Bab 9

2587 Words
HAPPY READING *** Maikel menatap lurus ke depan, memperhatikan jarak mobil dan motor. Ia melirik Rara, “Habis dari jumpa pers tadi saya lapar. Kita lunch dulu ya sebelum ke rumah orang tua saya,” ucap Maikel. “Lunch di mana?” Tanya Rara. “Kita lunch yang ada ruang privatenya. Jika di ruang terbuka, saya yakin kita menjadi santapan public lagi.” “Iya kamu benar, apalagi saat ini pasti sudah ada jurnalis memposting skandal ini di media. Artikel tentang kita sudah di publish dalam hitungan menit. Setelah itu foto-foto kita terpajang di mana-mana.” “Saya jadi penasaran seperti apa foto kita di sana,” Maikel lalu tertawa. “Yang pasti keren. Kita makan di mana?” Tanya Rara. “Furusato Izakaya aja ya, di sana ada private room nya.” “Masakan Jepang ya?” “Iya. Kamu suka nggak makanan Jepang?” “Lumayan.” “Alasan kamu suka masakan jepang apa?” Tanya Maikel, ia akan mencairkan suasana agar mereka tidak memikirkan tentang jumpa pers tadi. “Mungkin semua produk olahannya itu segar, menggunakan daging mentah, sayuran yang segar, hal ini pasti membuat protein dan mineralnya tetap terjaga.” “Kalau kamu?” “Mungkin rasa kali ya, rasanya enak,” ucap Maikel terkekeh. “Kamu bisa masak nggak?” Tanya Maikel penasaran, jujur sebenarnya ia sama sekali tidak tahu tentang kehidupan Rara. Rara tersenyum ia memandang Maikel, “Saya suka masak.” “Really?” “Yes, saya senang memasak. Saya suka memasak sendiri sih dari pada makan di luar.” “Masak apa yang kamu bisa?” “Kebanyakan masakan Asia, terutama Indonesia.” Maikel menyungging senyum, “Wow, saya nggak nyangka kalau kamu bisa masak. Saya pikir kamu nggak bisa masak,” Maikel mengarahkan mobilnya ke restoran Furusato Izakaya. “Bisalah, termasuk hobi juga sih masak,” Rara tertawa. “Kamu mau masakin aku.” “Pasti aku masakin setiap hari.” “Terima kasih.” Maikel kembali menatap Rara, “Saya sering berkenalan dengan banyak wanita, silih berganti, mereka rata-rata nggak bisa memasak. Ya saya nggak mempermasalahkan wanita bisa memasak apa nggak, karena itu bukan kewajiban menurut saya. Saya tidak pernah menuntut wanita bisa masak. Tapi jika ada wanita yang senang memasak itu hal luar biasa.” Rara kembali menatap Maikel, “Saya suka cara pandang kamu tentang wanita. Kamu tidak menuntut wanita hamil, kamu juga tidak menuntut wanita bisa memasak? Why?” Tanya Rara. “Saya sebenarnya selalu ilfeel sama laki-laki yang mengidentifikasikan kerja di dapur sebagai keahlian dasar yang harus dimiliki wanita. Saya pernah membaca sebuah cuitan seorang pria tentang wanita tidak memasak di salah satu akun twitter, kata-katanya seperti ini. “Cewek jaman sekarang kalau disindir nggak bisa masak langsung marah-marah dan pasti ngomong, “cari istri apa babu.” Aneh banget sih menurut gua. Nggak ada hubungannya masak sama babu, emang dasarnya aja lo manja maunya dinafkahi tapi nggak mau nyenengin keluarga.” “Menurut saya, pria nggak perlu marah kalau wanita nggak bisa masak. Ini juga nggak ada hubungannya juga dengan babu. Kerjaan dosmetik yang diidentik dengan wanita itu nggak relevan lagi. Kamu tahu kan kerjaan domestik?” “Enggak.” “Itu loh kerja nyuci piring, cuci baju, ngepel, masak, ngurus anak apapun yang kerjaan di rumah.” “Ah ya, saya baru paham.” “Wanita nggak mutlak harus menguasai pekerjaan rumah. Rumah tangga itu dibangun dengan dua orang saling mencintai, kenapa pembagian peran begitu kentara, sakitnya di wanita. Harusnya sebagai suami istri harus mendiskusikan ini bersama-sama. Kalau si wanita setuju menangani pekerjaan domestik ya nggak masalah.” “Saya bukan pria yang senang mendikte, menyuruh wanita saya, apalagi merasakan dirinya terkekang hanya di rumah. Saya lebih suka wanita yang senang bekerja sesuai dengan passionnya, impiannya. Saya nggak ingin cita-citanya dihentikan dengan keegoisan saya.” “Laki-laki jaman sekarang masih banyak pikirannya masih kolot, yang mengharusnya wanita bisa masak, n***e, ngurus anak. Eman sepasinya begini, kamu bisa nyetir?” “Bisa.” “Kalau wanita bisa nyetir, bisa cari uang sendiri itu sudah masuk dalam katagori eman sipasi wanita. Jika itu bisa dilakukan dengan wanita, pria juga harus bisa masak dan mengurus rumah kan.” “Wow, saya nggak nyangka kamu bisa berpikiran terbuka seperti itu. Saya setuju dengan pendapat kamu.” “Thank you.” Mobil kini berhenti di restoran Furusato Izakaya, Maikel dan Rara masuk ke dalam lobby restoran. Jam makan siang sudah berakhir jadi tidak terlalu ramai. Mereka hanya menatap beberapa orang makan di table. Server menyambut mereka dengan hangat dan Maikel meminta ruang private. Setelah itu, server membawa mereka ke lantai dua yang khusus private room. Rara dan Maikel melepas sepatunya, mereka duduk lesehan di atas tatami (tikar dari jerami padi khas jepang) yang identik dengan kebudayaan dan tradisi negeri sakura. Rara memperhatikan restoran ini, restoran ini memiliki warna earth tone yang sangat claming menghiasi interior ruangan, ada shoji, pintu geser khas Jepang yang dibuat dari rangka kayu dan dilapisi oleh kertas. Unsur autentik dan kemegahan terpancar. Ia merasa seperti berada di negara aslinya. Maikel memesan sushi, assorted sashimi, okonomiyaki, yasai dan dua botol sake. Rara menatap Maikel pria itu merogoh ponsel di saku celananya. Ia memandang ke arah layar ponsel menatap nama “Mama Caling.” “Mama nelfon saya,” ucap Maikel, ia menggeser tombol hijau pada layar. Ia letakan ponsel itu di telinga. “Iya halo ma,” ucap Maikel. “Kamu di mana? Jadi ke rumah?” Maikel melirik Rara yang hanya diam mendengarkannya, “Iya, ma ini kita lunch dulu. Mungkin sejam lagi ke rumah.” “Ya ampun kamu ini. Kan bisa makan di rumah.” “Udah kelaperan mama.” “Mama tenang aja, pasti ke sana.” “Iya, mama tunggu di rumah.” Sambungan pun terputus, Maikel menaruh ponselnya di atas meja, “Mama sepertinya nggak sabar mau ketemu kamu.” “Pasti mama kamu mau nanyain soal pernikahan kita.” “Pastinya, mama saya selalu begitu,” ucap Maikel tertawa. “Biasa lah orang tua. Kedua saudara saya belum ada yang berani menikah.” “Why?” Maikel tersenyum ia menatap Rara, “Mungkin banyak yang mesti dipikirkan. Padahal umurnya di atas saya. Kalau nggak ada skandal ini saya juga pasti enggan menikah.” Rara menyungging senyum, “Mungkin saya juga seperti itu.” Maikel dan Rara melihat server membawa pesanannya. Mereka melihat hidangan yang tersaji di atas meja, sushi dan sashimi terlihat sangat cantik di atas piring persegi. Maikel menuangkan sake ke dalam gelas, dan Maikel meneguknya. “Beberapa hari ini saya sering melihat kamu minum alkohol,” ucap Rara. Alis Maikel terangkat, ia mengambil sushi dengan sumpit, “Kamu memperhatikan saya?” Ia memasukan Sushi itu ke dalam mulutnya. “Setiap bertemu kamu saya selalu melihat kamu menegak alkohol.” “Mungkin terlalu banyak yang dipikirkan, saya memilih menegak alkohol karena rasanya enak apalagi untuk bersantai dari pada pelarian saya merokok.” “Kamu merokok?” “Dulu dua tahun yang lalu. Jika masalahnya sudah berat sekali, nggak bisa di tangani lagi, mungkin saya akan merokok. Tapi kamu tenang saja, saya sudah dua tahun nggak merokok dan saya benar-benar berhenti.” “I see.” “Makan lah, kamu pasti lapar juga,” ucap Maikel, ia menatap Rara, wanita itu menegak sake yang ia tuangkan ke dalam gelas. “Iya,” Rara memasukan sushi ke dalam mulutnya. Rara menatap Maikel, pria itu makan dengan lahap. Mereka saling berpandangan satu sama lain sekian detik namun kembali makan dalam diam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka tidak pernah merasakan bagaimana jatuh cinta dengan seseorang sebegitu dalam sehingga mereka hanya bisa terdiam dan tersenyum. *** Dari Sudirman mereka menuju Tebet, mengunjungi orang tua Maikel. Rara melihat bangunan berpagar tinggi itu. Rara tahu bahwa Maikel terlahir dari salah satu keluara terpandang di Jakarta. Sekarang ia tahu bahwa kebanyakan prilaku sosial orang-orang kaya di Indonesia tidak mau di sorot media bahkan terkesan sangat tertutup. Hal ini ternyata dikarenakan orang-orang tersebut tak dihendaki dirinya menonjol karena sudah sangat powerfull. Ia pernah beberapa berhubungan dengan orang-orang kaya seperti pembisnis sukses, mereka berprilaku seperti itu. Bahkan mereka memiliki pandangan yang berbeda. Mereka melakukan sikap tertutup bisa diartikan sikap rendah hati dan akhirnya tidak ingin terpublikasi. Banyak tokoh-tokoh kaya sulit ditemui bahkan sulit diabadikan gambarnya. Jika ia bertanya hal ini kepada Maikel, pasti pria itu mengatakan “Untuk apa menonjol, kalau saya sudah kaya, saya ini sudah powerfull ngapain lagi untuk dipublikasikan.” Ia pernah membaca majalah dunia versi majalah forbes beberapa orang terkaya memang tidak pernah muncul dipublic. Mereka nyaris tidak dikenali media, meski harta mereka sangat berlimpah. Rara melepas sabuk pengaman begitu juga dengan Maikel, “Ini rumah orang tua kamu?” Tanya Rara. “Iya. Kenapa?” “Enggak kenapa-napa. Saya hanya takut orang tua kamu nggak menyukai saya.” “Tenang saja orang tua saya baik.” Rara lalu melangkahkan kakinya menuju pintu utama ia masuk ke dalam. Rumah yang di d******i warna putih dan cukup luas. Ia melihat tangga melingkar menuju atas dan di sana ada kolam renang sebagai view utama di rumah ini. Rara menatap wanita mengenakan celana kulot berwarna putih dan blouse berwarna biru muda. Wanita itu tersenyum mendekatinya. Ia yakin wanita itu adalah mama Maikel. Rara memandang mama Maikel memeluk tubuh Maikel dan lau tersenyum kepadanya. Ia membalas senyuman wanita separuh baya itu. “Ini Rara ma,” ucap Maikel memperkenalkan dirinya. “Salam kenal Rara, saya mama nya Maikel.” “Iya tante sama-sama. Senang bisa kenalan sama tante.” Mama Maikel menatap wanita cantik bernama Rara. Wanita itu adalah salah satu penyanyi terkenal di Indonesia. Seluruh Indonesia mengenal siapa Rara. Ia tidak mempermasalahkan menantunya seorang artis tanah air. Masalah skandal telah tertutupi dengan pengumuman mereka menikah. “Tante juga senang kenalan sama kamu Rara.” Rara juga memandang seorang pria separuh baya mengenakan kemeja biru di sana. Ia yakin pria itu adalah papanya Maikel. Walau tidak muda lagi dia terlihat tampan. “Siang om,” ucap Rara. “Siang juga Rara, senang bisa kenalan dengan kamu.” “Sama-sama om.” Rara dan Maikel duduk di ruang keluarga, sambil meminum teh buatan mama. Mereka tidak membahas tentang skandal di TV, melainkan membahas pernikahannya. “Jadi kalian langsung memutuskan untuk menikah?” Tanya papa kepada Maikel. “Iya, langsung pa.” “Persiapannya bagaimana?” “Semua sudah diurus asisten sayal. Acaranya di Plataran Cilandak.” “Bagus kalau begitu. Pemberkatannya di sana juga?” “Di Katedral Santa Maria. Mungkin besok kita fitting baju di Yefta Gunawan.” “Syukurlah kalau begitu. Papa senang akhirnya kalian menikah.” Mama meletakan kue pie di meja, “Bagaimana dengan orang tua Rara? Sudah tau kalian akan menikah?” Tanya mama. “Sudah ma. Jum’at ini ke Jakarta, nanti Maikel dan Rara langsung kenalin ke mama dan papa.” “Decornya siapa?” Tanya mama penasaran. “Florist Medina,” ucap Maikel. “Owh, yang biasa nangani pernikahan artis-artis itu?” “Iya ma, kita pakek dia sama WO nya, sekarang mereka sedang kerja,” “Syukurlah kalau begitu.” “Berapa tamu undangannya?” Tanya mama. “Sekitar 500, karena kapasitas di Plataran max 600 pack saja. Saya dan Rara maunya garden party, kita putuskan untuk gelar di sana.” “Ternyata kalian sudah persiapan matang ya.” Maikel menyungging senyum, “Iya ma.” “Rara sekarang tinggal di mana?” Tanya papa, beliau menyesap teh nya. “Di apartemen Senopaty om.” “Deket dong dari sini.” “Iya om lumayan.” “Jadi setelah nikah, tinggal di mana?” Tanya mama lagi. “Di rumah Maikel ma.” “Oke bagus kalau gitu. Di minum Rara teh nya.” “Iya tante.” “Oiya tante ada sesuatu buat kamu.” “Apa tante?” Maikel dan Rara saling berpandangan satu sama lain, dan menyungging senyum. Tatapan itu sangat berarti. Beberapa menit yang lalu mereka membicarakan tentang keluarga, lalu obrolan mereka tentang kehidupan, selanjutnya tentang tentang politik dan ekonomi. Sepertinya mereka memang nyambung tentang obrolan sehingga lupa waktu, membahas apa saja. Jujur ia sangat senang bisa berdiskusi panjang dengan Maikel, karena pria itu sangat cerdas menurutnya. Ia pikir kehidupan orang kaya itu terlihat angkuh, namun justru sebaliknya. Mereka sangat sopan dan bahkan berbicara sangat halus dan lembut. Ya, itu pandangan pertamanya terhadap keluarga ini. Rara mengalihkan pandangannya ke arah foto keluarga setinggi manusia. Keluarga ini terlihat sangat harmonis. Rara menatap mama Maikel keluar dari kamar, beliau membawa kotak beludru berwarna hitam. “Ini untuk Rara.” “Apa tante.” Mama Maikel tersenyum, “Tante sama om pernah bahas ini sebelumnya. Orang pertama yang menjadi menantu di rumah ini, kita akan di kasih perhiasan waktu tante menikah dulu. Ini pemberian dari papa Maikel waktu nikah.” “Jangan dinilai dari harganya, tapi dari maknanya. Tante harap hubungan kalian langgeng seperti tante sama om.” Rara menelan ludah ia menatap Maikel yang hanya diam. Padahal mereka sepakat bahwa pernikahan ini hanya lima bulan dan lalu bubar. Namun ia tidak tahu akan menjelaskannya, sementara orang tua Maikel memberi amanah memegang perhiasan berharga ini. Rara dan Maikel menatap satu set perhiasan emas berwarna silver. Sepasang anting, cincin, kalung dan gelang. Rara memandang Mama Maikel yang tersenyum kepadanya. “Tante pakein ya,” “Iya tante.” Ada perasaan tersentuh ketika mama Maikel memasangkan kalung di leher nya, lalu gelang, cincin dan sepasang anting. Jujur ia merasa diterima dengan baik di keluarga ini. Bagaimana mereka bisa menyakiti hati orang tua yang jelas-jelas pemberian ini sebuah bentuk keabadian. “Mama ingin kamu pakek ini di hari pernikahan kalian.” Mama Maikel memandang wajah cantik Rara, “Kamu cantik pakek ini Rara.” “Terima kasih tante,” ucap Rara pelan. Mama Maikel menarik nafas, “Nanti kalau kalian punya anak, nanti bisa diwarisi oleh anak kalian.” “Tante harap kalau sudah menikah, kamu harus lebih baik tinggal di rumah. Maikel sering keluar kota, bahkan keluar negri. Tante harap kamu tetap ikut ke manapun Maikel pergi. Jangan sampai kalian terpisah apalagi sampai pisah ranjang.” “Rara jangan terlalu bekerja terlalu keras, biar Maikel yang bekerja. Diva tetaplah Diva, pamor kamu sebagai penyanyi terkenal tidak akan surut walaupun di rumah mendampingi Maikel.” Maikel terdiam ia mencerna semua ucapan mamanya. Ia memang terlahir dari keluarga terpandang sejak kecil, segala kemewahan dan pendidikan terbaik sudah ia miliki. Orang tuanya membebaskan anak-anaknya mencetak apa yang mereka mau, berkarir di mana saja. Kata-kata mengisyartkan bahwa tidak ada perceraian di keluarga ini. Sampai kapanpun bahwa Rara adalah istrinya. “Baik tante,” ucap Rara pelan. Mama memegang jemari Rara, beliau elus punggung tangan itu, “Tolong damping Maikel, apapun yang terjadi.” Hati Rara terhenyuh, ketika mama Maikel menyuruhnya mendampingi Maikel apapun yang terjadi. Ia menatap iris mata mama Maikel. Rara tidak tahu berkata apa, ia lalu mengangguk. “Baik tante.” “Terima kasih,” ucap Mama Maikel. *** Beberapa menit kemudian, Rara memandang Maikel berada di balkon atas. Pria itu menatap ke arah taman belakang seolah memikirkan sesuatu. Ia tidak akan mengusik kesunyian dengan tampak yang begitu jelas tentang pemahaman manusia. Rara lalu duduk di samping Maikel, ia meletakan cangkir teh di meja. Maikel menyadari kehadirannya. Tatapan mereka bertemu, makna itu tersirat bahwa sebentar lagi mereka akan menjadi orang yang selalu bersama bukan bulanan, namun tahunan. “Sebentar lagi kita akan menikah,” gumam Maikel. “Iya.” “Apa kamu siap untuk menghadapi kehidupan pernikahan?” Tanya Maikel lagi. “Saya tidak tahu, karena belum yakin. Sebaiknya kita jalani saja. Bagaimana denganmu?” Maikel menarik nafas, “Saya bukan laki-laki yang rumit jika menerima jalan ini.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD