama Mentari saja. Mentari batu punya mainan baru lo. Baru tadi paketnya sampai. Dibelikan sama umi karena nilai Mentari sangat bagus di sekolah.” Hanya Mentari yang memberanikan diri berbicara dengan Kenzo dengan wajah cerianya.
“Beruntung sekali kamu dapat mainan dari mama kamu. Aku tadi hanya dapat tamparan saja dari mama kamu,” lirih Kenzo.
Mentari langsung terdiam. Langit juga sangat terkejut mendengar ucapan Kenzo. Ke dua anak-anak Windy itu langsung menoleh ke arah ibu mereka.
“Bang Kenzo, bang Kenzo nggak boleh bohong kayak gitu. Umi nggak mungkin melakukan hal itu. Aku dan dan kak Langit saja tidak pernah sedikit pun di sakiti oleh umi. Paling kalau umi marah, hanya suaranya saja yang keras. Jangankan memukul orang, memukul kecoa saja umi nggak berani,” jawab Mentari dengan polosnya.
“Aku dan kalian berdua itu beda. Kalian berdua adalah anak-anak kandung mama baru, sementara aku ini apa? Aku ini hanya anak tiri saja. Ternyata benar kata orang-orang kalau ibu tiri itu sangat kejam,” ucap Kenzo lagi.
Windy hanya diam. Ingin rasanya wanita itu membalas ucapan anak tirinya, tapi ia tidak ingin membuat suasana keruh di sana. Windy yakin, jika ia membela diri, yang ada Irfan malah memojokkannya nanti. Alhasil, Windy hanya bisa tertunduk dan berusaha dengan susah payah menahan air matanya.
Irfan sendiri menghela napas. Ia kecewa sekaligus sedih dengan sikap sang putra. Irfan kecewa karena Kenzo mengungkit-ngungkit hal itu di meja makan, sementara ia juga sedih karena putranya sudah dapat pengalaman yang tidak menyenangkan dari istrinya.
“Kenzo, papa mohon berhenti mengatakan hal itu. Papa yakin mama Windy hanya emosi sesaat saja. Kamu tahu sendiri kalau mama Windy itu sedang hamil muda. Jadi wajar saja emosinya naik turun. Bukankah papa sudah berjanji akan memperbaiki semuanya. Papa yakin, ke depannya tidak akan ada lagi kejadian seperti ini.”
Kenzo hanya tertunduk. Ia benar-benar sangat pintar memainkan drama. Jika bocah itu ikut audisi pencarian bakat, mungkin ia akan lolos sebagai pemeran antagonis. Wajahnya juga cukup mendukung karena ia termasuk cukup tampan dengan wajah sombongnya.
Ke dua netra Kenzo mulai berkaca-kaca. Entah bagaimana caranya Kenzo mengeluarkan air matanya begitu saja, padahal ia tidak benar-benar sedang sedih. Bahkan dalah hatinya, bocah itu tersenyum senang melihat wajah sang ibu tiri mulai merah padam. Belum lagi Langit dan Mentari yang terkejut dengan ucapannya tadi.
“Kenzo, papa mohon berhentilah bersedih. Lagi pula ini masih hari pertama kamu di sini. Papa yakin hari-hari berikutnya akan lebih baik lagi.”
“Tapi bagaimana kalau hari-hari berikutnya tidak ada perubahan, Pa? Bagaimana kalau aku dapat penganiayaan lagi?”
“Papa yakin, itu tidak akan terulang lagi.”
“Tapi bagaimana kalau terjadi lagi?” Kenzo mendesak jawaban dari ayahnya.
Irfan menghela napas, “Papa akan marahi mama Windy. Bahkan mungkin papa akan memberikan sanksi kepada mama Windy,” ucap Irfan.
Apa yang diucapkan oleh Irfan, sontak membuat Windy kecewa dan berang. Ingin rasanya ia berbicara untuk membela diri. Bahkan mungkin memaki Kenzo yang sudah berbohong kepada Ayahnya di depan semua anak-anak Windy. Tapi Windy masih tahu diri, ia sekuat tenaga berusaha mengendalikan diri agar tidak emosi apa lagi memancing keruh di malam yang seharusnya indah itu.
“Sekarang papa mohon, tolong jangan bahas masalah itu lagi. Kenzo makan, Langit dan Mentari juga makan, mama Windy dan papa juga makan, oke!”
Kenzo mengangguk.
“Papa akan ambilkan nasinya untuk Kenzo.”
“Terima kasih, Pa,” jawab Kenzo dengan sangat sopan. Seolah ia adalah anak yang sangat baik yang sangat santun kepada orang yang lebih dewasa.
Pada akhirnya, semua yang ada di meja makan itu mulai menikmati makanan mereka. Tapi tetap saja suasananya berbeda, tidak ada canda tawa, tidak ada tegur sapa dan tidak ada celotehan ringan yang biasa mereka dengar setiap malam ketika makan malam bersama.
Semuanya tampak kaku. Bahkan Langit dan Mentari berkali-kali saling tatap karena heran dengan suasana meja makan malam ini. Mentari bahkan berkali-kali juga menoleh ke arah Irfan dan kenzo secara bergantian seraya menyuap makanannya.
Tidak lama, makan malam pun usai. Kenzo adalah orang yang pertama yang pamit meninggalkan meja makan itu.
“Pa, Kenzo sudah selesai. Kenzo mau izin balik kamar dulu,” ucap bocah itu.
“Iya, Nak. Pergilah ….” Irfan tersenyum. Ia menyugar lembut rambut sang anak yang sudah mulai tinggi.
“Mama Windy, Kenzo mau pamit,” ucapnya lembut dengan suara bergetar. Pintar dan memang sangat piawai bermain drama. Penulis agak sulit mendeskripsikan betapa pintarnya si Kenzo ini berakting, padahal usianya masih dua belas tahun.
Andai saja mereka tinggal di kota besar seperti Jakarta dan ada audisi pencarian aktor anak-anak pemeran antagonis, Kenzo ini dipastikan lolos dengan sangat baik karena saking piawainya bocah itu berdrama dan memutar balik fakta.
“Iya, Sayang … Sekali lagi mama minta maaf,” lirih Windy kemudian. Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari bibirnya selama berada di meja makan. Windy pun tersenyum tulus ke arah sang putra sambung.
Kenzo mengangguk, bocah itu pun berlalu masuk ke dalam kamarnya.
“Umi, Papa, Mentari juga izin pamit ya … Mentari sudah tidak sabar mainin paket yang baru sampai tadi,” ucap Mentari.
“Iya, sayang … Tugas sekolahnya bagaimana? Apa sudah diselesaikan?”
“Sudah kok, Pa. Tadi sore umi yang bantu.”
“Pintar … Pergilah main.”
“Terima kasih, Papa ….” Mentari pun turun dari meja makan dan berlalu menuju ruang keluarga. Ia sudah tidak sabar memainkan mainan barunya yang baru diantar kurir sore tadi.
“Pa, Umi, Langit juga minta izin pamit dulu. Mau ngerjain tugas sekolah yang belum selesai.” Kali ini Langit yang pamit.
“Iya, Nak … Pergilah,” balas Irfan.
Langit pun ikut pergi meninggalkan meja makan. Kini, hanya ada Windy dan Irfan di sana. Mereka duduk berhadapan karena tadi Kenzo duduk di samping Irfan.
Lagi-lagi, suasana canggung begitu kentara di sana. Biasanya Irfan dan Windy selalu berbincang ringan di meja makan. Selain kamar dan ranjang, ruang makan adalah tempat ternyaman bagi ke duanya untuk saling bercerita satu dengan yang lainnya.
Banyak hal yang mereka ceritakan, biasanya. Mulai dari pekerjaan Irfan, tingkah anak-anak sampai pengalaman Windy dengan pekerjaanya sebagai penulis n****+ online. Tapi kali ini ke duanya saling diam. Baik Irfan atau Windy seakan enggan dan segan untuk mengeluarkan kata terlebih dahulu.