Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh dan juga alarm yang berdering sangat keras. Malam telah berganti, subuh menjelang dimana para malaikat semuanya turun. Seseorang dibalik selimut tebal itu mulai mengulet dan bersiap bangun. Ia membuka matanya dan bangkit untuk mandi lalu menunaikan shalat subuh.
Duduk bersimpuh dengan menengadahkan kedua tangannya ke atas, menatap langit, pandangan lurus ke depan dan memejamkan matanya. Ia mulai berdoa dengan sangat lirih sekali, mendoakan kedua orang tuanya dan semua saudara-saudaranya. Tanpa terasa, dalam doanya tersimpan luka yang mendalam. Bulir kristal mulai terjun bebas di atas wajahnya, ia tetap tenang dan tak berniat untuk menghapusnya justru malah dibiarkan jatuh bebas.
Ia mulai mengontrol dirinya, menenangkan kembali hati dan pikirannya lalu menarik nafas panjang, menghembuskannya perlahan. Diseka air matanya, lalu segera menyelesaikan ritualnya. Setelah itu, ia kembali melipat perlengkapan shalatnya dan keluar dari kamarnya.
Ayam mulai berkokok sahut menyahut sama sama lainnya. Sang fajar perlahan mulai naik dari ufuk barat. Ia menyibukkan dirinya di dapur, seraya sayup-sayup mendengar orang mengaji. Ia tau, yang mengaji pasti salah satu penghuni rumah itu.
Ujung bibirnya tertarik dan mulai tersenyum. Senyum yang dipancarkan sangat lembut dan tulus. Ia merasa yakin bahwa penghuni rumah tersebut sudah mulai membaik dari sebelumnya mengingat percakapan semalam.
Semoga kau bisa menjalani hari-harimu lebih baik dari sebelumnya, Aa, gumamnya.
Vivi sempat kembali pada keadaan semalam, dimana ia melihat seorang lelaki tampan, gagah itu menangis dengan tergugu seakan kehidupannya itu sudah hancur. Sorot matanya sendu dan menjelaskan bahwa ia tersiksa. Namun bibirnya tetap berusaha tersenyum walaupun luka hatinya masih basah.
Gadis itu menggeleng lemah, ia mulai kembali tersadar di dunia nyata. Ia kembali menyibukkan dirinya dengan bahan-bahan makanan, entah kenapa ia merasa harus membuat sesuatu yang bisa mengembalikan keceriaan teman sepupunya itu.
"Vi …."
"Eh, Aa, kenapa? Haus ya? Vivi sudah buatkan teh manis ini di meja. Sok atuh diminum sambil nunggu masakan ini selesai."
"Masak apa?"
"Nasi goreng seafood."
"Huum … haruummm … nasi goreng seafood …," ucap seseorang tiba-tiba membuat mereka yang berada di dapur terkejut.
"Gila! Tuh hidung tau aja makanan enak, haha," sahut Tama melihat sahabatnya datang seperti orang kelaparan.
"Lu 'kan tau ini makanan kesukaan, gue!" Vivi tanpa sengaja menjatuhkan spatula yang tadinya berada di tangannya, ia merasakan panas karena spatula tersebut terbuat dari besi.
"Vi, kau tidak apa-apa?"
"Eh, anu, gak pa-pa, Aa."
"Syukurlah."
"Ekhm … masih ada gue, loh."
"Maaf, Aa Tama."
"Gak pa-pa, Neng."
Mereka terlihat merona, hm … jangan-jangan ada sesuatu di antara mereka karena kejadian tadi malam? Reno lelaki yang baik, tapi aku takut jika Vivi terluka dan tersakiti. Memang Reno pernah bercerita daripada terus menerus disuruh menikah lagi lebih baik dikabulkan saja sekalian.
Ya, namanya lelaki. Menikah ingin ada mengurus, saling sayang, cinta, diperhatikan tetapi kehidupan yang dijalaninya berbeda. Justru ia berada di kendali istrinya yang menurutku benar-benar jauh sekali dari kriteria Reno. Itulah, makanya kenapa aku sempat memintanya untuk memikir matang-matang.
Aku tidak menyangka, ternyata kecantikannya menyimpan banyak rahasia gila dan menggilakan hanya untuk kepentingannya sendiri.
***
Tama mengajak Reno untuk berkeliling kota Tasik, ia tidak berharap luka sahabatnya itu cepat sembuh namun setidaknya sahabatnya bisa fresh dan tidak lagi merasa tersakiti. Vivian sudah diajak namun menolak dengan alasan ingin membuat kue, memang gadis itu bukan hanya cantik dan berhati lembut. Ia juga pintar memasak, membuat kue dan juga mencari uang.
Tidak heran jika banyak sekali lelaki yang berharap bisa meminangnya, tetapi setelah Amih meninggal, ia menjadi tanggung jawab keluarga Tama dan juga diriku. Vivian sudah dianggap seperti adik sendiri mengingat aku tidak mempunyai saudara lagi.
Saat ini, Reno dan Tama sedang duduk di pinggir taman tepatnya di alun-alun Tasik. Mereka menikmati semilir angin yang berhembus. Keduanya diam, terlihat menikmati sekali lingkungan disini. Tiba-tiba, ponsel Reno berdering, ia merogoh saku celananya dan saat dilihat ternyata istrinya yang menelpon.
Reno seakan enggan untuk menjawab, ia menyimpan ponsel di atas meja di antara minuman mereka. Tama hanya melihat sekilas dan fokus kembali ke depan melihat anak-anak kecil yang riang gembira bermain di taman bersama keluarganya.
Ponsel Reno berdering kembali dan ini sudah kelima kalinya. Tama menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, ia menatap sahabatnya yang masih enggan menjawab telpon tersebut. Tama hanya khawatir jika telpon itu sesuatu yang penting.
"Ren, jawab telponnya. Siapa tau penting.x
"Malas."
"Ren, telpon sudah berdering lima kali. Mungkin ada sesuatu yang urgent, jawablah. Tidak usah berbicara jika memang tidak berbicara, cukup mendengarkan apa yang dia ucapkan."
Reno tetap diam dan tak menggubris ucapan Tama. Lagi-lagi ponselnya berdering, kali ini Tama kehabisan stok sabarnya. Ia menjawab telpon tersebut tanpa berbicara dan tak lupa di loudspeaker agar sahabatnya mendengar.
"Hallo … assalammualaikum, Ren."
"Ren, ini Papah. Kamu dimana, Nak? Papah menelpon orang rumahmu katanya kau tidak ada dirumah."
"Nak, maafkan Sela ya, maafkan anak Papah."
"Ren, pulanglah. Sela sakit. Tolong jangan menghukum diri sendiri atas kesalahan yang bukan kau perbuat. Pulang, Nak. Papah tunggu di rumah, ya."
"See? Apa gue bilang? Ini penting! Bini lu, sakit!"
"Biarkan! Ada orang tuanya yang mengurus! Sekalian saja, orang tuanya itu merubah sikap anaknya yang menjijikan! Baru jika sudah berubah, maka gue akan kembali."
"Ren, lu gak bisa begini. Dia masih istri lu dan sudah kewajiban lu mengurusnya!"
"Harus gue urus seperti apa dan bagaimana lagi? Gue sudah mengurusnya dengan baik! Tapi, dia tidak bisa sedikitpun menghargai! Dia tidak menghargai bahkan berhasil menginjak-injak harga diri, gue!"
"Ren, setiap masalah itu ada jalan keluarnya. Lu jangan begini. Sikap lu ini menandakan lari dari masalah."
"Gue gak lari, Tam. Gue lagi menenangkan diri dan hati. Itu saja, tidak lebih dan kurang."
"Ya, tapi tidak seperti ini caranya."
"Lalu, bagaimana caranya?"
"Percuma gue ngomong, keadaan lu sedang tidak baik-baik saja. Apapun pendapat gue, pasti dengan mudah lu patahkan. Sebab, hati lu masih terbakar oleh emosi."
"Ren, marah boleh, kecewa boleh, sakit hati boleh. Tetapi, jangan biarkan semua hawa nafsu menguasai diri sehingga tidak bisa mengendalikan amarah dan membuat lu tidak bisa berempati!"
"Sadar, Ren. Dia tidak sepenuhnya salah, tapi lu juga disini, salah. Lu terlalu mengagungkan namanya seakan-akan dia itu segalanya dan ratu dalam hidup lu! Lu terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan waktu itu."
"Sudahlah, Tam. Gue muak saat ini mendengar ocehan lu itu. Gue pasti akan kembali, lu tenang saja! Tapi tolong berikan gue waktu, biarkan gue tenang terlebih dahulu baru bisa berpikir. Kalau keadaan gue masih seperti itu, gue tidak akan bisa mengambil keputusan untuk menghadapi Sela.
"Gue sengaja menjauh terlebih dahulu sebab memang ingin menenangkan hati dan pikiran. Gue khawatir emosi ini tidak bisa dikendalikan dan justru malah membuat Sela terluka karena ulah gue."
"Lu, tau, amarah gue seperti apa dan bagaimana, 'kan? Nah, gue menghindari hal itu tidak terjadi. Tolong mengerti."
Hening. Keduanya diam, tak ada lagi sahut menyahut seperti tadi. Keadaan yang memanas kembali tenang. Ibarat kata, saat berada di laut sedang diterjang ombak besar lalu dalam seketika ombak itu menghilang dan kembali tenang. Reno menarik nafas panjangnya berkali-kali.
"Tam," panggilnya.
"Heum."
"Maaf."
"Tidak apa-apa. Gue paham. Lu tenangin diri terlebih dahulu ya." Reno mengangguk.
"Tam."
"Apa lagi?"
"Gue akan menikah dengan Vivi," ucapnya tegas, membuat Tama membelalakan matanya tidak percaya dengan kata-kata yang barusan terlontar dari mulut sahabatnya itu. Tama tak sanggup menjawab, ia merasa kerongkongannya sangat tercekat, ia hanya memandang dalam sahabatnya mencari kebohongan dalam mata sahabatnya namun hanya kejujuran yang terlihat.
Reno tersenyum dan senyum itu terlihat sangat indah. Lelaki itu sepertinya benar-benar yakin dengan keputusannya untuk menikah lagi.
Menikah? Apakah Reno sudah memikirkan semuanya matang-matang? Apakah Reno melakukan ini karena ingin balas dendam pada istrinya? Atau justru ingin mengabulkan permintaan istrinya yang sering dilontarkan bahkan permintaan itu terlebih seperti perintah?
Apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah Vivi bersedia menikah dengan Reno? Apakah Vivi bersedia menjadi istri kedua dari sang CEO besar? Bagaimana tanggapan keluarga Reno dan Sela setelan mendengar keputusan anak sekaligus menantunya itu? Apakah mereka bisa menerima? Atau justru menolak dan marah besar?
***