Sang Iblis

1342 Words
    Keyakinan Leopold memang benar adanya. Tidak ada hal buruk yang terjadi pada diri Olevey. Gadis satu itu, kini tampak begitu tenang dalam tidur pulasnya. Olevey yang sebelumnya tampak gelamor dengan gaun mewah dan riasan full, kini tampak begitu polos selayaknya Olevey biasanya. Ia tampak mengenakan gaun berbahan sutra terbaik berwarna merah gelap. Rambutnya yang berwarna kecokelatan tergerai begitu saja di atas bantal empuk yang menyangga kepalanya. Benar, Olevey memang terbaring nyaman di atas ranjang luas yang memiliki empat tiang penyangga bagi kelambu merah tipis yang kini menggantung dengan anggun di setiap tiang.     Bergeser pada sisi lain ruangan tersebut, ada barang-barang mewah berupa set sofa empuk, karpet bulu, hingga lukisan abstrak yang sepertinya memiliki tema yang sama, merah. Siapa pun yang memiliki kamar, dan bangunan tersebut, sudah dipastikan adalah sosok kaya raya yang tidak ragu untuk mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya demi menyediakan ruangan yang nyaman serta berkelas. Ruangan itu terlampau hening, hingga setiap helaan napas Olevey yang lembut terdengar dengan begitu jelas. Namun, keheningan tersebut tidak bertahan lama, saat dua sosok bertubuh tinggi dan berbahu lebar memasuki ruangan tersebut yang tak lain adalah sebuah kamar.     Kedua sosok tersebut adalah seorang pria berambut hitam legam dengan netra merah berkilau selayaknya rubi, serta yang satunya adalah pria berambut keemasan bernetra serupa dengan rambutnya. Sosok berambut hitam itu melangkah dan duduk dengan nyaman di tepi ranjang dan mengamati Olevey yang masih tenang dalam tidurnya. Sementara pria berambut keemasan berdiri dengan sikap seorang ajudan yang patuh dan penuh hormat. Sudah jelas, jika sosok berambut hitam adalah sosok tuan yang tentunya memiliki kuasa yang tidak main-main.     “Sampai kapan aku harus membuatnya tertidur seperti ini, Exel?” tanya pria bernetra merah.     “Yang Mulia harus sedikit bersabar. Setidaknya, tunggu hingga efek sihir yang saat ini membuatnya tidur memudar dengan sendirinya. Setelah itu, Yang Mulia tidak perlu lagi memaksanya untuk tidur, untuk membuat beradaptasi di dunia ini,” jawab pria berambut keemasan yang tak lain adalah pemilik nama Exel.     Jangan heran dengan Exel yang memanggil sang tuan dengan sebutan yang mulia. Sebab itu jelas harus dilakukan, mengingat status sang tuan yang memang dianggap mulia di dunia tersebut. Tepat, pria berambut hitam dan bernetra semerah rubi tersebut, tak lain adalah Diederich Hedwig de Veldor. Sang Iblis, lebih tepatnya raja para iblis yang selama ini menerima persembahan yang diberikan oleh umat manusia di dunia tengah, demi menjaga perdamaian antara dunia manusia dan dunia iblis yang memang sering kali memanas.     Biasanya, Diederich sebagai seorang raja iblis yang memang sudah lama hidup, tidak memiliki ketertarikan pada apa pun. Bahkan, saat setiap kali persembahan tiba, Diederich tidak pernah terlihat berminat untuk datang dan mengambil persembahan tersebut. Namun, tahun ini berbeda. Dengan mengejutkannya, Diederich mengatakan jika dirinya ingin melihat dunia manusia, setidaknya lembah Darc yang memang menjadi tempat persembahan bersama Exel yang setiap tahunnya bertugas untuk mengambil barang persembahan dan memberikan batu rubi bagi sang gadis persembahan. Seharusnya, sejak hal itu terjadi Exel sudah bisa menyimpulkan jika memang akan ada hal besar yang terjadi.     Exel menggeser pandangannya pada sosok gadis persembahan yang kemarin sudah mencuri perhatian Diederich. Exel tidak bisa memungkiri jika sosok sang gadis persembahan memang menawan dengan pesona yang sangat jarang ditemukan di dunia iblis. Jujur saja, Exel sendiri memang merasakan ketertarikan yang kuat terhadap gadis satu ini. Namun, Exel merasa ada yang lebih dari sekadar pesona saja yang dimiliki oleh gadis ini, hingga bisa membuat dirinya bahkan sang raja memiliki ketertarikan sebesar ini.     Diederich yang merasakan pandangan Exel tertuju pada gadis yang masih terbaring tenang di atas ranjang, tanpa permisi mengeluarkan aura hitam yang tentu saja menekan Exel dengan mudahnya. Exel yang menyadari hal tersebut tak bisa menahan diri untuk segera berlutut. Ia sudah melayani tuannya selama ribuan tahun waktu dunia iblis. Tentu saja, dengan semua waktu tersebut, Exel mengerti jika saat ini tuannya tengah merasa tidak dengan sesuatu. Exel sendiri sadar, hal yang membuat Diederich tidak senang adalah tingkahnya yang tadi meletakkan pandangannya terlalu lama pada sang nona manusia.     “Maafkan saya Yang Mulia. Saya benar-benar tidak berniat untuk menyinggung perasaan Yang Mulia,” ucap Exel dengan sungguh-sungguh. Ia memang tidak sengaja meletakkan pandangannya terlalu pada nona manusia, yang tak bisa dipungkiri memiliki daya tarik sendiri.     Diederich melirik tajam dan membuat punggung Exel dirayapi hawa dingin yang mencekam. Tentu saja, Exel yang merasakan hal tersebut, merasa jika dirinya tengah dalam bahaya. Bisa saja, dirinya akan mendapatkan hukuman berat dari Diederich yang memang sudah marah besar padanya. Namun, ternyata Diederich memalingkan perhatiannya dan berkata, “Keluar.”     Tidak perlu meminta Diederich mengulang apa yang barusan yang ia katakan, Exel pun segera menunduk memberi hormat sebelum menghilang dari dalam ruangan tersebut. Dalam sekejap, ruangan luas dan mewah tersebut sudah tidak lagi diterangi cahaya lilin dan lampu yang sebelumnya memang memenuhi ruangan kamar. Selain itu, Diederich juga menyelubungi kamar tersebut dengan sihir perlindungan yang tidak bisa ditembus oleh siapa pun, kecuali atas seizinnya yang memang memasang sihir perlindungan tersebut.     Diederich menatap sosok Olevey yang masih terbaring dengan tenang. Tentu saja Diederich tahu jika Olevey masih mengarungi alam bawah sadarnya. Mungkin saja, Olevey tengah bermain-main di sana. Diederich mengernyitkan keningnya dalam-dalam saat netranya terasa sangat sulit meninggalkan sosok lemah yang berada di hadapannya ini. Jujur saja, Diederich sangat terganggu dengan sosok lemah ini. Jelas dirinya merasa terganggu karena eksistensi gadis ini telah mengganggu ketenangannya. Selama ini, tidak ada satu pun eksintesi yang bisa membuatnya tergerak untuk ingin terus melihatnya dan membuatnya terus berada di dekatnya.     Ya, Olevey adalah anomali bagi Diederich. Bagaimana bisa, seorang gadis manusia yang lemah sepertinya bisa membawa dampak sebesar ini padanya? Ia memang membawa Olevey ke dunia iblis karena dorongan refleks, ia bahkan tidak berpikir apa yang akan ia lakukan pada Olevey saat dirinya sudah berada di dunia iblis seperti ini. Sepertinya, keputusan yang terbaik adalah memusnahkan gadis di hadapannya ini. Setidaknya setelah ia musnah, Diederich tidak akan lagi merasa terganggu.     Tanpa banyak kata, Diederich pun mengulurkan salah satu tangannya dan berniat untuk mencekik leher jenjang Olevey. Hanya saja, belum juga dirinya berhasil menekan leher Olevey dan meremukkannya hingga pemiliknya tidak lagi bernyawa, Diederich merasakan sengatan seakan-akan tangannya tengah digigiti semut merah. Diederich tidak menarik tangannya dan memiliih untuk melihat apa yang menjadi penyebab hal tersebut. “Tanda mata? Kau pikir, tanda mata seperti itu bisa melindungimu dari raja iblis sepertiku?” tanya Diederich tajam.     Namun, tentu saja Olevey yang masih tidak sadarkan diri tidak memberikan jawaban apa pun. Diederich kembali berniat untuk kembali melaksanakan niatnya. Sayangnya, lagi-lagi niatannya terhalang karena kini kelopak mata yang semula menutup dengan rapat, mulai terbuka secara perlahan. Lalu tak lama, sepasang netra emerald yang berkilauan terbuka dengan indahnya di hadapan Diederich. Melihat hal itu, Diedirch sama sekali tidak berniat untuk menarik tangannya. Ia malah menyeringai dan berkata, “Kau bangun tepat waktu. Tentu saja membunuh saat korban sadar, akan terasa lebih menyenangkan. Bersiaplah, aku tidak akan memberikan rasa sakit yang terlalu lama untukmu.”     Olevey yang sebelumnya baru saja terbangun dan belum bisa mengembalikan orientasinya, kini terkejut saat lehernya yang jenjang sudah dicengkram dengan cengkraman yang cukup ketat. Olevey tersentak dan sadar sekaligus. Tentu saja, secara refleks, Olevey menyentuh cengkraman pada lehernya. Olevey berusaha untuk melepaskan cengkaraman yang sudah mulai menutup jalan napasnya. Sayangnya, usaha Olevey sia-sia. Tubuh Olevey sudah kehilangan tenaga dan melemas begitu saja.     Saat ini, Olevey tidak bisa berbuat apa pun selain menatap pria yang tengah mencekiknya. Sebelumnya, Olevey sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mengamati sosok yang sudah memberikan rasa sakit padanya ini. Namun, kali ini Olevey yang tengah berada di ujung hidupnya, memilih untuk menikmati keindahan yang tersaji di hadapannya. Rasanya tidak berlebihan jika Olevey menyebutnya sebagai keindahan. Karena selain berwajah indah dengan rahang dan hidung yang tegas, pria yang tengah mencekiknya ini juga memiliki sepasang netra indah sewarna rubi. Rasanya, ini kali pertama Olevey melihat warna netra seperti ini.     Saking indahnya, Olevey yang berada di ujung kesadarannya, tidak bisa menahan diri untuk berbisik, “Netra yang indah.”     Saat Olevey jatuh tak sadarkan diri, saat itulah Deiderich melepaskan cengkramannya dengan wajah yang cukup terkejut. Hal itu terjadi, karena Deiderich memang bisa mendengar apa yang dibisikkan oleh Olevey. Deiderich terdiam beberapa saat sebelum meledakkan tawanya yang terdengar mengerikan. “Menarik, sungguh menarik. Kita lihat, apa saja yang membuatmu berbeda dan terlihat lebih menarik daripa gadis manusia yang lainnya,” ucap Diederich dan menatap tajam pada Olevey yang sudah tak sadarkan diri lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD