Bab 7

2366 Words
HAPPY READING *** Rara mengikuti langkah Maikel menaiki tangga, Maikel membuka pintu kamar untuk Rara. Rara masuk ke dalam kamar, mereka memang butuh ruang privasi untu berbicara masalah pernikahan settingan yang ia usulkan. Rara mengedarkan pandangannya ke area kamar yang di d******i warna abu-abu gelap. Lantai kayu membuat kamar ini terlihat hangat. Kamar ini sangat simple hanya terdapat kamar tidur berukuran king size, dan sebuah lukisan pohon kering diatas dinding tempat tidur. Karpet berwarna abu-abu senada dengan seprai dan gorden membuat kamar ini terlihat sangat maskulin. Kamar ini juga memiliki ruang khusus walk in closet dengan kaca transparan, ia menatap kemeja yang tersusun rapi yang diurutkan sesuai warnanya. Kamar ini terkesan sangat luas dan nyaman. Ia tidak tahu sudah seberapa banyak wanita yang tidur di kamar ini. Rara memandang Maikel menutup pintu kamar, “Apa maksud kamu nikah settingan?” Tanya Maikel. “Ya menikah settingan demi public aja? Ini untuk jaga nama baik saya dan kamu, setelah beberapa bulan menikah kita cerai, seperti artis-artis lainnya. Banyak yang menikah hanya untuk mendapat popularitas lagi dan karir,” ucap Rara menjelaskan. “Pernikahan sensasional demi menaikan popularitas itu banyak. Setelah beberapa bulan, kita bisa menambahkannya dengan konflik-konflik natural, dengan begitu masyarakat akan tahu bahwa kita benar benar tidak cocok. Lalu kita memutuskan untuk bercerai.” “Setelah itu hubungan kita selesai. Kita bebas menjalani hidup masing-masing.” Maikel memejamkan mata, ia menarik nafas lalu menutup wajahnya dengan tangan. Sebenarnya ia tidak setuju dengan tindakan Rara dengan menikah settingan, “Tapi di dalam agama saya tidak ada kata perceraian, kecuali oleh kematian,” ucap Maikel menggeram. “Pernikahan itu moment yang sakral Rara, tidak bisa dilakukan dengan main-main. Orang yang menikah akan dibanjiri dengan ucapan selamat dan doa dari banyak orang. Lantas kita lalu mempermainkannya?” Maikel berdiri, ia memandang Rara cukup serius. Ia menegakan wajahnya, “Walaupun sebandel-bandelnya saya, saya tidak akan pernah mempermainkan agama saya. Paham kamu !” “Saya juga nggak memainkan agama Maikel ! Saya tahu larangan-laranganya, walau saya bukan wanita yang taat agama.” Rara juga ikut berdiri, ia dengan berani menatap Maikel, “I know, Tapi bagaimana bisa, saya menikah dengan pria yang jelas tidak saya cinta. Saya saja baru tau nama kamu tadi siang, karena artikel itu.” “Saya juga tidak bisa hidup dengan orang yang baru saya kenal dalam hitungan jam !” Maikel mendekati Rara, “Saya juga baru tahu kamu tadi malam, Rara !” Rara menarik nafas panjang, “Jadi solusinya gimana selain settingan?” “Solusinya tentu saja kita tidak pernah menikah !” Gumam Maikel. “What ?” Rara semakin tidak mengerti. “Just party.” Rara mengerutkan dahi, “Tidak menikah tapi adanya pesta? Begitu maksud kamu?” “Iya ! Tidak ada perjanjian di atas hukum dan agama, itu sangat sakral bagi saya, Rara.” Rara memejamkan mata beberapa detik, ia menutup wajahnya dengan tangan, lalu menatap Maikel, “Ini dunia entertainment Maikel. Netizen itu pencari informasi yang handal. Nama saya dan kamu harus terdaftar di gereja, catatan sipil. Mereka mencari tahu tentang kita.” “Oh God.” Rara menatap Maikel cukup serius, “Bagaimana bisa meyakinkan orang tua saya dan kamu. Jika kita menikah hanya peseta bohongan belaka? Beliau pasti ingin mendampingi kita mengucapkan janji suci dan papa saya pasti ingin mengantar saya berjalan di atas altar.” “Itu permasalahannya,” ucap Maikel, ia lalu duduk di sofa, kepalanya pusing memikirkan pernikahan. Rara memandang Maikel, “Apa kamu ada solusi lain? Sepertinya tidak efektif jika menikah.” “Tidak ada solusi yang tepat selain menikah.” “Kita menikah?” “Iya, kita harus menikah.” “Orang tua saya dan saudara syaa mengatakan hal yang sama. Saya di suruh segera menikahi kamu secepatnya. Karena itu solusi yang paling tepat.” Maikel memandang Rara masih beridiri di dekat sofa. Rara menatapnya balik, mereka terdiam beberapa detik. “Oke, kita menikah sebenarnya. Tidak ada pilihan lain,” ucap Maikel mengubah pikirannya walau dengan terpaksa ia lakukan. Rara menarik nafas lagi, ia memandang Maikel, “Selama menikah saya akan membiarkaan kamu tidur dengan wanita yang kamu mau. Kamu bebas berpacaran dengan siapa saja. Saya nggak melarang kamu keluar, saya juga nggak melarang kamu ke luar negri dengan kekasih kamu. Kamu bebas melakukan apa saja. Hidup saya ya tetap hidup saya, dan hidup kamu tetap hidup kamu. Hubungan kita hanya status saja.” “Kita bisa bercerai setelahnya. Tidak peduli apa kata orang, kata orang tua, di tentang agama. Yang penting kita bercerai. Saya tidak masalah jika status saya menjadi janda.” Maikelmemandang Rara. Jujur ia sama sekali tidak setuju dengan perceraian yang di ucapkan oleh Rara, apalagi Rara membebaskannya bersama wanita lain tanpa ada batasan. Menikah itu sekali seumur hidup baginya. “Jadi kamu mau bercerai?” “Iya tentu saja.” Sejujurnya Maikel tidak setuju pernikahan yang ia jalani dengan ada kata perceraian di sana. Impiannya hanya menikah sekali dan seumur hidup dengan orang yang ia cintai. “Kita menikah lima bulan saja, kalau tiga bulan terlalu cepat,” ucap Rara lagi ia memandang Maikel. Maikel menatap Rara cukup serius, ide-ide Rara tidak masuk akal menurutnya, namun ia mengikuti alur yang dibuat Rara, “Selama pernikahan kamu tinggal sama saya. Saya tidak ingin orang tua saya curiga, jika kita pisah rumah. Masalahnya kamu adalah menantu pertama orang tua saya, orang tua saya pasti akan excited jika diantara saya, Armand dan Harvey menikah.” “Oke itu bisa diatur.” “Pernikahan kita diadakan Minggu depan,” ucap Maikel, ia tidak punya waktu banyak untuk mengulur waktu sementara gossip itu semakin panas. “Minggu depan?” Rara terbelalak kaget. “Iya.” “Saya ingin masalah ini cepat selesai Rara. Saya menjaga nama baik keluarga saya. Saya tidak ingin media tahu tentang keluarga saya, karena itu sangat mengganggu ketenangan orang tua saya.” “Ya bukan orang tua kamu saja Maikel. Orang tua saya yang di Surabaya juga malu, apalagi video syur itu tersebar.” “Yang perlu kita diskusikan ini kita menikah di mana? Menggunakan jasa siapa?” Ucap Medina. “Kita menggunakan yang paling mahal agar orang tidak curiga,” timpa Maikel. “Siapa? Jujur saya kurang tahu jika masalah wedding, karena belum pernah menikah.” “Kamu pikir saya pernah menikah, hah !” dengus Maikel. Maikel menarik nafas ia memandang Rara, “Bagaimana kita pakai jasa yang dipakai artis ternama kemarin, pernikahan Aurel dan Atta.” “Ok. Apa menggunakan lamaran lagi?” Tanya Rara. “Kita tidak menggunakan lamaran lagi, kita langsung menikah.” “Orang tua saya pasti terkejut jika saya akan menikah mendadak seperti ini.” Maikel melirik jam melingkar ditangannya menunjukan pukul 20.10 menit, “Jam segini, apa orang tua kamu sudah tidur?” “Belum.” “Kita telfon sekarang, saya akan mengatakan bahwa kita akan menikah.” “Oke.” “Besok kita konferensi pers, kita harus menjelaskan apa yang terjadi terhadap kita. Jawaban kita sepakat bahwa kita memang berpacaran dan akan menikah.” “Iya kamu benar, agar semua bisa termaafkan.” “Besok saya suruh asisten saya mencetak undangan, untuk meyakinkan manyarakat luas bahwa kita memang persiapan untuk menikah.” Rara menatap Maikel, ia tahu bahwa Maikel pria yang sangat cerdas, dia berpikir begitu cepat, langsung straight to the point. Dia cepat mengambil keputusan sehingga tahu apa yang harus dia lakukan. Orang cerdas seperti Maikel pasti memiliki sifat keras kepala yang sulit diatur. Dia selalu mengambil keputusan sendiri tanpa mempertanyakan dan mempertimbangkan orang lain. “Malam ini kita langsung membicarakan wedding planner. Karena besok kita harus sudah konferensi pers.” “Oke.” “Konsep pernikahannya apa?” Tanya Maikel. “Garden party.” “Di mana?” “Plataran Cilandak.” “Konsep?” “Modern.” “Tamu undangan berapa banyak?” “100 saja, saya tidak memiliki banyak teman di kota ini. Mungkin tamu kamu yang paling banyak.” “Tamu saya banyak, nggak bisa hanya 200.” “Jadi kamu undang berapa?” “Mungkin 700 undangan, banyak perusahaan mengenal saya, mereka pasti datang diacara pernikahan saya bahkan dari luar kota sekalipun.” “Terserah kamu aja sih. Bagaimana dengan berkas-berkas pernikahan?” “Nanti asisten saya yang atur.” “Emang bisa cepat? Teman saya mengurus berkas pernikahan mendaftar enam bulan sebelumnya di seketariat gereja.” “Itu semua bisa di atasi Rara.” “Dengan uang kamu ?” “Apapun bisa dilakukan jika ada uangnya.” “Oke.” Maikel berpikir sejenak ia memandang Rara, “Agar masalah ini dipercaya oleh masyarakat luas. Kita sepakat menikah?” Maikel mengulurkan tangan ke arah Rara. Rara memandang tangan Maikel menjulur ke arahnya, “Iya, saya sepakat,” Rara membalas uluran tangan Maikel. “Rahasia ini hanya saya dan kamu yang tahu?” “Iya” Rara merasakan jemari Maikel, pemukaan yang kasar namun hangat menadakan bahwa pria itu adalah pria pekerja keras. Dengan jabatan ini mereka sudah mengikat janji bahwa menikah adalah solusi yang tepat. Maikel melepaskan jemarinya, “Kita ke bawah sekarang, semua orang menunggu kita. Saya juga perlu menelfon orang tua kamu dan mengatakan bahwa saya akan menikahi kamu,” ucap Rara. “Iya.” *** Maikel menegangkan tubuhnya ia membuka hendel pintu kamar ia mempersilahkan Rara keluar dari kamar. Mereka lalu turun ke bawah, semua orang masih di posisi yang sama dan memandang mereka. Maikel melirik Rara yang hanya diam. “Saya dan Rara, sepakat untuk menikah. Demi menjaga nama baik saya dan dia,” ucap Maikel dihadapan semua orang yang ada di sana. “Itu ide yang tepat. Kapan?” Tanya Harvey. “Minggu depan.” “Lebih cepat, lebih baik,” timpal Armand. “Besok saya dan Rara ngadain konferensi pers sama media, untuk menjelaskan masalah video itu. Dan untuk proses hukum tetap berjalan, dan penyebaran video itu tetap diselidiki,” Maikel menjelaskan kepada pengacaranya. Mereka mengangguk dan keputusan menikah, menjadi alternative buat namanya kembali menjadi lebih baik. Maikel memandang Rara duduk di samping asistennya. Maikel duduk di samping Rara. “Saya akan hubungi orang tua saya,” ucap Maikel, ia menatap ke layar ponselnya. Maikel meletakan ponsel di telinga kirinya, ia menghubungi orang tuanya lagi. Ia melirik Rara memandangnya. Tidak butuh waktu lama sambunganpun terangkat. “Iya Maikel,” ucap suara mama di balik speakernya. “Ma, saya dan Rara akan menikah.” “Syukurlah kalau begitu.” “Kapan?” “Minggu ini?” “Orang tua Rara bagaimana? Apa sudah tau?” “Ini, lagi mau dihubungi ma.” “Mama setuju dengan keputusan kamu. Besok kamu bawa Rara ke rumah ya.” “Iya ma.” Sambunganpun lalu terputus begitu saja begitu. Maikel menarik nafas panjang, ia menatap Rara. Ia yakin wanita itu mendengar percakapannya. Maikel memandang, Harvey, Armand, Alan yang masih memandangnya. Ia tahu bahwa orang-orang mendukung dirinya untuk menikah. Ia memandang Rara wanita cantik itulah yang akan menjadi istrinya. Oh Tuhan, kenapa hidupnya bisa seperti ini, bahkan kata menikah tidak ada dalam hidupnya. “Tolong hubungi ibu kamu. Saya akan bicara sama beliau, prihal pernikahan kita.” “Sekarang?” “Iya.” *** Setelah perdebatan panjang dan solusi menikah telah disepakati. Rara dan Resti akhirnya memutuskan untuk pulang. Rara menyandarkan punggungnya di kursi, ia tidak tahu kenapa hidupnya bisa berubah secepat ini. Bagaimana kelak kehidupan pernikahannya dengan Maikel? Apa yang akan ia lakukan setelah menikah? Apa mereka memposting kebahagian mereka di media social seperti kebanyakan pasangan? Apakah mereka ada bulan madu? Apa mereka tidur bersama? Apakah mereka pisah ranjang? Apa mereka makan malam bersama? Apa ia perlu menyiapkan sarapan untuk Maikel? “Gue masih nggak nyangka kalau Maikel serius nikahin lo?” Ucap Resti, ia memandang Rara masuk ke dalam apartemennya. “Kita nikah settingan, Res,” ucap Rara tenang. “Kayaknya gue nggak liat settingan diucapan Maikel. Kayaknya dia serius gitu sama lo.” “Masa sih?” “Gue nangkepnya sih gitu. Cuma ya kayak tertekan gitu sih, mau nggak mau nikahin lo. Salut aja keberanian dia mutusin untuk nikahin lo. Tapi nggak tau deh, biasakan cowok kayak gitu manipulative.” “Kita cuma nikah lima bulan aja Res, habis itu cere.” “Jadi beneran buat untuk yakinin public aja?” Ucap Resti. “Iya.” “Tadi kita sepakatnya sih gitu,” ucap Rara, ia mengambil air mineral di dalam kulkas. “Jadi nanti setelah nikah lo tinggal sama dia?” “Iya gue tinggal di rumah dia.” “Gue?” “Di sini lah tetap, emang lo mau kemana lagi? Nggak mau kerja sama gue lagi?” “Ya nggak lah, gue tetep ngurusin lo kali. Gue kerja di mana lagi coba kalau nggak sama lo,” Resti terkekeh. “Ya, gue dukung aja sih keputusan lo berdua. Yang ngurus semua nikahnya siapa?” “Maikel sih, dia nyuruh asistenya buat urus ini semua.” Resti lalu berpikir, ia menatap Rara, “Bener kan dugaan gue, kalau Maikel emang dalang di balik ini semua. Gue yakin sih dia, karena secara lo tau lah, kuasa hukum semua di tangan dia, pernikahan aja dia yang urus, kayak dia yang ambil semua peran ini.” “Dia naikin popularitas nama Summercon tanpa harus iklan, semua investor beli saham dia dibursa efek, karena nama Summercon melambung tinggi di media dan dia untung, puluhan triliun buat bangun Summercon lagi. Bener nggak?” “Iya bener sih, gitu jalan kerjanya.” “Efek nikah sama lo itu jangka panjang menurut gue, lo bakalan jadi perbincangan public sampe kehidupan rumah tangga lo, mungkin sampe lo cere.” “Hemmm.” “Kembali ke topik awal, lo cari aja bukti-bukti kalau dia yang rekam. Gue yakin video itu ada di ponselnya dia. Atau di sd card dia, cari video yang original. Lo inget nggak? Pengacaranya dia, mereka sama sekali nggak ada bahasa masalah hotel, berarti hotel nggak ada sangkut pautnya kan.” Rara memandang Resti, “Bener sih. Ih kenapa gue nggak sadar ya, tadi kita nggak ada bahasa masalah hotel.” “Mereka sekongkol tuh. Cuma bahasa hukum-hukam aja tadi, itupun pakek duit kan buat tutup kasus.” “Ih, bener sih lo !” “Biasa sih cowok kayak gitu, daya tariknya kuat banget, sampe terlena gitu.” “Bener banget lo. Ih yang bego kita tau !” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD