Sepasang suami istri itu menghabiskan waktu liburan dengan sangat bahagia. Beberapa kali mereka mengunjungi tempat-tempat wisata dan pastinya tanpa Bude sebab beliau selalu berkata tidak ingin mengganggu pasangan suami istri yang tengah bahagia.
Bude bahagia sekali melihat anak dan menantunya selalu diselimuti oleh rasa cinta dan bahagia. Tanpa sepengetahuan Sela, beliau beberapa kali memberikan air yang sudah diberikan sesuatu. Semua ini dilakukan semata-mata untuk Sela. Beliau ingin, anaknya bahagia bersama lelaki pilihannya.
Sela terlihat sangat manja sekali dan membuat Bude terkadang geli sendiri melihat kelakuan anaknya itu. Besok, mereka akan kembali ke Bekasi dan membuat Bude merasa sedih juga kehilangan. Tetapi, mereka berjanji akan selalu mengunjunginya dikala ada libur panjang seperti sekarang ini.
"Kenapa kalian tidak menetap disini saja?" tanya Bude sendu.
"Tidak bisa begitu Bude, Sayang. Mas Reno 'kan ketua di perusahaan besar. Terlebih lagi Sela juga masih bekerja di tempat Papah, kami tidak bisa tinggal disini," balasnya lembut menggenggam tangan Bude.
"Bude, tidak usah khawatir. Nanti Reno dan Sela akan selalu berkunjung kesini, kalau perlu nanti ada supir yang menjemput Bude untuk tinggal bareng kami."
"Nah, betul itu, Bude."
"Tidak, Nak. Bude gak mau tinggal di kota besar. Bising sekali kalau tinggal di lingkungan besar, Bude lebih senang tinggal di kampung. Disini, tenang, damai dan tentram pun polusi tidak sebanyak di kota. Bude tak apa disini saja."
"Tapi, kami tidak tega jika meninggalkan Bude sendirian disini. Bude ikut saja bersama kami, ayo," ajak Sela membujuk budenya.
"Sela sayang, kamu tau alasan terbesar Bude tetap berada di kampung ini. Bude benar-benar tidak ingin meninggalkan rumah ini. Terlalu banyak kenangan indah di dalamnya. Rumah ini peninggalan orang-orang tersayang dan tercinta, Bude. Maka dari itu, Bude akan tetap disini, bertahan dan juga lebih memilih untuk menghabiskan waktu di masa tua Bude di tempat nyaman ini."
"Ta-tapi Bude … Sela takut jika terjadi sesuatu pada Bude tidak akan ada yang tahu."
"Hei, Sayang. Bude baik-baik saja, Nak. Jangan khawatirkan, Bude. Disini banyak tetangga yang peduli pada Bude. Kamu tenang ya. Dan memang itu yang Bude inginkan, Nak. Pergi selamanya di tempat ternyaman ini."
"Bude, jangan bicara seperti itu," ucap Sela sendu. Matanya berembun dan sebentar lagi sudah dapat dipastikan bulir kristal itu akan jatuh membasahi pipi.
Reno merasa canggung berada di situasi seperti ini, awalnya niat mereka masuk ke dalam kamar Bude untuk pamitan karena besok akan kembali ke kota eh malah jadi momen saling tangis begini membuatnya menggaruk kepala yang memang tidak gatal.
Reno segera memberikan kode pada Sela untuk kembali ke kamarnya. Tidak enak rasanya mengganggu Bude dan ponakannya yang sedang saling menangis itu. Reno meninggalkan mereka dan kembali ke kamarnya. Merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menunggu istrinya menuntaskan rasa rindu dan takut kehilangan bersama sang Bude.
Namun, siapa sangka, Bude bersikap seperti itu hanya akal-akalannya saja. Beliau memang sengaja membuat Reno meninggalkannya bersama Sela. Mengingat belakangan ini Sela lebih sering menghabiskan waktu bersama suaminya dibandingkan dengan dirinya, padahal ada hal yang harus mereka bicarakan.
"Nduk, tutup pintunya dan kunci!" bisiknya seraya memerintah membuat Sela menaikkan satu alisnya bingung dengan sikap budenya namun ia menuruti keinginan beliau.
"Kembali kesini, duduk sebelah, Bude." Sela kembali berjalan ke arah beliau dan segera duduk di tepi ranjang tepat sebelah beliau.
"Ada apa, Bude?"
"Bude sengaja secara tidak langsung membuat suamimu kembali ke kamar."
"Kenapa?"
"Bude ada perlu denganmu tetapi semenjak kau sampai disini hingga besok kembali tak ada sedikit waktu yang kau berikan untuk Bude."
"Maaf."
"Gak pa-pa, Sayang. Bude mau tanya, bagaimana sikap Reno selama disini?" Sela sungguh bingung dengan pertanyaan Budenya itu.
"Hah? Maksudnya, Bude?"
"Jawab, Nak!"
"Mas Reno baik, bahkan semakin baik dan juga semakin perhatian."
"Syukurlah! Berarti berhasil."
"Berhasil?"
"Iya, Nak."
"Apanya, Bude?"
"Ah, apa jangan-jangan Bude melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan Sela?"
"Iya, benar."
"Ah, pantas saja. Perubahan sikap Mas Reno sangat drastis sampai-sampai Sela berpikir memang dia sudah berubah," ucapnya terkikik.
"Ternyata, Bude yang sudah membantu. Terimakasih."
"Sama-sama, Sayang."
"Tapi, Bude. Apa yang Bude lakukan?"
"Tidak banyak. Bude hanya memasukan sesuatu ke dalam minumannya."
"Apa itu?"
"Kau tak perlu tau, Sayang. Nah, sekarang, kau buatkan dia teh hangat lalu masukan bubuk ini."
"Ini apa, Bude?"
"Obat tidur."
"Untuk apa?"
"Sudah lakukan saja. Lalu kamu jangan tertidur hingga pukul 00.15."
"Hah? Mau apa?"
"Mandi."
"Mandi lagi?"
"Iya, Sayang. Mandi lagi untuk menguatkan auramu! Kau ingin keluarga itu semakin bertekuk lutut di hadapanmu, bukan?" Sela mengangguk cepat.
"Maka dari itu, lakukan ini sekali lagi. Maka mereka akan semakin membelamu."
"Bude yakin?"
"Iya, Sayang. Sudah cepat buatkan minuman untuk suamimu dan pastikan dia meneguk habis minumnya." Sela mengangguk dan keluar dari kamar Bude menuju dapur untuk membuatkan minum sesuai dengan permintaan Bude.
***
"Mas," panggil Sela masuk ke dalam kamar.
"Sayang, sudah kangen-kangenannya?"
"Hehe, sudah, Mas. Maaf ya."
"Gak pa-pa, Sayang. Adik bawa apa?"
"Teh hangat untuk Mas."
"Baiknya. Makasih sayang."
Sela mengangguk meletakkan gelas berisi bubuk obat tidur itu di atas nakas dan ia naik ke atas ranjang duduk disebelah suaminya. Sela menyandarkan kepalanya di bahu suaminya yang sedang sibuk dengan benda pipih itu.
"Chatting sama siapa, Mas?"
"Pelanggan, Sayang."
"Alhamdulillah ya, Mas, semakin banyak peminat."
"Iya alhamdulillah berkah menikah, Sayang."
"Mas, diminum dulu nanti keburu dingin."
"Eh iya sampai lupa hehe, maaf ya, Sayang."
"Gak pa-pa, Mas."
Reno mulai meneguk minum buatan Sela dan memberikan senyum terbaiknya. Dalam hati Sela bersorak sebab sudah berhasil membuat suaminya minum air yang sudah di campur oleh obat tidur. Sebenarnya, ia tak tau maksud dan tujuan Bude sekarang memandikannya namun ia berusaha nurut saja untuk tidak menyakiti hatinya.
Mereka masih ngobrol dan banyak sekali yang diobrolkan. Mereka juga mengenang perjalanan cinta mereka hingga saat ini di satukan dalam ikatan suci pernikahan. Senyum Sela masih tercetak jelas di wajahnya, rona bahagia dan malu semakin membuatnya ayu. Tidak lama, Reno merasakan ngantuk yang sangat luar biasa. Ia meminta izin pada istrinya untuk tidur duluan.
Sela melihat jam dinding yang bersandar mesra di tembok besar itu. Menghela nafas panjangnya karena jam baru menunjukkan pukul sebelas malam itu artinya masih harus menunggu satu jam lagi. Ia sudah merasakan bosan bahkan menguap berkali-kali saking ngantuknya sebab mereka seharian membeli banyak sekali oleh-oleh untuk di bawa ke Bekasi.
Ia melihat ke samping, lelaki yang dalam beberapa waktu sudah menjadi suaminya. Wajahnya tampan sekali dengan jambang halus semakin membuatnya tampan. Teduh dan menenangkan, Sela mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir suaminya.
Aku sungguh sangat mencintaimu, Sayang. Kau adalah segalanya untukku maka dari itu, aku melakukan semua ini agar kau tetap menjadi milikku.
Tubuhmu dan aromamu membuatku candu, Sayang. Kau benar-benar memabukkan, ingin sekali aku berjalan-jalan di atas tubuh kekarmu itu tetapi bukan sekarang waktunya.
Semoga, kau selalu mencintaiku, Sayang. Dan tidak berniat untuk mengecewakan atau menyakiti hatiku.
***
Sesaat setelah Sela melamun tiba-tiba pintunya di ketuk, ia terperanjat. Takut dan khawatir kejadian yang lalu terulang kembali. Matanya mengawasi setiap sudut kamar dan pandangan matanya berhenti pada jendela yang tertutup gorden dengan sangat rapat. Sela menerjapkan matanya beberapa kali, mengawasi apabila ada sebuah pergerakan dari jendela tersebut.
Sorot matanya terus memandang jendela tersebut namun tetap damai tak ada ketukan atau apapun dari sudut itu. Pandangan Sela teralihkan pada jam dinding yang bersandar, ternyata sudah pukul sebelas empat puluh lima menit. Hatinya semakin was-was, dan berdegup sangat kencang sekali. Sela menghela nafas panjang dan menenangkan dirinya.
Dan, tiba-tiba terdengar kembali ketukan dan kali ini terdengar jelas dari arah pintu. Sela beringsut mundur dan membuat kepalanya terbentur ranjang. Sela mengumpat karena rasa sakit yang dirasakan di kepalanya.
Sial! Siapa yang mengetuk ya? Apa Bude? Atau siapa? Duh bikin takut aja, kampret!
"Sela …," panggilnya lirih. Sela mulai tenang, itu suara Budenya. Ia beranjak menuju pintu kamar, mengintip dari celah lubang pintu kamarnya. Ia semakin merasa tenang karena memang ternyata benar itu budenya.
Sela bergegas membuka pintu perlahan khawatir suaminya terbangun dari tidur nyenyak.
"Bude …," ucapnya lirih dengan mata was-was pada setiap sudut rumah itu. Terlihat peluh mulai menghiasi wajahnya yang ayu.
"Ada apa? Kenapa kau terlihat sangat takut?"
"Gak pa-pa, Bude. Sekarang?"
"Iya, Nduk. Ayo kita kehalaman belakang, Bude sudah menyiapkan semuanya disana, nanti kamu ganti baju di kamar mandi belakang saja." Sela mengangguk paham.
Mereka berjalan beriringan ke halaman belakang dan melaksanakan ritual yang sudah pernah dilakukan Sela sebelumnya. Ritual kali ini dilakukan untuk mematenkan apa yang ada di dalam diri Sela. Saat guyuran air mulai membasahi ubun-ubunnya terlihat ada sinar kembali yang sepertinya masuk ke dalam kepala Sela. Aneh tapi nyata memang benar adanya sinar itu bolak-balik di atas kepala Sela.
***