Matahari mulai naik memberikan kehangatan pada siapa saja yang sudah kembali beraktifitas di pagi hari yang indah ini. Para petani sudah memulai kegiatannya di sawah, beberapa orang menyapa Papah Dedi yang masih duduk diam tak bergeming di tempatnya semula. Beliau memilih untuk di tempat yang sama hingga merasa lelah memandang dan menerawang.
Bude Ratmi memanggilnya untuk sarapan namun sepertinya beliau masih enggan masuk dan bertemu dengan kakaknya itu. Bude hanya menggelengkan kepala saja dan berlalu menuju ke arah kamar Sela. Bude mengetuk pintu kamar anak gadisnya namun tak ada sahutan.
Perlahan, Bude membuka pintu kamar dan menggelengkan kepala melihat anak gadisnya ternyata masih menggulungkan badannya di atas ranjang dan ditutup oleh selimut sehingga tak terlihat tubuhnya yang mungil itu. Bude mendekat dan menyingkirkan selimut yang menutupi seluruh tubuh Sela.
Beliau mengguncangkan perlahan tubuh Sela dengan lembut. Namun tak ada juga jawaban, dibelainya surai anak gadisnya itu. "Sayang, bangun, sudah siang. Ayo kita sarapan."
"Eugh."
"Sela, ayo bangun, Nak."
"Jam berapa, Bude?"
"Jam tujuh pagi, Nak."
"Bude, ini pagi sekali, apakah boleh Sela melanjutkan tidur sebentar lagi? Sela masih ngantuk."
"Baiklah, Nak. Kalau lapar keluar ya, Bude sudah menyiapkan sarapan untukmu."
"Iya, Bude. Terimakasih."
Bude keluar kamar, sebenarnya beliau penasaran dan juga ingin mendengar cerita yang sempat terputus semalam terlebih lagi rasa penasarannya terhadap cerita dari adiknya. Beliau ingin menanyakan kepastian pada Sela, namun harus di urungkan karena permintaan gadis itu.
***
Matahari kembali naik, teriknya mengganggu seseorang yang masih sedang asik memejamkan mata dan bersembunyi di dalam selimut. Terik matahari masuk ke dalam kamar melalui ventilasi dan juga jendela yang ternyata sudah disingkap oleh wanita paruh baya tersebut.
"Siapa yang menyalakan lampu, sih!" gerutunya kesal.
"Oh Tuhaaannn! Sinar matahari ini sungguh sangat mengganggu tidur nyenyakku! Menyebalkan!"
"Sial! Makin terasa panas pula!"
"Ah sudahlah! Memang mungkin seharusnya bangun. Pukul berapa sekarang ya."
"Oh Tuhan! Ternyata pukul sembilan pagi, pantas saja perutku sudah mulai keroncongan."
"Mandi ah, terus sarapan deh, pasti Bude bikin masakan yang enak."
Sela bangkit dan melangkah menuju kamar mandi yang berada di kamarnya. Membersihkan diri dan tubuhnya, merasakan dinginnya air shower yang berhasil membuat matanya terbuka dan segar kembali. Setelah melakukan ritual di dalam kamar mandi, ia segera mengganti pakaian lalu berjalan dengan langkah bersemangat menuju ruang makan untuk sarapan.
"Bude," sapanya lembut saat melihat wanita paruh baya tersebut sepertinya sedang membuat sesuatu.
"Sudah bangun, Nduk. Ayo sarapan dulu sini." Sela mengangguk dan mendekatinya.
"Bude bikin apa?"
"Apa hayo tebak?"
"Hm … sepertinya cemilan kesukaanku."
"Hehe, betul sekali."
"Waahh … aku sudah tak sabar untuk memakannya."
"Sabar hehe, sekarang kamu makan dulu, Nak."
Sela mengangguk dan menyendok nasi goreng seafood dengan mata berbinar. Benar dugaannya, Budenya membuat makanan pagi kesukaannya dengan telur mata sapi.
"Ini makanan memang luar biasa."
"Enak, Nduk?"
"Selalu enak luar biasa."
"Habiskan."
"Pasti, Bude Sayang."
Sela kembali menyuap nasi yang berhasil membuatnya lupa akan diet. Selama ini, Sela selalu membatasi makan nasi tetapi setiap kali pulang ke kampung, ia tak akan mampu menahan untuk tidak makan banyak. Sebab, ya seperti ini, Budenya selalu memanjakannya.
"Ah kenyang sekali, Bude."
"Apakah kau masih sanggup menghabiskan semua cemilan yang Bude buat?"
"Waahhh, pasti dong akan sanggup. Aku tak mungkin tidak menghabiskan semua cemilan yang menggugah selera ini!"
Baiklah, Bude akan selesai terlebih dahulu semuanya ini. Lalu, setelah itu kita makan bersama sambil memandang hamparan sawah. Setuju?"
"Setuju, Bude," serunya bahagia sekali.
Sela merasa lebih senang tinggal dengan budenya, ia merasa kasih sayang budenya melebihi kasih sayang mamahnya. Entah mengapa, ada yang hilang dari hatinya setiap kali bersama sang mamah. Dan entah mengapa kasih sayang budenya pun luar biasa. Oh apa mungkin karena budenya itu tidak mempunyai anak sehingga menyalurkan semua kasih sayang dan cintanya pada Sela.
***
"Sela," panggil Bude melihat anaknya seperti sedang melamun memandang jauh hamparan sawah di hadapannya.
"Sayang," ucapnya kembali menyentuh bahu Sela dan membuat wanita itu berjengit kaget.
"Ya Allah, Bude. Sela kaget!" sungutnya.
"Lagian kamu melamun saja. Ini cemilan bakpaonya sudah jadi, Nak."
"Wah, sedapnya. Ini pasti sangat nikmat sekali. Ya 'kan, Bude?"
"Pasti dong. Ayo cobain."
"Huum … enak sekali, Bude. Masakan dan semua cemilan Bude memang selalu melezatkan."
"Sel," panggil Bude lembut.
"Iya, Bude."
"Apa kau ada masalah dengan suamimu?"
"Gak ada, Bude. Kenapa?"
"Oh gak pa-pa, Nak. Bude pikir kalian sedang ada masalah."
"Oh iya, mengenai pembicaraan kita semalam. Sela mau minta bantuan apa sama Bude?" Sela tampak bingung, tidak tau harus mulai dari mana. Ia menengok kanan dan kiri memastikan tak ada orang di sekitar kita.
"Kenapa?"
"Bude, ini rahasia. Sela hanya khawatir jika nanti ada yang mendengar pembicaraan kita."
"Papah dimana, Bude?" tanyanya sebab, sejak tadi dirinya seperti tak melihat keberadaan papahnya tersebut.
"Sepertinya belum kembali."
"Kemana?"
"Entahlah, kamu seperti tidak tahu saja papahmu setiap pulang kampung pasti sudah akan menghilang entah kemana."
"Syukurlah, itu lebih baik, daripada mengacaukan rencanaku nantinya."
"Rencana apa, Sel?"
"Bude, bagaimana kalau kita bicara di dalam saja."
"Memangnya kalau disini kenapa?"
"Ini rahasia, Bude."
"Oh, oke. Baiklah. Ayo kita masuk ke dalam."
Sesampainya di dalam, tepatnya di ruang tamu, Sela menceritakan semuanya pada Bude. Sela memberitahu rencananya membuat Bude menganga tak percaya dengan rencana ponakannya tersebut, namun seketika beliau justru mengangguk dan mengiyakan untuk membantu ponakannya. Beliau akan membantu apapun yang dibutuhkan oleh Sela, beliau tak ingin ponakan yang sudah dianggap anak itu kecewa karena sebuah penolakan.
"Tapi, Nduk, apa kamu yakin?"
"Kenapa harus ragu, Bude? Bukankah sudah Sela katakan tadi bahwa segala sesuatu konsekuensi yang nantinya terjadi pasti akan diterima. Apapun itu, Sela tidak akan mundur dengan tujuan ini."
"Apakah Bude berubah pikiran dan tidak ingin membantu Sela? Atau Bude takut?"
"Tidak, Sayang. Bukan begitu, Bude pasti akan membantumu demi kebahagiaanmu, Nak. Apapun itu akan Bude lakukan."
"Makasih, Bude. Memang Bude yang terbaik."
"Bude akan selalu berusaha untuk membahagiakanmu, Nak. Tapi, kamu harus ingat untuk tidak berlebihan untuk semua ini. Bude khawatir, Nak."
"Apa yang harus dikhawatirkan, Bude?"
"Keselamatanmu dan yang pasti nyawamu."
"Tenang, Bude. Semua akan baik-baik saja. Sela akan tetap baik-baik saja saat bersama Bude dan saat bantuan dari Bude diberikan pada Sela."
"Berjanjilah akan selalu membantu Sela, Bude."
"Bude janji, Nak. Akan selalu membantumu untuk bahagia."
Mereka berpelukan, Sela tersenyum menang karena berhasil membuat Papah dan Budenya menuruti keinginannya. Itu artinya, sebentar lagi satu persatu rencananya akan tercapai. Sebenarnya apa yang dibicarakan Sela dengan Bude? Apakah mereka akan pergi ke suatu tempat? Atau justru menemui seseorang? Atau mungkin …. Terlalu banyak atau dan mungkin yang bisa saja terjadi kapanpun dan dimanapun untuk saat ini.
Terlalu banyak yang menyayanginya sehingga membuatnya lupa diri bahkan besar kepala. Sela selalu memanfaatkan kasih sayang dan cinta keluarganya untuk sebuah keinginan, oh bukan keinginan melainkan ambisi untuk sesuatu hal yang harus didapatkan.
Awalnya, mereka pikir memanjakan Sela dapat membuat dirinya tak kekurangan kasih sayang, cinta dan perhatian. Tetapi, mereka salah, justru karena terlalu memanjakannya membuat wanita itu jadi ngelunjak. Setiap kali keinginannya tidak terwujud maka semua yang ada di sekitarnya tak segan-segan dibanting olehnya, maka sebab itu daripada membuat wanita itu stress lebih baik menurutinya. Tanpa pernah mereka ketahui, ada senyum kemenangan setiap kali Sela berhasil meluluh lantahkan hati keluarganya. Ia semakin semena-mena dengan semua orang dan terjadilah seperti ini.
Memang, sesuatu yang berlebihan itu sungguh sangat tidak baik. Termasuk, memberikan kasih sayang, cinta dan perhatian yang berlebihan. Segala sesuatu itu seharusnya sesuai dengan porsinya, ibarat kata ketika ada sebuah gelas kosong yang terisi air itu sudah seharusnya diisi sesuai dengan takaran gelas tersebut, tetapi ketika lupa akan hal tersebut membuat gelas itu kelebihan air yang isinya akan berantakan kemana-mana. Sama seperti cinta dan kasih sayang, jika berlebihan ya tidak baik karena bisa dimanfaatkan.
***