19. HUKUMAN PAK SUBROTO

2197 Words
Weeby kembali emosi. Menggangu Marcell katanya? Cuih, bukannya cowok itu terlebih dahulu yang sering merecoki dirinya? Dasar nggak mikir kalau mau ngomong. Tentu saja Weeby tidak diam begitu saja kalau Marcell sudah mengganggunya, Weeby akan membalasnya. Melihat Resti yang semakin lama berujung memanas, Weeby memilih akan menyudahi masalah ini sesegera mungkin, ia lalu berkata sedemikian rupa agar Resti mau menuruti kemauannya. "Ya udah, bawa pacar lo itu, dan lo harus ingatin sama tuh cowok, nggak usah deketin gue lagi." Tatapan tajam itu kini melebur, dan digantikan dengan desisan mulut sinis, Resti beralih menatap sang pacar, Marcell tengah diam di bangku Boki, masih loading dengan perdebatan yang dilihatnya itu. "Ayo Cell, lo sekarang nggak usah deket-deket sama cewek jelalatan kayak dia." Resti menarik lengan Marcell, menyeretnya agar segera mengangkat bokongnya dari kursi, lalu sorot mata Resti kembali mengarah ke Weeby yang diam, mengunci mulutnya rapat-rapat. Ya, lebih baik Weeby berdiam diri daripada terus menyahut ucapan Resti, ia tidak mau situasi tambah genting dan menciptakan kerunyaman yang lebih larut. Menggertakan giginya secara bergemelutuk, Resti kemudian membawa Marcell untuk pergi ke bangkunya. Setelah mengambil duduk, Resti langsung membuang gusar napasnya, kembali melempar tatapan sinis pada Marcell. "Kenapa?" tanya Marcell bingung. "Nggak usah gangguin dia bisa, kan?" "Nggak bisa, gangguin Weeby itu salah satu hobi gue yang nggak bisa dipisahkan, bisa dibilang sekadar menghibur dirilah," jawab Marcell asal, lalu ia memasukkan jarinya ke lubang hidung, berniat mencari harta karun dari dalam sana. "Pokoknya nggak boleh, mulai detik ini juga lo nggak boleh mengusik Weeby," rajuk Resti kesal. "Lo kasihan sama Weeby?" "Sama sekali enggak, gue cuma nggak rela pacar gue terus ngenggagu cewek lain, kalo dianya baper gimana?" "Weeby baper sama gue?" Tawa Marcell kemudian meledak dengan keras, namun setelah itu ia kembali berucap, "nggak mungkin lah, yang ada dia makin benci sama gue," celetuk Marcell. "Kan siapa tau, terus tadi gue lihat Weeby jewer telinga elo kenapa? Resek banget sih?" Resti menggebu dalam berucap, semakin emosi, ia kemudian melipat kedua tangannya. "Karena gue ngeselin mungkin?" "Ah bodo amatlah, yang penting gue nggak mau lihat hal itu terjadi lagi, cukup ini terakhir kalinya." "Iya iya, gue nggak gangguin Weeby lagi, lo cemburu sama Weeby?" Marcell terkekeh, tangannya beranjak ke pipi Resti dan menowelnya dengan gerakan gemas. Resti tidak menggubris ucapan Marcell, ia mendengkus dan memilih untuk diam Erza dan Novan, dua tipikal cowok ngeselin setelah Marcell. Kedua cowok itu kemudian melangkah, berjalan dengan cepat ke arah bangku Marcell, dimana terdapat Resti pula yang tengah duduk di sana. Seperti biasa, kedatangan dua makhluk itu membuat Resti risih, alhasil ia memilih menggeser kursinya ke belakang, lalu mulai mengangkat bokongnya dari kursi dan dilanjutkan berjalan cepat keluar dari dalam kelas, entah mau pergi ke mana, yang terpenting, ia bisa menghindari dari sahabat somplak Marcell itu. "Udah punya pacar aja nih bambang, licik banget lo," sentak Erza, mengambil duduk tepat di bangku milik Resti, setelah mendaratkan bokongnya di sana, ia langsung menjitak kepala Marcell. "Datang-datang ngomel-ngomel nggak jelas, pakek acara jitak kepala gue pula lagi," dengus Marcell sinis, kemudian ia mengusap jitakan kepala Erza yang terasa nyeri itu. "Iya nih, buang aja tuh Resti. Katanya temen, kok tega ninggalin kita yang jomlo, ya enggak Za?" Erza lantas mengangguk mantap, jempol tangannya ia angkat ke udara sembari menyahut, "nah bener banget tuh!" dukungnya. "Apaasih lo berdua? Nggak jelas banget. Pantas jomlo mulu, orang ngeselin gini." Marcell mengecap mulutnya, lalu ia lantas menggelengkan kepalanya beberapa saat sembari menatap kedua sohibnya dengan heran. "Lo lebih ngeselin b**o, Weeby aja lo gangguin mulu. Gue jadi kasihan sama Weeby, hidupnya pasti berat banget karena lo sering bikin emosi dia mendidih." Mendadak Novan menjadi prihatin pada Weeby, lalu ia menoleh, sorot matanya kini mengarah pada Weeby yang sedang berbincang dengan Uti. "Tau nih, ingat woy, dia tuh anak orang. Gangguin dia mulu, kena karma baru tau lo," timpal Erza pula, Marcell segera memutar malas bola matanya. Dua makhluk ini selalu saja membuat kepalanya pusing. "Kok lo berdua malah menghakimi gue sih?!" "Ya jelas lah, gue tuh care sama lo. Lo punya pacar, gue hasuti pikiran elo biar cepat-cepat putus." Novan tertawa nyaring, memukul pundak Erza beberapa kali, tak sampai di situ, tawa Novan mendadak menyatu pada Erza. Sekarang, dua makhluk aneh itu serentak tertawa bersamaan. Hanya Marcell seorang yang merasa kesal, ingin kabur dari hadapan mereka saja rasanya. "Dasar temen k*****t!" maki Marcell dengan suara kecil, Novan dan Erza tentu tidak mendengar, asik tertawa terpingkal membuat perut mereka berdua lemas. "Ya Tuhan, semoga Marcell cepatan jomlo," ujar Novan, menodong kedua tangannya ke udara, berdoa sembari menatap langit-langit kelas. Erza lantas ikut-ikutan, ia mengamini setelah doa turut Novan panjatkan. Mencebikkan bibirnya kesal, Marcell beralih menatap ponselnya, ingin beralih pada dua sahabatnya yang somplaknya sudah tak tertolong lagi. "Lo pacaran sama Resti, terus Weeby lo kemanain Cell? Lo nggak kasihan sama tuh cewek?" Erza segera menepuk pundak Marcell, berharap cowok itu menoleh kepadanya dan tidak lagi fokus pada benda mati yang sekarang Marcell mainkan. "Weeby?" "Iya Weeby, lo kasih dia harapan palsu tau nggak?!" "Apanya? Gue nggak ngerti lo ngomong apaan." Marcell mematikan ponselnya, menyimpannya ke dalam saku, dan dilanjutkan menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. Sebelum memulai ceramah panjang lebarnya, Novan menghirup udara dalam-dalam agar pasokan udaranya tidak cepat habis. "Mana ada orang yang nggak baper kalo lo gangguin mulu, lo nyadar nggak sih kalo Weeby pasti suka sama lo, secara kan lo ganteng, tajir melintir, pinter pula tuh." Seketika Marcell teringat ucapan Resti yang berkata persis apa yang dikatakan Novan barusan. Benarkah Weeby baper? Ah, Marcell tak menyadari dan bahkan ia sama sekali tidak percaya. Hei, mana mungkin seorang Weeby baper sama Marcell yang menyebalkan ini? "Nggak mungkin kutil, yang ada tuh dia makin kesel sama tingkah gue," ucap Marcell. "Enggak, elo-nya aja yang nggak sadar. Kalo Weeby suka sama lo beneran gimana Cell? Lo mau mutusin Resti terus pacaran sama Weeby atau lo tetep milih Resti yang notabene udah bekas orang lain?" Marcell terdiam sesaat, memang keadaannya Resti sudah pernah pacaran dengan Gama. Lain pula dengan Weeby, masih belum pernah merasakan cinta, sama seperti dirinya beberapa waktu lalu. "Lo berdua ngeracuni otak gue biar putus sama Resti, kan? Temen macam apa lo berdua? Dasar nggak punya hati ya lo berdua!" umpat Marcell dalam satu tarikan napas, menghujam Novan dan Erza dengan pancarkan dari sorot matanya yang mematikan. "Ah, bodo amat, lo pikir aja sendiri sana. Yang penting lo nggak lupa apa yang gue omongin barusan. Pikirin itu baik baik. Ngomong-ngomong, Weeby lebih cantik loh daripada Resti. Lo nyadar nggak sih Cell?" Ah, Marcell semakin pusing, ia kemudian beralih menatap Weeby. Memang dasarnya Weeby sangat cantik, bibirnya yang berwarna pink segar, hidung kecilnya yang mancung serta bulu matanya yang lentik, selalu saja menyita perhatian. Jakun Marcell tampak terlihat naik turun, memang betul apa kata Novan, Weeby sangat cantik. Melebihi Resti. Marcell kemudian menatap ke depan kelas ketika Pak Subroto muncul. "Udah deh nggak usah dibahas lagi, tuh ada Pak Subroto udah mau ngajar." Kesal dan menahan gejolak amarah kini Weeby rasakan. Saat Pak Subroto masuk ke dalam kelasnya, mendadak dia jadi teringat waktu dirinya dan Uti dibentak dan disuruh keluar dari dalam kelas karena membuat gaduh pada saat ulangan. Weeby langsung membuang napasnya frustrasi, menopang dagunya, menatap malas ke arah papan tulis saat Pak Subroto yang kini tengah menerangkan materi pelajaran. "Kamu? Kenapa ngelamun?" bentar Pak Subroto sembari menunjuk Weeby. Terkesiap heboh, Weeby langsung menegakkan tubuhnya, tidak lagi bertopang dagu. Kini ia menatap Pak Subroto dengan bingung. "Coba jelasin materi yang saya terangkan barusan?!" perintah guru matematika itu dengan cepat, Weeby sama sekali tidak paham dan mengerti. Menelan salivanya, lalu ia berujar dengan lirih. "Anu pak, saya nggak bisa," kata Weeby seraya nyengir tanpa dosa. Pak Subroto lantas menghela napasnya, menatap satu muridnya itu yang selalu bikin kacau, kemarin tentang ulangan, dan sekarang Weeby yang tidak fokus pada pelajaran. "Sukurin Lo By, makanya kalo ada guru tuh dengerin, malah bengong, mikirin utang lo?" Pandang Pak Subroto langsung teralih ketika mendengar celetukan dari Marcell, seketika Marcell bungkam saat tatapan guru itu mengarah padanya. "Siapa yang suruh kamu nyahut?!" "Maaf pak, refleks aja," jawab Marcell, santai. "Bapak nggak mau tau, kalian berdua keluar sekarang, bersihkan seluruh sampah di setiap kelas." Resti langsung mengerucutkan bibirnya, menyenggol lengan Marcell dengan sikutnya. "Tuh kan, lo nggak usah nyahut bisa nggak, sih? Udah gue bilang, jangan gangguin Weeby." Resti merajuk pada Marcell, ia kemudian memutar malas kedua bola matanya. "Maaf, gue nggak sadar aja, udah kebiasaan soalnya." Marcell kembali fokus ke arah Pak Subroto, mendengar apa yang beliau perintahkan. Jujur saja, Marcell senang bukan main karena dihukum bersama Weeby. Jadi ia bakalan terus merecoki cewek itu. "Nunggu apa lagi? Buruan keluar!" "Siap komandan!" ujar Marcell, memberi hormat pada sang guru, lalu lekas bangkit dari duduknya dan mulai melenggang keluar dari dalam kelas. Marcell tersenyum manis saat melewati bangku Weeby. Terpaksa Weeby harus menurut, mengikuti derap langkah Marcell dari arah belakang, Weeby memonyongkan bibirnya ke depan. Benar-benar nasib yang berujung kesialan. Kenapa Tuhan memberikan ujian macam ini? Dan kenapa dirinya harus dihukum dengan Marcell? Huft, Weeby harus selalu ekstra sabar kalau Marcell terus mengganggunya. "By, lo sama gue dihukum bareng?" ucap Marcell, sengaja memperlambat jalan kakinya agar seimbang dengan derap langkah kaki Weeby. "Menurut lo? Udah tau, masih tanya aja. Gue udah tau kalo lo mau gangguin gue lagi, puisi lama!" Weeby berujar dengan ketus. Menekankan kalimatnya pada kata terakhir yang diucapkannya. "Tau aja nih bambang, berhubung sekarang gue lagi baik hati. Lo mau minta digangguin kayak gimana? Gue bakal turutin, baik banget kan, gue?" Marcell memasang senyum cerianya, sementara itu, Weeby malah melempar tatapan tajam ke arah Marcell. "Lo boleh request apapun deh." "Baik hati apanya? Dasar sampah lo! Manusia paling nyebelin yang gue kenal," cecar Weeby dengan emosi. Baru sepuluh langkah mengambil jalan, Marcell sudah membuatnya emosi. Kalau saja ada perlombaan bikin orang lain emosi, tentu saja Marcell akan jadi pemenangnya dan naik ke podium untuk mendapatkan sertifikat dan piala segede gaban. "Kita mulai dari kelas mana dulu nih, lebih cepat lebih baik loh By. Makin siang, makin panas, lo takut kulit lo kebakar, kan?" Memang betul, perkataan Marcell tidak ada salahnya, semakin dilakukan lebih cepat, pekerjaan juga akan lebih selesai, dan hemat waktu lebih tepatnya. Weeby juga malu kalau pada saat jam istirahat, dirinya masih sibuk membuang sampah-sampah milik kelas lain. Memikirkan saja rasanya sangat malu. "Dari kelas sepuluh IPA 1 aja, urut, biar gampang," balas Weeby, menatap ke arah depan, fokus pada jalanan, enggan menatap cowok disampingnya. "Oke, serah lo aja, gue tinggal ngikut. Pokoknya apapun yang lo lakukan bakal gue ikutin." "Serah lo, terus kalo gue meninggal lo juga bakal ngikut meninggal, gitu?" Weeby memberhentikan langkah kakinya, memutar tubuh, menghadap ke arah Marcell, berkacak pinggang, dan melempar senyuman miring khasnya. "Iyalah, demi mewujudkan keinginan gue." "Apa? Keinginan apa yang lo maksud?" Kening Weeby tampak bergelombang, selalu saja Marcell melempar perkataan ambigunya. "Keinginan buat gue berantem sama lo walaupun kita udah meninggal, lucu banget sih lo, masa lupa sama janji itu?" "Nyesel gue tanya gituan ke elo," kata Weeby, melanjutkan jalan kakinya. Hening, itulah keadaan selanjutnya. Mereka berdua sama-sama membungkamkan mulut masing-masing. Kemudian Marcell teringat perkataan Erza dan Novan yang mengatakan bahwa Weeby kebawa perasaan saat dirinya mengganggunya. Benarkah kenyataan kayak gitu? Apakah sebenarnya Weeby diam-diam menyukai dirinya? Aish, entah kenapa Marcell jadi kepikiran. "By!" Masih diam, tidak tertarik dengan suara panggilan itu. Masih memilih untuk fokus pada derap langkah kakinya. Itulah yang Weeby lakukan. Ia sedang mencoba menulikan indera pendengarannya. "Weeby, kalo ada orang dipanggil itu jawab, lo nggak punya mulut atau bisu sih?" "Mulut lo kebanyakan micin, nyerocos mulu kerjaannya." "Lo-nya aja yang dipanggil nggak nyahut, bikin orang kesel aja kerjaannya." Hah? Bikin kesel katanya? Weeby lantas tertawa dalam hati, lucu sekali perkataan Marcell itu. Sudah jelas- jelas bahwa cowok itu yang berkali- kali membuat Weeby kesal setengah sadar. Dan ini, ia malah mengatai Weeby seperti itu. Jangan salahkan Weeby kalo sekarang ia malah tertawa. Dasar Marcell, tidak pernah ngaca sebelum ngomong. "Udah-udah, buruan dong jalannya, biar cepat sampe. Kita nggak cuma buang sampah satu atau dua kelas aja, tapi tiga puluh kelas. Coba lo bayangkan sekarang? Berat, kan?" "Nggak berat, itu mah kecil. Disambi sama gangguin lo, kerjaan apapun bakal cepet selesai," celetuk Marcell, ambyar sudah emosi Weeby. "Nggak bakal kerasa lah intinya." Mendesah berat, Weeby mengunci mulutnya serapat mungkin, tidak mau menyahut ucapan Marcell lagi, sudah terlalu lelah terus menerus berceloteh. Padahal Weeby sama sekali belum menyentuh pekerjaan yang Pak Subroto berikan. "Weeby, lo marah nggak sih kalo gue gangguin lo mulu?" Entah kesambet arwah jenis apa tiba-tiba Marcell bertanya seperti itu, sulit dipercaya. Weeby menyerngit, ia sesaat memandangi raut wajah tampan milik Marcell. "Pakek nanya segala, lo bisa ngerti sendiri," jawab Weeby dengan ketus. Weeby tahu Marcell tidak sebodoh itu. "Apa lo sebenarnya suka gue ngelakuin hal itu? Lo ada perasaan buat gue?" "Ha?" Tiba-tiba saja tawa Weeby menyatu dengan udara, ucapan Marcell sungguh terdengar seperti lawakan bagi dirinya. Melihat Weeby seperti itu, Marcell semakin kikuk, ia menyembunyikan wajahnya, terlalu malu, pipinya juga sudah memunculkan semburat warna merah. "Udahlah lupain aja, ayo buruan!" Marcell berjalan begitu cepat, melewati Weeby begitu saja. Pipinya sudah memanas, cowok itu cepat-cepat menghindar dari Weeby. Sementara itu Weeby berdiri mematung. Tatapan Weeby menatap punggung Marcell yang mulai menjauh darinya. "Tuh cowok kenapa? Aneh banget!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD