Keesokan paginya, Sam memberikan kemeja putih dan rok mini berwarna hitam untuk Clara. Ia sibuk mengajarkan Clara untuk membuat berbagai macam minuman. Terkadang Clara juga menjadi pelayan yang mengantarkan pesanan ke meja-meja tamu. Sam menyiapkan sebuah scooter untuk Clara jika ada yang meminta layanan delivery. Hanya itu cara termudah baginya untuk bisa naik motor. Clara pun mulai sibuk berjalan dengan high heels-nya sambil mengantarkan beberapa pesanan. Kafe milik Samantha memang cukup ramai karena letaknya yang strategis di dekat pusat perbelanjaan. Saat gadis itu mengantar secangkir latte ke salah satu tamu, seorang pria tersenyum ramah padanya.
"Makasih ya dek. Pintar sekali udah bisa bantuin orangtuanya," sapanya ramah. Lagi-lagi Clara diperlakukan seperti anak kecil. Urat-uratnya mulai menegang seperti hendak berteriak pada si tamu.
Tatapan tajam mulai terasa di punggung Clara. Gadis itu melirik sedikit dan melihat Sam sedang mengawasinya. Oh ya, aku tidak boleh marah-marah di sini... Clara berusaha menarik napas panjang dan tersenyum walaupun tidak terlalu ikhlas.
"Maaf bang. Saya bukan anak kecil. Cuma kaki saya yang pendek. Mungkin malah saya yang lebih tua dari abang," seringai Clara terlihat menyeramkan. Si tamu pun terkejut mendengarnya dan langsung meminta maaf.
Memang susah bagi gadis itu untuk menahan amarah saat mendengar ada yang bicara padanya seperti adik kecil ataupun anak berumur 5 tahun. Bahkan kata-kata seperti, "Tingginya berapa mbak ?" atau "Kalau heels-nya dilepas jadi sependek apa ?" pun sering di dengarnya. Keinginan untuk berteriak dan melempar sepatu ke muka mereka pun sudah ditekan habis-habisan oleh Clara.
Telepon berdering dan Clara yang berdiri di dekatnya pun langsung mengangkat telepon itu.
"Selamat siang, kafe SweetTime melayani anda~" mood Clara sedang baik-baiknya siang itu.
“Pesan Chocolate brownies dan 2 Moccacino ke jalan Serayu nomor 25 ya." suara seorang pria langsung terdengar ke telinga Clara. Gadis itu menjepit telepon di antara telinga dan bahunya sambil mencatat pesanan si penelepon.
"Baik, masih ada pesanan lainnya ?" tanya Clara.
“Tidak, itu saja. Hmm... kalau bisa tolong diantar sama gadis kecil itu ya."
Alis Clara langsung berkerut. Siapa ini ? Mukanya mulai masam kembali mendengar kata 'kecil'. Si penelepon sedikit merusak mood Clara.
"Maaf, kenapa harus saya yang mengantar pesanan anda ya ?" Clara mengernyit penasaran.
“Oh ! Clara Evans ! Ternyata kau yang sedang mengangkat teleponku. Ada yang ingin kubicarakan denganmu makanya aku menyuruhmu yang mengantar pesananku." jawab si pria dengan sedikit terkejut setelah menyadari Clara lah yang mengangkat teleponnya.
"Dengan siapa ini ?" kening Clara semakin berkerut penasaran.
“Sebastian Julien. Kau masih ingat ?"
Tentu saja Clara ingat dengan lelaki jangkung yang mengejeknya terus menerus itu. Gadis itu menghela napas dan berkacak pinggang.
"Ada perlu apa denganku ?" tanya Clara jutek. "Nanti saja kubicarakan kalau kau sudah datang," jawab Sebastian. Wajah Clara semakin masam.
"Jadi, pesananmu tadi untuk hidangan aku bertamu ke rumahmu ?" tebak Clara.
“Benar sekali ! Kau cukup pintar ternyata." Sebastian tertawa ringan dan nampaknya senang mengobrol dengan gadis itu.
"Kalau begitu lebih baik kau ganti pesanannya menjadi strawberry shortcake. Aku tidak suka brownies." Clara menyeringai.
“Baiklah. Aku ikuti saja pesananmu. jawab Sebastian tanpa keberatan sama sekali.
"Kalau begitu moccacino-nya kuganti jadi strawberry smoothies, okay ?" kali ini Clara nampaknya sedikit girang. Ia mulai memikirkan makanan favoritnya.
“Tidak ! Tidak ! Kalau minuman aku tidak mau mengalah padamu." Suara Sebastian berubah serius.
"Kalau begitu aku tidak mau mengantar~" ancam Clara.
“Mana ada konsumen yang diancam pegawai seperti ini ???" protes Sebastian.
"Aku tidak mengancam. Kau 'kan yang mau mengundangku ke rumahmu. Ya, aku mau hidangan itu. Apa salahnya ? Tidak pernah dengar istilah tamu adalah raja ?" Clara nampaknya senang mengerjai lelaki itu.
“Baiklah, baiklah. Kalau begitu 1 strawberry smoothies dan 1 moccacino. Kau tidak akan memaksaku minum minuman yang sama denganmu, bukan ?" Sebastian menghela napas seperti letih berbicara dengan Clara.
"Oke ! Pesanan akan segera diantar~" Clara langsung menutup telepon dan menyerahkan daftar pesanan pada Sam yang menaikkan sebelah alisnya.
"Kau nampaknya senang sekali. Siapa yang menelepon ?" tanya Sam sambil membuat pesanan Clara.
'Pria yang kemarin kau bilang pangerannya Cinderella. Dia bilang mau bicara denganku," jawabnya sambil membantu Samantha mengambil kue.
"Hoo~ nampaknya dia tertarik padamu. Moga-moga saja kau lancar dengannya." Sam tersenyum tanpa mengalihkan pandangannya dari moccacino-nya.
"Bicara apa kau, Sam ? Aku tau dia cuma mau mengejekku pendek lagi. Tapi, tidak apa-apa karena dia memesan strawberry shortcake dan strawberry smoothies. Aku akan pura-pura tidak mendengarnya mengejekku dan fokus pada stroberi tercintaku~ hohoho~" Clara nampaknya sangat senang memikirkan makanannya. Sam berdecak melihatnya, "Dasar maniak stroberi."
Dengan mengendarai scooter-nya, Clara sampai ke rumah Sebastian. Kali ini, ia menemukan sapu lidi di sudut taman dan menggunakan gagangnya untuk menekan bel. Tidak butuh waktu lama bagi Clara untuk menunggu. Sebastian membuka pintu dan menoleh melihat Clara yang memegang sapu di tangannya. Ia ingin tertawa tapi diurungkan niatnya setelah melihat Clara menaikkan sebelah alisnya seperti ingin mengatakan, 'mau protes kau dengan caraku ???'
"Masuklah." Sebastian kembali masuk ke dalam rumah diikuti Clara. Gadis itu sampai harus mendongak untuk melihat kepala Sebastian. Dia tinggi sekali... pikir Clara dengan sedikit ternganga.
"Tinggimu berapa sih ?" tanya Clara tanpa sungkan. "193 cm," jawab Sebastian langsung. Clara hanya mengangguk-angguk dan diam kembali. Dasar menara ! Bagi dikit kek tingginya ! Maki Clara dalam hati
Ia duduk di sofa dan Sebastian duduk di depannya. Melihat Sebastian diam, Clara membuka kotak kue dan mengambil garpu plastik yang ada di kotak itu. Tanpa basa-basi, ia langsung memakan kuenya tanpa mengatakan apapun pada Sebastian yang melongo memandangnya.
"Siapa yang bilang kau boleh makan itu ?" tanyanya.
"Hng ? Kau bilang ini untukku. Jadi, sudah terlanjur kumakan. Kau mau ?" ia menyodorkan kue yang telah dimakannya ke arah Sebastian. Pria itu mengernyit dan menggeleng.
"Yah, makan sajalah. Aku cuma tidak habis pikir kau ini ternyata tidak punya malu." ejeknya. Clara hanya mengangguk tanpa menoleh dari kuenya sama sekali. Ia benar-benar tidak mau mempedulikan ucapan Sebastian.
"Jadi, apa yang mau kau bicarakan ?" Clara akhirnya menengadah memandang Sebastian. Pria itu tersentak seakan tersadar apa tujuannya memanggil Clara.
"Ah, aku cuma mau minta maaf karena menyebutmu anak kecil. Nampaknya aku tidak sopan dengan menyebutmu seperti itu. Kau kelihatan marah kemarin," kata Sebastian.
"Memang. Aku memang marah padamu. Kau pikir enak mendengar dirimu diejek pendek atau anak kecil terus-terusan sementara kenyataannya umurmu adalah umur seorang gadis yang sudah layak menikah." Gadis itu mulai berceloteh sambil menatap kuenya lagi dan menusuk-nusuknya.
"Nah, karena itu aku mau minta maaf padamu. Aku mengerti perasaanmu kok." Sebastian terlihat sangat serius.
"Oh ! Terima kasih ! Kau baik sekali, Sebastian ! Ah, namamu terlalu panjang untuk disebut." Clara berpura-pura ceria sesaat dan menunduk kembali memakan kuenya.