“Ada apa, Bang?” tanya Windy. Wanita yang sedang hamil muda itu sedikit banyak mendengar percakapan Irfan lewat panggilan suara.
Irfan tersentak, “Eh sayang … Kamu di sini.”
“Aku di sini dari tadi. Memangnya kenapa? Muka kamu kenapa kayak gitu, Bang? Apa ada masalah?”
“Bukan masalah sih sebenarnya, tapi—.” Irfan tidak melanjutkan ucapannya.
“Tapi apa, Bang?”
“Begini, Windy. Tadi menelepon itu adalah Kenzo.”
“Iya, aku tahu. Lalu apa Kenzo minta tinggal di sini bersama kita?”
“Kamu nggak keberatan’kan?”
“Tentu saja aku tidak keberatan. Hanya saja aku tidak ingin kak Ita ikut campur urusan rumah tangga kita. Dengan kata lain, aku tidak ingin kak Ita malah memanfaatkan Kenzo untuk kepentingan pribadinya. Maaf jika aku berpikiran seperti itu. Tapi ini kenyataan yang harus kita waspadai, Bang. Kamu tidak bisa mengabaikan apa yang sudah kak Ita lakukan pada kita selama ini.”
“Iya, abang tahu … Abang sebenarnya juga enggan menerima, tapi abang tidak punya alasan untuk melarang Kenzo tinggal di sini. Apa lagi Kenzo itu adalah anak kandungku.”
Mendengar kata terakhir yang diucapkan Irfan, membuat bulu kuduk Windy seketika bergidik. Windy merinding, sebab ia tahu jika ke tiga anak yang saat ini tinggal dengan mereka bukanlah anak Irfan. Langit dan Mentari merupakan anak dari mendiang suami pertama Windy, sementara Fandy adalah anak Putra—lelaki yang tidak pernah menganggapnya sebagai istri. “Silahkan baca cerita Bukan Mauku” untuk mengetahui cerita sebelumnya.
“Kenapa kamu diam, Windy?” tanya Irfan.
“Ah, tidak apa-apa, Bang. Aku mau istirahat dulu.”
Irfan mengangguk.
Windy berlalu ke dalam kamarnya, berjalan menuju meja kerja tempat ia biasa menuangka segala kesuh kesah dan pikirannya dalam bentuk sebuah cerita. Profesinya sebagai penulis n****+ online cukup membuat kesibukan baru bagi Windy hingga pikiran suntuknya bisa dialihkan.
Wanita itu membuka laptopnya, ia menekan tombol power hingga laptop itu pun menyala. Windy mencari file dokumen cerita yang ia buat sebelumnya. Ia ingin melanjutkan kisah itu. Entah kisah tentang dirinya, atau kisah tentang orang sekitar atau kisah yang saat ini sedang viral. Yang pasti, Windy senang melakukannya.
Tidak terasa, sore pun menjelang. Irfan tengah bersantai di ruang keluarga bersama Fandy. Fandy semakin hari semakin menggemaskan saja. Sayangnya, wajahnya lebih mirip putra, bukan Windy. Hingga baik Windy maupun Irfan cukup sulit melupakan Putra seutuhnya.
“Selamat sore ….”
Semua orang yang ada di ruang keluarga dikejutkan oleh suara seseorang. Bukan kata salam yang menggema, tapi hanya sebuah kalimat singkat “selamat sore”.
Windy segera menyusul ke arah pintu utama. Seorang bocah lelaki berusia dua belas tahun berdiri di depan pintu dengan sebuah koper ditangan dan ransel di punggungnya.
“Kenzo …,” ucap Windy.
“Papa ada?” tanya bocah itu tanpa menjawab ucapan Windy. Bahkan ia sama sekali tidak ada niat menyalami ibu sambungnya itu.
“Ada di dalam, sedang bermain sama adik Fandy. Masuk yuk,” ucap Windy ramah. Wanita itu hendak menyentuh bahu Kenzo, tapi Kenzo segera menyentak tangan Windy. Bocah lelaki itu masuk tanpa memedulikan Windy.
“Papa …,” ucap Kenzo. Bocah itu melempar tas ranselnya begitu saja ke atas sofa santai. Ia juga meletakkan kopernya sembarangan.
“Kenzo, dengan siapa ke sini?” tanya Irfan. Fandy yang ada dalam dekapannya menatap heran ke arah Kenzo karena Fandy memang tidak pernah bertemu dengan bocah itu sebelumnya.
“Sendirian, tadi mama mengirimku dengan taksi online.”
“Kenzo sayang … Kopernya tolong tarik ke tepi, Nak. Atau langsung saja bawa ke kamar Kenzo ya,” ucap Windy, ramah.
Bocah itu langsung membalik badan. Ia menatap tajam wajah Windy. Terlihat jelas jika Kenzo sama sekali tidak menyukai Windy.
“Kenzo, apa yang dikatakan mama kamu itu benar. Jangan letakkan koper sembarangan seperti itu. Mama Windy sudah siapkan kamar buat kamu.”
“Iya, Sayang … Ayo ikut mama.”
Kenzo mengangguk. Ia tidak ingin membuat masalah dengan ayahnya. Bocah itu mengambil kembali koper dan ranselnya lalu berjalan mengikuti windy.
“Kenzo sayang, kamar Kenzo di sini ya. Di sebelah sana ada kamar Langit dan di sebelahnya lagi kamar Mentari.
Kenzo mengangguk tanpa menjawab.
“Ada yang bisa mama bantu lagi?”
“Tidak usah memanggil dirimu dengan sebutan mama seperti itu. Sampai kapan pun, mama aku hanya satu. Hanya mama Ita saja. Jadi jangan harap aku akan menerima kamu sebagai mamaku sampai kapan pun,” ketus Kenzo.
Mendengar ucapan sang anak sambung, hati Windy langsung memanas. Ia punya firasat buruk. Ini akan jadi petaka untuk kebahagiaan keluarga kecilnya di kemudian hari.
Astaghfirullah … Windy, jangan berpikir yang tidak-tidak. Kenzo itu masih anak-anak. Wajar saja ia bersikap demikian karena ia baru saja kehilangan keluarga yang lengkap. Kamu harus sabar. Kini kamu juga punya tanggung jawab untuk Kenzo. Tanggung jabwa menyayanginya, mendidiknya dan sabar atas semua tingkah lakunya. Windy membatin.
“Ngapain lagi tante di sini. Tante keluar saja, aku bisa mengurus diriku sendiri,” ketus Kenzo lagi.
Windy mengangguk tanpa menjawab. Ia keluar dari kamar dan menutup pintu kamar itu secara perlahan. Di balik pintu, Windy tidak kuasa menahan air matanya. Wanita itu menangis, sedih atas sikap dan perlakuan sang anak sambung.
“Mama, mama nangis?” Tiba-tiba saja langit datang dan kini sedang berdiri di samping sang ibu.
“Sa—sayang … Kamu sejak kapan ada di sini?” Windy tergagap.
“Kebetulan Langit lewat, Ma. Kamar langit’kan ada di sebelah kamar ini. Mama habis diapain sama anaknya papa Irfan?”
“Langit tahu kalau bang Kenzo ke sini?”
“Papa yang bilang tadi. Kata papa, bang Kenzo akan tinggal bersama kita mulai hari ini.”
“Iya … Mama harap Langit bisa berteman baik dengan bang Kenzo. Sebab kalian ini sudah jadi saudara sekarang.”
“Iya … Tapi Langit tidak suka kalau ada yang membuat mama menangis. Langit adalah anak sulung mama dan Langit pasti akan melakukan apa pun jika ada yang menyakiti mama.”
Windy membelai puncak kepala sang putra, “Iya, Sayang … Mama nggak apa-apa kok. Mama hanya belum terbiasa saja dengan kehadiran orang lain di rumah ini. Langit baik-baik ya sama bang Kenzo.”
“Iya, Ma.”
“Mama mau ke papa dulu. Langit katanya mau ke kamar ya? Silahkan masuk ke dalam kamar.”
“Iya, Ma. Langit mau mengambil bola. Teman-teman sudah menunggu di dpan rumah. Bolehkan Langit main bola di lapangan?”
“Boleh, Sayang … Kalau bisa ajak sekalian bang Kenzonya.”
“Jangan sekarang ya, Ma. Sebab Langit belum kenal. Lagi pula teman-temanya Langit sudah menunggu di depan.”
“Ya sudah, terserah langit saja. Mama mau ke ruang tengah dulu.”
“Iya, Ma.”
Langit tersenyum lalu menekan langkah menuju kamarnya. Sementara Windy juga meninggalkan ruangan itu menuju ruang keluarga.